Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan Artikel Utama

Susahnya Mengumpulkan Data

28 Oktober 2012   14:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:17 932 1
Data itu mahal. Tapi lebih mahal lagi jika membangun tanpa data (Motto BPS). Dalam briefing Asosiasi Perusahaan Pertanian dalam rangka pemutakhiran direktori perusahaan pertanian oleh BPS di Jakarta, April lalu (11/4), seorang profesor yang juga pakar ekonomi pertanian kondang mengisahkan sepotong cerita tentang peliknya kegiatan pengumpulan data di lapangan dalam presentasinya. Syahdan, suatu ketika sang profesor menugasi mahasiswanya mengumpulkan data tentang harga beras di sebuah pasar di Pontianak, Kalimantan Barat. Maka, bergerilyalah para mahasiswa yang selama ini terbiasa duduk manis di ruang perkuliahan yang nyaman nan sejuk menyusuri lorong-lorong pasar, mencari pedagang beras yang hendak dijadikan responden. Dalam pada itu, sampailah seorang mahasiswa di sebuah kios yang dipenuhi karung-karung beras berbagai merek. Hatinya yang girang bukan kepalang karena berhasil menemukan responden tergambar jelas dari wajahnya yang berseri-seri. Tugas tak lama lagi bakal tuntas, begitu pikirnya. Tanpa berpanjang kata sang mahasiswa segera mengutarakan maksudnya kepada sang pemilik kios: bahwa ia ingin tahu harga-harga beras yang dijual di kiosnya. Pemilik kios pun nampak gembira karena lazimnya orang bertanya tentang harga berarti ada maksud untuk membeli. Berasnya bakal laku terjual, begitu barangkali yang terlintas di benaknya. Maka, wawancara pun dimulai. Semua harga beras yang dijual oleh pemilik kios ditanyakan satu per satu oleh sang mahasiswa, tak ada yang terlewat. Karena dari tadi hanya menanyakan harga tanpa menunjukkan gelagat hendak membeli, sang pemilik kios yang orang Madura itu pun mulai kesal. Dengan nada sedikit marah, namun nampak tenang, dia berkata kepada sang mahasiswa, "Sampean tahu tidak, kenapa saya jauh-jauh merantau dari Surabaya ke sini?" Sambil menggelengkan kepala, sang mahasiswa balik bertanya, "Memangnya karena apa, pak?" Sang pemilik kios kemudian menjawab singkat, "Karena telah membunuh orang yang terlalu banyak bertanya seperti Sampean!" Mendapat jawaban seperti itu, wajah sang mahasiswa yang semula berseri-seri seketika pucat. Tanpa berpanjang kata dia segera mengakhiri wawancara dan meminta maaf karena telah menggangu pemilik kios. Dia kemudian mohon diri, elannya (semangatnya) untuk mengumpulkan data pun lenyap. Potongan cerita di atas hanyalah sepenggal contoh tentang sulitnya mengumpulkan data di lapangan. Sepintas, kegiatan ini adalah pekerjaan entang. Padahal terkadang bukan main sulitnya: sampai mengancam keselamatan jiwa. Bayangkan, bagaimana jadinya jika kegiatan mengumpulkan data di lapangan laksana contoh di atas menjadi keseharian Anda, menjadi pekerjaan yang harus Anda lakoni sehari-hari. Tentu sebuah tantangan yang tidak mudah. Dan dalam menyajikan data-data statistik bagi negeri ini, tantangan berat seperti itu telah menjadi keseharian para petugas pengumpul data BPS. Ada seribu satu kisah pengalaman dalam mengumpulkan data yang serupa, bahkan lebih menakutkan dari kisah di atas. Semuanya terangkum di balik deretan digit-digit angka yang tersaji di ruang publik yang luput dari pengetahuan para pengguna dan kritikus data. Begitulah. Orang terkadang hanya bisa menggunakan data, bahkan terkadang sembari menyoal akurasinya, tanpa tahu atau mungkin tak mau tahu betapa peliknya kerja yang harus dilakoni untuk mengumpulkan data-data tersebut. Jika diperas, tantangan berat kegiatan pengumpualan data (statistik) di negeri ini ada dua hal. Pertama, medan yang sulit karena infrastruktur yang belum merata. Kedua, kesadaran masyarakat sebagai responden (sumber data) tentang pentingnya statistik yang masih rendah. Soal medan yang berat, Anda mungkin tak percaya bahwa petugas BadanĀ  Pusat Statistik (BPS) harus menempuh perjalanan selama 12 jam melalui jalur darat sepanjang 500 km dengan sepeda motor hanya untuk mengantar beberapa lembar dokumen survei dari Merauke ke Boven Digoel. Jangan bayangkan bahwa sepeda motor yang ditunggangi melaju di atas jalan mulus beraspal hotmix. Karena dalam kondisi cuacu buruk (hujan deras), sepeda motor bisa karam ditelan lumpur. Situasi pun berbalik: kita malah ditunggangi sepeda motor. Ini hanya salah satu contoh. Hal yang serupa, bahkan lebih parah, juga bisa kita jumpai di tempat-tempat lain di negeri ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun