Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Kawan Tan Malaka Yang Tak Kunjung Pulang

21 Mei 2012   04:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:01 524 4

INI TAK SOAL KAWAN. Tapi buku. Kan tak kurang dari seorang Hemingway bilang, tak ada kawan yang sesetia buku. Saya tak menampik. Buku adalah sebenar kawan. Dan beberapa kali, sebagaimana layaknya kawan, saya kehilangan mereka—kehilangan buku-buku kesayangan.

Sebelumnya, sudah beberapa seorang kawan—sesama pecinta buku—menasehati saya. “Jem, jangan sekali-kali pinjamkan bukumu ke orang lain!”

“Kenapa pula?”

“Biasanya tak dikembalikan lagi,”

“Akh, yang benar!? Lagi meminjamkan duit dipulangkan orang,” bantah saya.

Tapi benar saja. Satu kali seorang kawan datang kepada saya. Cerita ngalor-ngidul, ia berceloteh prihal Tan Malaka. Saya sendiri kagum akan Tan, dan salah satu bukti kekaguman itu dengan mengumpulkan buku-buku Tan Malaka. Dari Madilog, Massa Aksi, sampai trilogi Dari Penjara ke Penjara.

“Cemana menurutmu Tan Malaka?” pancing kawan saya itu.

“Revolusioner sejati. Dia bapak republik kita ini!” jawab saya.

“Kok Tan Malaka, tidak yang lain?”

“Tan paling duluan, dia sudah merumuskan Menuju Republik Indonesia tahun 1925, jauh sebelum Hatta dan Soekarno,”

“Iya, ya. Tadi di rak bukumu ketengok ada beberapa buku Tan Malaka. Pinjamilah aku!” katanya mengalihkan.

“Boleh! Yang mana?”

“Dari Penjara ke Penjara!”

“Oke, kupinjamkan jilid satu dulu, nanti kalau udah siap kau kembalikan, kupinjamkan yang lain,”

Dan berpindahlah “Kawan Tan Malaka” dari saya ke kawan saya itu. Dan ketika hari berganti minggu berganti bulan, buku itu tak kunjung dipulangkan. Ketika ditelisik, “Bung, cemana Tan Malakanya?” jawabnya, “Belum selesai, Bung, sebentar lagi, kalau siap langsung saya pulangkan!” Tapi tak pulang-pulang juga sampai sekarang--saya kehilangan seorang "kawan" Tan Malaka.

Kapok? Tak juga. Saya masih percaya buku itu juga harus bermanfaat sosial, tak hanya bermanfaat bagi saya, dan menjadi penghias ruang tamu saja. Begitulah ketika seorang kawan datang lagi. Kali ini “kawan” Nietzsche yang jadi sasaran. Zarathustra. Itu karya agung Nietzsche, karena disana dia menjabarkan prihal kematian tuhan, manusia agung, kehendak untuk berkuasa, dll. Walau dengan agak berat hati, saya pinjamkan juga. Kejadiannya sama lagi, buku itu tak kunjung pulang ke pangkuan saya. Ketika ditagih, kawan saya itu malah menawarkan, “Jem, bukunya kubeli saja ya, kau kan bisa beli lagi?”

“Janganlah, itu buku susah nyarinya,”

“Akh, masak sama kawan begitu,” katanya sambil menyelipkan uang beberapa puluh ribu dikantongku.

Dan sampai sekarang aku tak bisa menggantikan kawan Nietzsche terbitan Bentang itu. Memang ada terbitan lain, tapi rasanya tak sama lagi—terlebih juga tak diterjemahkan oleh H.B Jassin.

Kejadian lain lagi, ketika seorang kawan yang sedang menyusun tesis datang kepada saya. “Jem pinjamilah aku beberapa bukumu. Sebulan saja. Saya perlu untuk tesis!”

“Oke, sebulan ya!” menegaskan—wanti-wanti.

“Ya!”

Lalu dia dengan bebas memilih buku-buku di rak buku saya. Termasuk 4 buku kesayangan Kronik Revolusi susunan Pramoedya Ananta Toer dkk—sebuah kronik, tanggal per tanggal tentang sejarah perjuangan bangsa Indonesia pada masa revolusia kemerdekaan. Tak pelak sebuah dokumen berharga.

Tapi apa nak dikata, buku itu pun sampai sekarang belum dikembalikan. Ketika ditagih, “Aduh sori ya, tesisku belum siap-siap!”

“Udah 3 tahun, Coi. Kalau beranak mungkin udah 2!”

“Iya, dosennya bla-bla-bla, kampusnya bli-bli-bli, ininya blu-blu-blu!”

“Bah!”

Itu masih ditambah lagi dengan cerita kawan-kawan yang lain yang bernasib sama. Tak kunjung pulang. Kawan Attar dengan Musyawarah Burung-nya, kawan Steinbeck dengan Tikus dan Manusianya, kawan Kahlil Gibran, dan lain-lain yang kadang saya tak ingat lagi buku apa dan siapa yang meminjam.

***

“Bagaimana, masih mau minjami buku?” kata kawan yang tadi menasehati agar jangan sekali-kali meminjami orang lain buku.

“Kayaknya, kapok!”

“Apa aku bilang!”

Ya. Apa memang dia bilang. Lalu kawan saya itu bilang kalau “Orang yang bodoh meminjamkan buku, tapi lebih bodoh lagi orang yang memulangkan buku!” disambungnya pula lagi, “Bahkan tak kurang dari Anatole France, sastrawan Prancisitu wanti-wanti ‘jangan pernah meminjamkan buku karena tidak akan pernah dikembalikan. Buku-buku di perpustakaan saya semuanya adalah hasil pinjaman.”

“Iya, iya, iya, sekarang saya amini,” kata saya.

Sejak itu saya tak mau meminjamkan buku lagi. Dengan alasan apapun. Kalau mau fotocopi. Atau baca di tempat. Terlebih ketika beberapa buku memang tak bisa saya tagih lagi pengembaliannya. “Dari Penjara ke Penjara” itu misalnya, dengan satu dan lain alasan tak mungkin saya bisa tagih lagi. Ia, kawan saya itu, meninggal. Dan (terpaksa) buku itu saya ikhlaskan.

Sekarang saya rasa lebih baik memberikan atau menghadiahkan buku untuk orang lain. Orang senang, saya lebih-lebih senang. Habis perkara! [*]

JEMIE SIMATUPANG, pedagang buku bekas asal Medan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun