29 Mei 2011 19:13Diperbarui: 26 Juni 2015 05:04770
Kasus ini mungkin tidak hanya terdapat dalam seni wayang. Seni lainya juga mengalami hal serupa, yaitu dijauhi oleh generasi muda. KENAPA? Pertanyaan ini sebenarnya harus ada di benak semua dalang, dalam wayang gaya apapun. Sudah tidak asing lagi bahwa pertunjukan wayang itu mengandung nilai falsafah, nilai sosial, dan lain sebagainya. Predikat yang bagus, indah, adi luhung membebani kesenian yang satu ini. Di tengah carut marutnya dan mulegnya pemerintahan ini, wayang seharusnya muncul kepermukaan, sebuah peluang emas untuk menarik simpatisan remaja atau pemuda. Kok bisa demikian? Bukankah wayang itu merupakan kaca kehidupan, tempat untuk memandang diri, tempat untuk mencari solusi. Kalau ia, mengapa tiap dalang atau kebanyakan dalang tidak berusaha berbenah. Kenapa hanya bisa mengeluh "pentasnya semakin sepi", terus mengemis? Padahal sudah diketahui bahwa sejak Megawati menjabat, seni wayang ini sudah tidak difungsikan sebagai corong pemerintah, alias di anak tirikan. Sehingga secara tidak langsung, PEPADI, SENAWANGI dan lain sebagainya tidak mendapatkan kucuran dana kreatifitas. Mau mencari sponsor? Sedikit sponsor yang melirik seni tradisi, secara managemen tidak menguntungkan bagi mereka, meskipun ada satu dua pementasan wayang yang menggunakan sponsor. Itupun tidak berlanjut dan berhenti.
Jixie mencari berita yang dekat dengan preferensi dan pilihan Anda. Kumpulan berita tersebut disajikan sebagai berita pilihan yang lebih sesuai dengan minat Anda.