Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cerpen | Aku dan Gadis Misterius

29 April 2020   13:13 Diperbarui: 29 April 2020   13:22 876 11
Aku memang cuma pemuda biasa. Tempat tinggalku jauh di pedalaman, tepatnya di sebuah desa di kaki Gunung Cikuray, Garut, Jawa Barat. Pekerjaan sehari-hariku adalah bertani.

Setiap pagi aku selalu pergi ke kebun. Letaknya di pinggir desa. Jaraknya sekitar 25 menit berjalan kaki. Tak begitu jauh  untuk ukuran orang di desaku, sebab masih banyak petani lain yang lokasi kebunnya lebih jauh dariku.

Sebenarnya kebun ini bukan sepenuhnya milikku, melainkan milik keluarga. Kebun itu warisan dari almarhum ayahku, Obeh. Beliau meninggal sekira lima tahun silam. Kini aku tinggal bersama ibu dan kedua adik perempuanku yang masih kecil, Aisyah kelas VIII SMP dan Nurrohmah kelas 6 SD.

Usiaku sebenarnya masih muda untuk ukuran orang kota, baru 23 tahun. Namun bagi penduduk desa, aku sudah dianggap bujang tua. Jangan dikira aku tak mau menikah seperti teman-temanku yang sudah lebih dulu berkeluarga. Aku saja yang belum berani karena merasa belum mampu menafkahi seorang istri. Maklum, aku merasa penghasilanku masih pas-pasan.

Warti, ibuku adalah wanita desa yang lugu. Pendidikannya cuma sampai kelas 5 SD. Mendapatkan jodoh ayahku yang bekerja sebagai petani di desa rasanya ia senang sekali. Apalagi saat itu ayahku termasuk lelaki yang rajin dan cukup tampan sehingga menjadi incaran para gadis muda di desanya.

Kehidupan rumah tangga keluargaku terbilang baik. Kalau hanya sekadar makan dan minum selalu tercukupi. Hasil kebun yang dikelola ayahku mampu menghidupi kami sekeluarga. Bahkan sampai aku tamat SMA di sebuah kota kecamatan semuanya dibiayai dari sana. Sayang usia ayahku tidak panjang. Beliau meninggal akibat terkena musibah banjir bandang. Tragedi  lima tahun silam tersebut masih membekas kuat dalam ingatanku.

Seperti biasanya, usai salat Subuh dan sarapan pagi, ayah hendak berangkat ke kebun. Cuaca saat itu memang tidak begitu baik. Di luar hujan gerimis disertai angin kencang. Ayah memaksakan diri berangkat, walau ibuku sudah melarangnya.

"Ayah, diluar hujan gerimis, sebaiknya jangan ke kebun dulu. Perasaan ibu kok tidak enak Yah. Ibu khawatir hujan semakin deras Yah," ujar ibu ketika itu.

"Gak apa-apa kok Bu, cuma gerimis. Nanti juga reda," jawab ayah ngeyel sambil menyalakan rokok kretek kesayangannya.

"Ibu takut hujannya makin deras Yah. Bagaimana nanti kalau Ayah kehujanan? Nanti bisa sakit. Ingat umur Yah!" Balas ibu lagi sambil wajahnya terlihat agak kesal.

Ayahku tak menggubrisnya. Ia tetap saja berangkat sambil memakai jas hujan yang terbuat dari plastik tipis hasil pembelianku di kota. Setelah mengucapkan salam, ia bergegas berangkat sambil berjalan kaki.

Setengah jam sejak keberangkatan ayah, ada kabar bahwa ada banjir bandang melanda desa kami. Semua panik karena tahu jalan yang dilalui ayah itu melintasi sebuah sungai kecil. Konon menurut warga, sungai itulah yang  terkena banjir bandang.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Ayahku ternyata ikut menjadi korban. Sorenya setelah pencarian yang panjang oleh tim SAR, aparat pemerintah, dan penduduk desa, jasad ayahku akhirnya ditemukan. Beliau tersangkut di antara akar kayu sebuah pohon besar dalam kondisi sudah tak bernyawa lagi.

Itulah sekelumit kisah pilu yang pernah terjadi di keluargaku. Sejak kepergian ayah, praktis aku yang mengambil alih posisi sebagai kepala keluarga untuk mencari nafkah. Tak tega rasanya membiarkan ibu dan kedua adik perempuanku itu menderita. Aku begitu menyayangi mereka.

Terpaksa aku membatalkan niatku kuliah. Padahal saat itu aku sudah diterima kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri di Kota Bandung. Biarlah aku berkorban demi orang-orang yang aku cintai.

Sejak setahun lalu ibuku selalu menganjurkanku berumah tangga. Katanya sudah saatnya aku menikah. Adik-adikku mau diurus sendiri oleh ibuku yang kini nyambil kerja jual gorengan di depan rumah kami.

"Din, carilah istri untuk mendampingimu. Ibu pikir kamu sudah waktunya berumah tangga," kata ibuku suatu hari.

"Ah Ibu ada-ada saja. Boro-boro punya istri, pacar saja belum punya. Siapa sih yang mau sama Udin?" jawabku sambil duduk  di kursi kayu depan teras rumah kami.

"Kamu itu terlalu cuek Din. Ibu perhatikan banyak loh gadis di desa kita yang tertarik padamu . Kamu saja yang dingin Din," jawab ibu lagi sambil membereskan meja makan bekas kami sarapan.

"Ah ibu. Nanti juga ada jodohnya kalau sudah waktunya. Udin masih ingin mengumpulkan uang dulu Bu. Kalau sudah cukup, baru Udin berani cari istri, bukan pacar," jawabku lagi.

Begitulah Ibuku. Beliau sangat sayang padaku, juga pada kedua adikku. Tak tega aku membiarkannya hidupnya susah. Sebagai anak tertua, aku wajib mengurusnya. Oleh sebab itulah aku masih sendiri, belum beristri.

Jujur saja, batinku ini sebenarnya memerlukan sosok wanita lain yang selalu setia mendampingiku. Namun, aku masih terlalu serius mengurusi kebunku. Hasilnya sekarang terbukti cukup lumayan. Selain cukup untuk menghidupi keluarga, juga masih bisa kusimpan dalam tabungan di koperasi desaku.

***

Mirip dengan almarhum ayah, usai salat Subuh dan sarapan pagi, biasanya aku langsung pergi ke kebun. Namun entah kenapa, pagi itu perutku mules sekali agak kurang bersahabat. Sudah dua kali aku buang air besar.

Ah, ada-ada saja! Terpaksa kutunda dulu pergi ke kebun. Aku mau beli obat dulu di warung yang letaknya tak jauh dari rumah. Pasti belum buka karena masih terlalu pagi. Jadi terpaksa harus menunggu agak siangan.

Sekitar pukul 9 pagi, setelah minum obat dan merasa kondisi perutku agak baikan, kuputuskan berangkat ke kebun. Aku pergi berjalan kaki lewat belakang  rumah. Kebetulan ada jalan pintas yang biasa dipakai untuk memotong jalan.

Kakiku melangkah melalui jalan desa yang masih terbuat dari tanah. Kalau hujan, jalan ini biasanya becek. Menurut kabar yang santer terdengar, tahun ini rencananya baru mau di beton dengan menggunakan dana desa. Semoga saja cepat dibangun biar tidak becek, ujarku dalam hati. Semoga saja amanah dan tidak dikorupsi oleh kepala desa, lanjut batinku.

Setelah melewati jalan desa, aku belok ke jalan setapak yang membelah kebun penduduk desa. Kanan kiri ditanami pohon kopi yang diselingi dengan pohon-pohon besar seperti pohon jengkol, mangga, dan kelapa.

Kini aku berjalan di tepi sebuah kebun kosong yang belum lama dibuka. Tampak ada beberapa tunggul kayu yang masih menonjol di antara pohon jagung muda setinggi satu meter. Tiba-tiba, sayup-sayup terdengar seperti ada suara orang menangis. Aku menghentikan langkah sejenak untuk memastikannya. Siapa ya yang menangis? Sepertinya suara seorang wanita, pikirku dengan perasaan tak karuan.

Suara itu semakin lama semakin jelas. Setelah kuamati dengan seksama, suara itu tampaknya bersumber dari sebuah gubuk yang ada di tengah kebun jagung tersebut.

Entah mengapa kok aku merasa harus mendekati sumber suara itu. Aku lantas menerobos rimbunan pohon jagung itu menuju gubuk sederhana yang atapnya terbuat dari daun alang-alang.

"Punteun ....punteun," sapaku dalam bahasa Sunda.

Tidak ada jawaban sama sekali. Aku mulai melihat sosok wanita berambut panjang dengan baju motif bunga-bunga dan memakai rok sedang menangis. Ia duduk dengan posisi tubuhnya bersender di gubuk yang dindingnya terbuat dari bilik tersebut.

Anehnya, walau aku dan wanita itu berjarak sekitar lima meter, tapi wangi tubuhnya terasa sekali di hidungku. Ya, aromanya seperti bunga melati.

Aku tak bisa melihat wajah wanita itu karena kepalanya ditelungkupkan ke lututnya bersama kedua tangannya. Rambutnya yang hitam, panjang, terjuntai menutupi sebagian kaki dan tubuhnya yang ramping.

"Hu ..hu...hu ..." Suara tangis wanita itu masih terdengar, tapi nadanya kian melemah.

Aku memberikan diri mendekati wanita itu. Kalau dilihat sekilas, tampaknya dia seorang gadis.

"Neng ...Neng ... mengapa menangis saja," tanyaku padanya dari jarak dekat.

Gadis itu masih diam saja. Tak ada orang lain di sana. Sepertinya dia cuma seorang diri. Aneh juga ada gadis seorang diri di tengah kebun yang sunyi ini, pikirku tak mengerti.

Akhirnya gadis itu menoleh ke arahku sambil menyapu air matanya dengan lengannya. Terlihat wajahnya yang cantik, teduh, dan nyaman dipandang mata. Sontak aku jadi terpesona dibuatnya. Rasanya aku seperti baru bertemu dengan bidadari yang baru turun dari kayangan. Hatiku kok jadi bergetar tak karuan.

"Aa mau kemana? Kok mau menjenguk Neng di sini. Biarin aja Neng sendiri. Semua orang sudah enggak peduli lagi sama Neng," ujar gadis itu mulai membuka percakapan.

"Aa mau ke pergi ke kebun. Gak jauh kok dari sini. Kebetulan Aa suka lewat sini. Jaraknya paling sepuluh menit lagi sampai kok," jawabku pada gadis itu. "Maaf, kalau Neng namanya siapa? Kok kelihatan sedih sekali? Ada apa Neng?" lanjutku sambil bertanya padanya.

"Saya Siti. Lengkapnya Siti Nur'aini," jawabnya sambil matanya masih berkaca-kaca.

Siti kemudian terdiam dan tidak melanjutkan kata-katanya. Sepertinya ada beban yang begitu berat dalam batinnya sehingga ia begitu sulit mengungkapkannya. Sementara aku diam saja mencoba memberi ruang agar ia merasa nyaman berbicara padaku.

"Pernikahanku tak mendapat restu calon mertuaku. Mungkin karena aku cuma gadis desa, sementara pacarku anak orang berada," ujar Siti berterus terang.

"Emang kenapa kalau Neng Siti gadis desa? Kan tidak ada salahnya? Yang penting seiman dan saling mencintai. Perbedaan status sosial harusnya jangan dijadikan masalah," kataku pada Siti sambil mencoba menghibur perasaanya.

"Itulah masalahnya Aa, padahal kami sudah saling mencintai. Mungkin karena orang tua pacar saya itu pejabat  penting, sementara orang tua Neng kan cuma petani desa. Kayaknya mereka malu Aa ..hu..hu..hu...," jawab Siti lagi sambil kembali sesenggukan menahan sedih.

Tak lama kemudian terlihat ada seorang pria tua bercelana hitam dan berkaos oblong putih sambil membawa cangkul. Kepalanya memakai topi caping sehingga wajahnya tidak terlihat jelas. Ia mendekat ke arah kami.

"Itu siapa," tanyaku pada Siti setengah berbisik.

"Itu Uwak, kakak tertua mama. Beliau yang punya kebun ini. Tadi Neng diajak main ke sini untuk hiburan. Alam di sini kan masih asri dan sejuk. Siapa tahu Neng bisa melupakan pacar Neng," jawab Siti lagi memberi penjelasan kehadirannya di kebun itu.

Setelah bertemu Uwaknya Siti, kami sempat berkenalan dan ngobrol sejenak. Kemudian aku pamit dan segera melanjutkan perjalananku.

Jarak menuju kebunku tidak begitu jauh. Hanya menyeberangi sebuah jembatan kecil, lalu melewati sebuah pemakaman desa. Nah, dari makam tersebut tinggal beberapa ratus meter saja, persis setelah kebun kopi milik tetanggaku.

Kakiku terus melangkah membelah kebun jagung menuju jalan setapak yang tadi kulalui. Lalu meneruskan perjalanan ke arah jembatan kecil. Di bawahnya mengalir sungai kecil yang pernah menyeret tubuh ayahku ketika terjadi banjir bandang lima tahun silam.

Alhamdulillah aku berhasil melalui jembatan itu dengan selamat. Setiap melewati jembatan ini pasti aku teringat almarhum ayahku. Kenangan itu tak mungkin hilang sampai akhir hidupku.

Jalan setapak yang kulalui kemudian tembus ke jalan desa yang lebih besar. Aku belok ke kanan menuju arah makam desa. Dari kejauhan aku melihat beberapa kendaraan ambulan dan mobil plat merah parkir berjajar di pinggir jalan. Beberapa mobil tentara dan polisi pun ada di sana. Ada apa gerangan? Tumben enggak biasanya begini, pikirku penuh tanda tanya.

Langkahku semakin dekat ke lokasi pemakaman. Beberapa orang berpakaian Alat Pelindung Diri (APD) berwarna putih-putih tampak memenuhi area makam. Sementara beberapa petugas polisi dan tentara berjaga-jaga dari kejauhan.

Aku mendekati salah seorang petugas polisi yang berjaga di pinggir jalan sambil memakai masker.

"Maaf Pak, sepertinya ada yang meninggal karena corona ya Pak?" tanyaku pada petugas itu.

"Betul dik. Meninggalnya tadi malam. Baru tadi Subuh mayatnya dibawa dari rumah sakit untuk dimakamkan di sini," jawab petugas polisi itu ramah.

"Kenapa jauh-jauh dari kota kok dimakamkan di sini?" tanyaku lagi ingin tahu.

"Almarhumah kan asalnya dari desa ini, jadi dimakamkan di sini sesuai permintaan orang tuanya," jelas polisi itu lagi.

"Kalau boleh tahu, siapa nama orang yang meninggal Pak?" tanyaku lagi penuh selidik.

"Siti Nur'aini, gadis muda berusia 19 tahun. Anak Pak Somad dari Desa Kembang Gading," jelas polisi itu sambil membenarkan masker kainnya yang melorot.

Siti Nur'aini? Bukankah itu gadis yang tadi ngobrol denganku di kebun jagung? Ah, tak mungkin. Pasti bukan dia! Kataku dalam hati.

"Maaf, adik ini siapa? Mau kemana? Dilarang mendekati area makam ya Dik. Cukup melihat dari sini saja," jawab polisi itu yang segera membuyarkan lamunanku.

"Saya Baharudin Pak. Panggil saja Udin. Saya mau ke kebun, kebetulan tidak jauh dari sini. Maaf Pak sudah mengganggu," jawabku sambil menganggukkan kepala dan menjauh dari polisi itu.

Sambil berjalan menuju kebun, pikiranku kembali melayang-layang memikirkan pertemuanku tadi bersama Siti. Ah, andai saja gadis itu masih ada, aku mulai jatuh hati padanya.

***

Selepas salat Asar, aku kembali pulang. Aku menelusuri jalur yang sama ketika tadi pergi. Mobil ambulan dan petugas medis yang tadi ramai di dekat kuburan sudah tak ada. Suasana hening, layaknya sebuah kuburan.

Aku penasaran dan mencoba memberanikan diri melihat makam itu dari dekat. Benar saja, di atas kuburan itu tertancap papan nisan bertuliskan "Siti Nur'aini binti Somad, lahir 23 Maret 2001, wafat 13 April 2020".

Selamat jalan Siti, semoga engkau damai di alam sana.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun