Mohon tunggu...
KOMENTAR
Foodie Pilihan

Mau Tahu Level Kepedasan Cabe? Pakai Skala Scoville

14 April 2021   01:15 Diperbarui: 24 April 2021   05:02 1594 5
Bhut Jolokia, si Cabe Setan dari Timurlaut India, dianggap sebagai cabe yang "sangat pedas," kira-kira 1.000.000 SHU. Sumber: Scoville Scale.

Entah kapan mulainya, dunia kuliner Indonesia marak dengan promosi-promosi yang berfokus bukan pada makanan yang dijual itu sendiri, melainkan bumbunya.

Mungkin orang sudah kehabisan ide dalam promosi, misalnya ayam geprek, yang dengan cepat menjadi fenomenal dan menjenuhkan pasar, seakan semua orang berlomba-lomba menjualnya, di mana-mana ayam geprek!

Strategi mencari tempat di mana persaingan belum ada dengan cepat menjadi obsolet, padahal dunia ini begitu luas. Bahkan sekarang di dekat tempat tinggal saya, hanya dalam hitungan bulan, ada 3 penjual wedhang jahe yang menempati lapak yang berdekatan, 2 di antaranya bahkan saling bersebelahan, tentunya dengan penjual baru yang harga jualnya lebih murah. Sebelumnya saya sudah melihat banyak persaingan serupa untuk makanan dan minuman jenis lain. Dunia jualan ini saja sudah berubah menjadi begitu kompleks.

Kita tidak bisa menyalahkan keadaan, tiap orang butuh hidup. Kita juga tidak bisa menyalahkan pemerintah dan menuduh bahwa regulasi dalam hal ini lemah. Saya pribadi hanya memegang 2 prinsip yang di dasari oleh ajaran orangtua.
1. Tepuk dada tanya selera. Sesuaikan apa yang mau dimakan dengan anggaran yang tersedia, tapi jangan abaikan:
2. Tulus berteman dengan siapa pun dan langgengkan pertemanan dengan orang-orang yang sehati dan sepikiran.

Saya tidak akan mengikuti cara segelintir orang yang kontradiktif dengan hal ini, misalnya seorang kenalan yang, dalam contoh wedhang jahe tadi, bermasabodoh kepada penjual lama yang juga sudah lama dikenalnya dan memilih minum di warung di sebelahnya, yang penting bagi dia bisa hemat Rp. 1.000 per gelas setiap kali dia minum. Baik pertemanan maupun kecocokan rasa tidak penting bagi dia. Saya mau "ngucap," tapi tidak ada satu kata pun yang saya tahu yang bisa mewakili apa yang mau saya ngucap itu.

Saya lanjutkan dengan ayam geprek. Pola promosi yang semula adalah menawarkan kelebihan dan keunikan ayamnya, bergeser ke.... cabenya, sehingga muncullah promosi (yang juga dengan cepat dicopy-and-paste atau di-me-too-kan oleh para pesaing penggagas ide), dan muncullah promosi berupa "level kepedasan." Namanya saja level, tapi ini bukan ukuran kuantitatif, melainkan ya, kualitatif, yang sebenarnya sudah ditunjukkan dengan tidak pedas, pedas sedang, pedas, atau sangat pedas yang sampai sekarang masih dicantumkan misalnya pada kemasan bumbu pecal.

Bagi saya penggunaan istilah level untuk sifat kualitatif adalah sangat tidak logis. Jadi bagaimana?

Sebenarnya level yang benar-benar level ini sudah ada selama 109 tahun, namanya Skala Scoville, tapi entah kenapa tidak begitu populer, kecuali di kalangan peneliti atau "penggila" cabe.

Di sini saya mau memberikan informasi tambahan bahwa tidak semua bule itu tidak bisa makan cabe. Kalau dilacak, yang membawa cabe ke Asia adalah para pedagang Portugis, dan cabe sendiri berasal dari Meksiko (jangan coba-coba bertanding dengan orang Meksiko dalam memakan cabe, cabe Habanero yang level kepedasannya jauh di atas cabe rawit kita saja adalah makanan sehari-hari mereka, lihat senarai di bawah).

Cabe Habanero yang biasa saya gunakan saja mengandung campuran banyak bahan lain untuk menurunkan tingkat kepedasannya ke >7.000, jangan kaget: cuka, gula, cabe merah biasa, garam, bubur* (puree) mangga, bawang merah, pisang, tomat, pasta asam Jawa, puree pepaya, bumbu-bumbu, bawang putih. Sekali pakai hanya dalam hitungan tetes. Sambal botolan yang kita kenal adalah ecek-ecek kalau dibandingkan dengan Habanero.

*Bubur dalam pengertian seperti pada "bubur kertas," bukan bubur yang dimasak untuk dimakan, saya lebih suka menggunakan istilah puree.

Kita lihat tempat-tempat di Asia (di luar Indonsia) di mana cabe ditanam: Korea (kalau tak ada cabe dari mana datangnya Kimchi?), Hunan China (adik angkat saya yang lahir di sini dan sekarang menetap di Shenzhen harus dikirimi cabe Hunan oleh ibunya, kalau tidak dia tidak bisa makan, dan setiap kali saya menanyakan bagaimana tentang cabe dalam makanan Indonesia yang saya bawakan untuknya, dia selalu menjawab "lumayanlah" padahal tak merasa pedas sedikit pun)
 
Sampai di sini saya sudah cukup prolix (maaf, lagi pingin pakai istilah ini), tapi izinkan saya lanjutkan sedikit sebelum ke uraian pokok sesuai judul, karena yang akan saya ceritakan adalah tentang rekan segelar saya, seorang Apoteker. Selusin hari yang lalu saya sudah menulis artikel berjudul Apoteker (Bilingual).

Beberapa dekade yang lalu, ketika saya masih berkuliah di Jurusan Farmasi FMIPA USU (sekarang Fakultas Farmasi USU), salah satu buku wajib yang tersedia di perpustakaan Laboratorium Teknologi Formulasi Steril adalah klasika karya Wilbur Scoville yang berjudul The Art of Compounding (Seni Meracik Obat) yang oleh kami mahasiswa disingkat menjadi AOC.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun