Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Buta Warna Politik

14 Mei 2014   23:52 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:31 245 19
[caption id="" align="aligncenter" width="475" caption="Kampanye Pemilu Legislatif di Belgia (sumber: Le Soir)"][/caption] "Untung ya Pak kita ini orang biasa-biasa aja," Begitu kata anak saya yang duduk di kelas 6 SD sambil asyik baca koran lokal Belgia. "Biasa-biasa gimana maksudmu?", tanya saya. "Maksudku kita ini nggak kaya tapi juga nggak miskin", jawabnya. "Lho emang kenapa?", tanya saya lagi. "Kalau miskin dah jelas nggak enak ya Pak. Kalau kaya juga nggak enak. Pemerintahan (federal-Belgia) sekarang ini kan Partai Sosialis, jadinya orang kaya bayar pajaknya jauh lebih gede daripada orang biasa apalagi orang miskin", begitu jawabnya sambil matanya terus membaca koran sambil tengkurepan. "Wooh gitu ya?", kata saya cukup terkejut. Memang akhir-akhir ini anak saya yang sulung memberikan perhatian lebih kepada situasi politik di negeri tempat kami tinggal. Tanggal 25 Mei yang akan datang akan diadakan pemilihan umum parlemen pusat (Belgia) dan daerah (Flandria dan Wallonia). Di Indonesia pemilu ini bisa disejajarkan dengan pemilihan anggota legislatif DPR pusat  dan daerah. Saya kejar si sulung dengan pertanyaan akan perbedaan jalannya negara jika yang memerintah bukan partai sosialis. Sambil ngemil kacang dia menjelaskan bahwa pemerintahan akan bersikap 'lebih lunak' terhadap orang kaya jika pemerintahan dipegang partai liberal konservatif sepertiN-VA dan akan 'semakin lunak lagi' jika yang memegang pemerintahan adalah partai ekstrim kanan (Vlaams Belang). Terkejut saya mendengar bagaimana anak umur 11-12 ternyata cukup fasih bicara warna politik. Hal yang buat saya, apalagi saat seumur itu, adalah hal yang luar biasa asing. Akhirnya saya melamun dan diam-diam menyadari bahwa pada dasarnya saya ini menderita buta warna politik. Kebutaan saya (dan mungkin Anda juga?) terhadap warna politik tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh periode 30 tahun hidup di alam negara korporatis à la Indonesia yang diusung Golongan Karya. Di bawah dominasi Golkar, doktrin sosial dan ekonomi negara korporatis menekankan kerja sama antar berbagai golongan profesi yang berbeda-beda di masyarakat. 'Penomorsatuan kestabilan politik' menyebabkan jumlah partai diminimalisasi lewat berbagai proses fusi antara tahun 1973 dan 1977. Akibat dari penyederhanaan ini, nyaris sepanjang orde baru, yang kita lihat hanyalah politik sektarian yang secara kasar berkutub tiga yaitu pegawai negeri dan pemerintah yang berkubu ke Golkar, Islam yang berkubu ke PPP dan sisanya ke PDI. Masuk ke masa reformasi tahun 1998 kita kembali ke sistem multi partai di mana selayaknya kita mengharapkan adanya pertempuran ideologi dan visi.  Kenyataannya 16 tahun kita lalui begitu saja dengan sakit buta warna yang masih tetap sama stadiumnya. Satu pertanyaan saja: apakah partai-partai yang ada sudah mengusung dan mempopulerkan ideologi yang mereka anut? Misalnya: sudah bisakah kita membedakan arah kebijakan dalam hal pajak penghasilan dari partai-partai peserta pemilu legislatif tempo hari? Atau apa perbedaan partai-partai itu dari sisi kebijakan ketenagakerjaan? Investasi asing di dalam negeri? Pendidikan? Atau mungkin pertanyaan saya  tadi sudah terlalu jauh. Mungkin lebih tepat jika kita tanyakan, apakah memang partai-partai tersebut memiliki 'ideologi' partai? Sakit butawarna politik ini semakin kronis saat pemerintah justru enam tahun lalu malah dengan ganteng dan gagah menggolkan (UU) Nomor 42 Tahun 2008 tentang syarat pencapresan berikut presidential threshold-nya. Alih-alih memberi kesempatan untuk para capres dari berbagai partai untuk mematangkan visi dan menyiapkan program, UU ini justru yang menyebabkan tiga bulan ini seperti menjadi musim kawin di mana para capres sibuk mencari cawapres yang cucok agar daerah jangkauan perluasan suaranya makin luas. Dengan asumsi bahwa setiap partai punya ideologi partai, lewat kawin mengawin seperti ini, kita sebagai calon pemilih sepertinya diajak untuk mengamini bahwa proses perkawinan antara dua (atau lebih) ideologi yang berbeda bisa dilangsungkan dalam waktu 3 bulan saja. Artinya dalam waktu 3 bulan, dua ideologi partai yang berbeda bisa disatukan atau semacam dihibrida lalu program capres-cawapres bisa disusun secara lancar jaya. Di Eropa barat koalisi partai untuk pemenangan pemilu juga terjadi. Namun proses untuk menyatukan visi dan ideologi selalu tidak mudah dan memakan waktu tahunan. Sebagai ilustrasi, saya jadi teringat beberapa tahun yang lalu di Prancis pernah ada wacana ajakan fusi dari Partai Komunis Prancis (PCF)  kepada Liga Komunis Prancis (LCF) agar suara mereka di pemilu tambah banyak. Di mata kita yang awam, apalagi saya yang buta warna politik, dua partai ini ya sama. Sama-sama komunis, sama-sama partai kiri. Kagum setengah mati saya akan jawaban Olivier Besançenot yang ketua LCF: "sorry mek. LCF lebih kiri dari PCF! Kita ini Trotskien kalau PCF itu Stalinien!! Fusi? Koalisi? Nggak lah yauwww" (*gubrak ) Sampai di sini saya jadi bingung dengan maksud presidential threshold dari UU 42/2008. Jika memang partai-partai diharapkan mengusung ideologi, maka semangat UU ini adalah berkebalikan. Atau memang partai-partai kita tidak mengusung ideologi partai? Abu-abunya warna politik, kawin mengawin, mungkin inilah realitas politik kita sekarang dan mungkin beberapa belas tahun ke depan di Indonesia sekarang ini yang harus kita terima. Lagipula mungkin tidak adil juga membandingkan situasi politik multipartai di Mbelgia atau Eropa barat yang sudah sibuk dengan segala depat visi dan ideologi sejak lebih dari satu setengah abad yang lalu dengan Indonesia yang baru 16 tahun 'merdeka kembali'... "Pak, kita jadi mau nggoreng donat nggak Pak?", tanya anak saya membuyarkan lamunan. -Fin-

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun