Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Ketika Kartini Disalahpahami

20 April 2011   22:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:35 401 1
"Besok Hari Kartini, Ibu-ibu jangan masak!", begitu kata teman saya di sela-sela rapat dinas ketika seorang teman selesai usul mengucapkan selamat hari kartini. Itu contoh sesat pikir memahami Hari Kartini dan tentang Kartini.

Tanggal 21 April  diperingati sebagai Hari Kartini, itu adalah tanggal Kartini dilahirkan di Mayong Jepara. Kartini yang putri seorang bupati. Kartini yang dipisahkan dengan ibundanya dan dirawat oleh ibu tirinya. Sejak kecil Kartini sudah tahu seperti apa kehidupan poligami dan feodal di masa kolonial. Beruntung Kartini karena putri Bupati dia bersekolah dan mengenal teman-teman Belanda yang  kelak dikirimi surat-suratnya yang berisi pemikiran cemerlang luar biasa.

Surat-surat Kartini  berisi tentang kemerdekaan bangsa Indonesia, pendidikan untuk rakyat terutama untuk anak perempuan, dan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Pemikiran yang sangat brilian melampaui zamannya bahkan masih relevan sampai sekarang. Kartini juga  mendesain ukiran Jepara untuk teman-temannya di Belanda yang memesan ukiran Jepara untuk beberapa perabot. Dia memikirkan rakyat kecil pencari rumput yang menjual rumput dengan harga hanya beberapa sen saja.

Betapa jauhnya cakrawala pemikiran Kartini, meski tubuhnya dibatasi tembok kabupaten. Bahkan Kartini mendapat bea siswa sekolah di Belanda, namun karena beberapa pertimbangan akhirnya bea siswa itu diberikan atau dialihkan kepada Kiyai Haji Agus Salim yang juga seorang pahlawan kemerdekaan dengan pemikiran kebangsaan yang jauh ke depan melampaui zaman dengan prinsip yang teguh.

Jadi jika kita masih beranggapan bahwa Kartini pahlawan emansipasi saja dan hanya diperingati kaum perempuan benarkah? Itulah salah paham yang saya maksud. Apa lagi dengan  cara teman saya yang malah menganjurkan ibu-ibu untuk tidak masak, apa relevansinya? Tidak ada....bukan itu maksud kita memperingati Hari Kartini. Hari Kartini sudah selayaknya dirayakan dengan menelaah diri apakah bangsa kita sudah merdeka dalam arti yang seluas-luasnya? Apakah pendidikan kita sudah sesuai dengan cita-cita Kartini dilanjutkan Ki Hajar Dewantara maupun  Dewi Sartika dan di Sumatra Barat Rohana Kudus? Apakah pendidikan kita sudah membangun jiwa kebangsaan dan cinta tanah air yang memadai pada anak didik kita? Apakah pendidikan kita sudah membangun karakter bangsa  seperti yang dicita-citakan Soekarno Presiden pertama Republik Indonesia?

Apakah kedudukan perempuan dan laki-laki sudah setara di berbagai bidang?

Saya justru melihat dalam hal kesetaraan kaum perempuanlah yang masih sering salah paham dan sesat pikir. Mereka selalu bilang akan menjadi perempuan karir yang tidak lupa pada kodratnya. Apa itu kodrat? Kodrat adalah sesuatu yang terbawa sejak kita lahir. Kodrat perempuan adalah dia juag punya rahim dan alat reproduksi yang membuatnya akan mengalami daur haid, hamil, melahirkan dan menyusui. Namun jika perempuan kerja di dapur atau wilayah domestik itu bukanlah kodrat namun budaya. Budaya sesuatu yang bisa diubah   hasil dari pendidikan, adat-istiadat dan kebiasaan yang bukan harga mati. Bisa saja seorang perempuan memilih pekerjaan domestik dengan menjadi seorang istri, dan ibu yang di rumah saja mengasuh anak dan mengurus rumah tangga. Itu adalah sebuah pilihan, dan suami serta keluarga harus menghormati pilihan itu. Demikian juga seorang perempuan yang memilih bekerja selain sebagai istri dan ibu itu pun sah-sah saja. Rumah tangga adalah tanggung jawab bersama istri dan suami.

Seorang perempuan adalah manusia utuh apa pun statusnya. Apakah dia masih lajang atau bahkan melajang seumur hidupnya, atau seorang istri yang belum memiliki anak atau bahkan tidak memiliki anak dia tetap seorang manusia utuh yang berhak untuk meraih kebahagiaannya.Kadang kita usil dan beranggapan ada yang kurang dari seorang perempuan lajang atau yang sudah menikah tanpa anak. Untuk apa kita mengusik kehidupan dan kebahagiaan orang lain dengan menanyakan sesuatu yang ada di luar kehendaknya?

Selamat Hari Kartini, mari kita rayakan pemikiran bernas dan cerdas Kartini dengan mawas diri apakah bangsa kita dan kita telah merdeka, pendidikan telah merata dan mendidik anak-anak Indonesia untuk berkarakter, menjadi manusia merdeka, cinta tanah air dan bangsanya? Apakah kita telah mendudukkan perempuan setara di berbagai bidang dengan laki-laki? Apakah kita telah cukup mengangkat kesejahteraan rakyat kecil? Tukang rumput, perajin ukiran, pelaku usaha kecil, petani tak memiliki lahan, petani dengan lahan sempit, pedagang kecil, pedagang kaki lima, gelandangan, penganggur, pengemis, pelacur?

Pertanyaan besar untuk kita semua, bangsa Indonesia. Semoga Ibu Kartini tersenyum di alam sana....atau bahkan masih menangis sedih?

Sumber:  Surat-Surat  Kartini, Sulastin Sutrisno.

Banjarnegara, Kamis 21 April 2011 pagi hening di hari Kartini

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun