Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Ketika Rasa Malu Menjadi Viral

8 September 2021   23:58 Diperbarui: 8 September 2021   23:57 225 5
Rasa malu, emosi sosial kuno ini, selalu kompleks. Internet menuangkan bahan bakar di atasnya, kemudian muncul pula media sosial.

Akar Penghinaan
Lama sebelum ada internet, dalam berbagai masyarakat, orang-orang yang melanggar kode moral akan diikat ke tiang gantungan, massa akan berkumpul untuk mengejek dan mencemooh mereka, melemparkan makanan busuk ke kepala mereka bersama dengan kata-kata yang menghina.

Hukuman sekaligus tontonan ini, yang disebut pillorying (mempermalukan di depan orang banyak), dimulai lebih dari 1.000 tahun yang lalu di beberapa bagian Eropa dan berlangsung hingga abad ke-19.

Akhirnya dilarang karena dianggap terlalu kejam, Inggris sepenuhnya menghapuskan hukuman itu pada 1837, demikian pula banyak negara bagian AS pada saat itu, dan terakhir negara bagian Delaware pada 1905.

Terlepas dari apakah hukuman itu melibatkan tindakan mempermalukan di depan orang banyak atau tidak, rasa malu pada umumnya berjalan paralel dengan peradaban manusia dan tatanan sosial selama berabad-abad.

Beberapa antropolog dan psikolog evolusioner menyatakan bahwa rasa malu bersifat universal dan biologis, sebagai sebuah mekanisme yang ber-evolusi untuk memastikan kelangsungan hidup kita.

Gagasannya adalah bahwa adaptasi yang mendukung kerjasama kelompok dan saling membantu membentang sampai ke manusia purba, menurut sebuah kajian pada 2018 yang diterbitkan dalam Prosiding National Academy of Sciences.

Para peneliti mengisyaratkan bahwa rasa malu pada seorang individu adalah cara alami untuk "mengkodifikasi konsekuensi sosial" dari perilaku tertentu, misalnya  pencurian. Kajian tersebut menguji gagasan ini di 15 komunitas terpencil dan independen di seluruh dunia dan menemukan pola yang sama dalam masing-masing komunitas.

Mempertimbangkan bagaimana masyarakat dibangun di atas norma dan hierarki, sebuah kajian pada 2020 yang diterbitkan di Frontiers in Behavioral Neuroscience membingkai rasa malu sebagai "sebuah arsitektur penghindaran penyakit yang ber-evolusi" di mana emosi membantu melindungi individu dari keadaan sosial yang tidak diinginkan, misalnya dikucilkan dari suatu kelompok.

Kajian tersebut menyajikan beberapa bukti bahwa rasa malu mungkin terkait dengan rasa jijik, dalam hal ini, rasa jijik diarahkan pada diri sendiri sebagai sumber kontaminasi bagi kelompok tersebut.

Walaupun para ahli terus menyelidiki asal mula rasa malu, banyak psikolog kontemporer mengklasifikasikannya sebagai emosi moral yang sadar diri, yang terkait dengan perasaan tidak berdaya, tidak berharga, dan gejolak psikologis lainnya pada individu. Mungkin hal inilah yang berasal dari proses-proses tingkat kelompok dan tentu saja ada manfaatnya.

Namun, itu benar-benar bisa mendatangkan malapetaka pada tingkat individu dan memperburuk keadaan," kata Michael Slepian, seorang psikolog sosial di Universitas Columbia.

Penelitaan Slepian dibangun di atas teori populer dalam psikologi bahwa rasa bersalah, jika dibandingkan dengan kerabatnya, rasa malu, mengambil peran yang berbeda dalam jiwa manusia. Pada dasarnya, rasa bersalah membangkitkan perasaan menyesal atas kejadian atau perilaku tertentu yang telah merugikan orang lain.

Di sisi lain, rasa malu juga memunculkan perasaan tidak berharga dan penilaian diri yang lebih luas.

"Itulah perbedaan utama antara rasa bersalah dan rasa malu," kata Taya Cohen psikolog organisasional Universitas Carnegie Mellon, "Kau melakukan hal yang buruk," vs. "Kau orang jahat."

Di zaman sekarang, misalnya, jika Anda memposting kata-kata kasar tentang seorang teman di media sosial, Anda mungkin merasa bersalah dan kemudian meminta maaf. Apa yang disebut respons rasa malu untuk situasi yang sama akan membuat Anda merasa seperti orang yang mengerikan dan tidak berharga.

Slepian mengatakan dia mempertanyakan apakah ada tempat yang sehat untuk rasa malu hari ini: "Saya tidak tahu apakah membuat orang merasa kecil dan tidak berdaya adalah hal yang baik."

Menyebarkan Rasa Malu
Sama seperti Monica Lewinsky adalah pasien nol untuk penghinaan global instan, Justine Sacco pada 2013 menjadi anak poster untuk Twitter shaming viral, sekarang praktik umum pada platform yang dibangun untuk input cepat (seringkali kritik) dari massa.

Beberapa menit sebelum naik penerbangan 11 jam ke Afrika Selatan, Sacco memposting tweet ke 170 pengikutnya, yang secara permanen mengubah hidupnya: "Pergi ke Afrika. Semoga saya tidak terkena AIDS. Hanya bercanda. Saya putih!"

Pada saat Sacco mendarat, puluhan ribu orang telah menanggapi dan membagikan tweetnya. Tagar #HasJustineLandedYet (#ApakahJustineTelahMendarat) menjadi viral di seluruh dunia, dengan rentetan kritik yang menyebut dia rasis.

Momen itu sebagian didorong oleh fakta bahwa dia mengudara dan tetap tidak menyadari dampak tweetnya sampai dia terhubung kembali ke internet. Dia juga bekerja sebagai seoarang direktur komunikasi senior, yang menciptakan badai ironi dan meme internet yang sempurna.

Sacco segera dipecat dari pekerjaannya, dan menjadi subjek artikel dan buku yang tak ada habisnya. Salah satu pertanyaan besar dalam kasusnya, dan banyak kasus serupa, adalah sejauh mana kesalahan tunggal harus menghancurkan reputasi seseorang. Dan kapan Twitter shaming, atau setumpuk kritik terhadap seseorang, menjadi perundungan?

Seperti yang Anda duga, ini rumit. "Salah satu masalah dengan [media sosial] adalah tidak ada konteks," kata Lisa Feldman Barrett, seorang ahli saraf dan psikolog di Universitas Northeastern dan penulis How Emotions Are Made: The Secret Life of the Brain.

Ini diperparah oleh fakta bahwa media sosial tidak selalu memungkinkan wacana bolak-balik yang sama yang digunakan orang dalam kehidupan nyata untuk membicarakan masalah mereka.

Alih-alih, platform seperti Twitter dan Facebook sebagian besar dirancang untuk penyiaran, katanya, ketimbang komunikasi aktual di antara orang-orang: "Ini sebagian besar adalah tentang berbicara, dan ini bukan tentang mendengarkan."

Namun, kemarahan moral publik tidak selalu ditujukan untuk mereformasi seorang pelaku tertentu. Tujuannya mungkin solidaritas kepada korban, kelompok atau penyebab, dan pergeseran nilai-nilai budaya pada siapa pun yang menyaksikan kemarahan itu.

"Orang yang telah melakukan pelanggaran, misalnya, Harvey Weinstein, mungkin akan menjadi kasus yang sia-sia," jelas Cohen, "Tapi, dengan menjadikannya contoh, itu menetapkan standar bagi masyarakat kita. Kode moral. Perilaku apa yang bisa diterima dan tidak bisa diterima."

Mengaduk-aduk Kemarahan
Massa Twitter dan media sosial sering bersatu melawan rasisme, seksisme, dan perilaku lain yang berakar pada kefanatikan. Jika Anda memeriksa gerakan budaya seperti #BlackLivesMatter dan #MeToo, Anda akan menemukan pelanggar tertentu dipermalukan bersama dengan tantangan kepada organisasi yang lebih luas, misalnya departemen kepolisian atau partai politik.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kemarahan kolektif juga bisa menjadi kekuatan pemersatu dan efektif untuk perubahan sistemik. Kemarahan bahkan mungkin diperlukan.,

Martin Luther King Jr. dan Malcolm X sama-sama marah tentang rasisme. Gandhi marah tentang imperialisme Inggris di India. Mereka semua marah kepada ketidakadilan, dan mereka mampu mengubahnya menjadi aktivisme.

Kepustakaan
1. Meinch, Timothy, When Shame Goes Viral, Discover, March/April 2021, hlm. 38-45.
2. Diary Johan Japardi.
3. Berbagai sumber daring.

Jonggol, 8 September 2021

Johan Japardi

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun