Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Tentang Konflik di Negeri Itu: Pemerintah Bukanlah Aspirasi Seluruh Rakyat

17 Mei 2021   15:55 Diperbarui: 17 Mei 2021   15:57 161 3
Apakah kita merindukan kedamaian seperti suara ranting yang putus asa dihempas-hempas angin? Yang kemudian sebentar melayang-layang, dan tiba-tiba saja hilang.

Lalu kita teringat pada nasihat Mahatma Gandhi, "Bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi bumi tidak cukup untuk memenuhi ketamakan setiap orang."

Lalu kita mengerti, saat rasa puas adalah seperti menemukan ujung dunia, maka segala di genggaman tangan yang nampak gemerlap itu menjadi nampak suram. Karena selalu ada sesuatu yang lebih terang, dan itu selalu saja dimiliki oleh orang lain.

***

Di tanah kita yang tak pernah mendengar suara mengerikan bom-bom berjatuhan dari udara, kita hanya bisa menyumbang sedikit keprihatinan. Disini, saat hari raya kita menyisakan makanan, disana saudara kita mungkin sedang mengais-ngais makanan yang tersisa.

Kekacauan yang menyedihkan, mengingatkan saya pada adegan pembuka film Capernaum. Dimana seorang anak kurus dua belas tahun tiba-tiba saja sudah ada di ruang persidangan. Dia mengatakan sesuatu yang membuat kita terkesiap, atau frasa apapun yang lebih dramatis dari sekedar terkejut.

"Saya mau menuntut orang tua saya," kata anak kecil itu pada hakim. Dia telah mengumpulkan segenap keberanian itu, meskipun mungkin dalam hati ia menanggung luka, "Karena saya dilahirkan."

Film itu memuat sebuah fragmen nyata, dari betapa keberuntungan kita di negeri ini sungguh sangat berlebih. Sebab jauh disana, kemiskinan, frustasi, dan ketakutan adalah sebuah komplikasi.

***

Kita semua tahu akar dibalik semua masalah itu adalah ketertindasan. Bahwa tanah-tanah yang kian sempit itu juga melahirkan kehidupan yang sengsara. Yang terus menerus dirundung pada akhirnya juga akan mencapai batasnya. Meskipun mereka hanya bisa menemukan kerikil dan ketapel. Tapi dibalik suara yang putus asa itu, mereka mungkin hanya ingin didengar.

Kerikil itu tidaklah melukai, namun keberanian mereka membuat orang lain menoleh. Peduli. Menggugah rasa kemanusiaan yang tertidur.

Meskipun kita bersembunyi dalam angan, bahwa tak mungkin secara bersamaan berada di dua sisi negeri yang bertikai. Kita jadi hanya bisa menduga. Lalu mungkin jadi banyak menyumbang opini, yang akhirnya justru kian menambah besar kobaran api.

Dan kita tahu, bumi tak akan dengan sendirinya bertambah luas setiap harinya. Tidak akan menuruti siklus penghuninya, yang saat bertambah banyak, tanahnya juga akan bertambah lebar sejengkal demi sejengkal. Lagipula kita pun tidak hidup di dunia paralel. Maka konflik kepemilikan tempat mungkin akan tetap selalu jadi sejarah sekaligus masa depan.

***

Kita kadang berpikir dalam bias. Bahwa rakyat adalah sepenuhnya cerminan pemerintahannya. Padahal bukan sebuah negara jika bukan lingkaran yang majemuk. Banyak komunitas yang membentuk lingkungan heterogen.

Kita ingat, sungguh menyakitkan saat para teroris Islam garis keras meledakkan bom-bom di keramaian Eropa. Lalu masyarakat yang terancam itu banyak yang akan menoleh pada kita. Menyalahkan kita seolah kita adalah bagian dari kelompok radikal itu.

Sepenuhnya kita membela diri, tapi mereka bergeming. Karena bom selanjutnya menyusul meledak. Dan masyarakat mereka makin memandang sebelah mata, karena seolah kita yang ada disini, yang terpisah laut dan benua, tak mampu menghentikan teror-teror itu.

Lalu kita makin sedih, karena beberapa dari mereka akhirnya tidak lagi hanya benci pada kita, namun juga pada apa yang sepenuhnya kita yakini.

Apakah kita salah? Apakah kita salah karena tak mampu mengubah ideologi saudara muslim kita yang berhaluan radikal? Apakah kita salah karena diam saja?

Mungkin demikian juga dalam konteks kemanusiaan. Orang Yahudi yang tinggal di negara lain mungkin merasakan hal yang sama. Mereka yang moderat, namun ikut disalahkan karena aksi saudara mereka yang berhaluan sayap kanan. Di negeri orang mereka dirundung, lalu mereka terpaksa "pulang" ke "tanah yang dijanjikan".

Konflik antara pemerintah dengan sebuah kelompok jadi merembet menimpa masyarakatnya. Padahal tidak selamanya sebuah pemerintahan adalah simbol utuh seluruh rakyatnya. Presiden dan perdana menteri bukan suara seluruh penduduk.

Namun sebenarnya, apakah sikap kita harus dalam pandangan heterogen, bahwa sebaiknya kita juga mendoakan saudara muslim kita yang hidup di "tanah yang dijanjikan"? Sebelumnya kita patut bersyukur, bahwa hampir di seluruh negara berdiri masjid. Bahkan mungkin di negeri yang paling banyak dibenci orang.

Ataukah pandangan kita harus dalam kacamata homogen? Mereka semua salah. Lalu doa "jadikanlah seperti tahun-tahun nabi Yusuf 'alaihissalam" itu kita kirimkan untuk orang di seluruh negeri itu?

***

Selalu senang membaca tulisan mbak Maria Fauzi . Mengingatkan saya pada pertanyaan, "kapan yah saya terakhir baca buku?"

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun