Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Singkawang, Lebih Indonesia Daripada Indonesia Sendiri

7 November 2012   04:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:50 43484 21

Siapa yang tidak kenal Kota Singkawang, Kota Amoyatau Kota Kopi Pangku ?

Wuih… bukan itu yang hendak penulis ketengahkan, sebab tulisan ini hanya sekedar pengalaman penulis yang pernah hidup di negeri yang tidak pernah tidur, banyak pesona hadir di sini, banyak kenangan pula tertanam di hati.

Secara fisik, Kota Singkawang memang mempunyai daya tarik dari para perempuannya yang biasa disebut dengan Amoy, atau bertaburannya warung kopi hampir di segala penjuru kota yang buka dan banyak pengunjungnya dari ayam belum berkokok, hingga larut menjelang dan dilanjutkan dengan kehidupan malam dari Pasar Hongkong, hingga warung-warung di pinggiran kota.

Singkawang, yang berpenduduk sebanyak 246.306 jiwa (BPS 2011), mayoritas penduduk adalah orang Hakka/Khek sekitar 42% dan selebihnya orang Melayu, Dayak, Tio Ciu, Jawa dan pendatang lainnya.

Konon, Singkawang dahulu adalah sebuah desa, dari Kesultanan Sambas, yang merupakan tempat singgah para pedagang dan penambang emas dari dan ke Monterado, yang umumnya dari negeri Cina. Tidak hanya tempat transit, Singkawang juga sebagai tempat awal pengangkutan hasil tambang emas.

Asal kata Singkawang, menurutmereka berasal dari kata San Keuw Jong (Bahasa Hakka), asumsinya adalah hanya dari sisi geografis yang berbatasan langsung dengan laut Natuna serta terdapat pengunungan dan sungai, dimana airnya mengalir dari pegunungan melalui sungai sampai ke muara laut. Singkawang, ternyata menjadi tanah harapan, sehingga mereka, banyak yang beralih profesi menjadi petani dan pedagang, dan sebagian tetap sebagai penambang.

Namun, cerita tentang orang-orang keturunan Cina (Hakka/Khek) di Singkawang masih menjadi perdebatan, sebagian berpendapat bahwa mereka sengaja didatangkan oleh Kesultanan Sambas untuk menambang emas, yang sebagian hasilnya disetorkan ke Kesultanan, yang seperti diketahui bahwa etos mereka ketika itu mengalahkan etos kerja orang-orang pribumi.

Dan sebagian lagi berpendapat, bahwa jauh sebelum Kesultanan Sambas, sebagian daratan Cina pernah dikuasai oleh Kerjawaan Sriwijaya, dan seiring dengan melamahnya Sriwijaya, mereka bangsa-bangsa dari Cina hendak melepaskan diri, dan berusaha untuk menyerang langsung ke Bumi Sriwijaya, namun informasi yang didapat ternyata keliru, sebab dari Bumi Sriwijaya terjadi perlawanan, yang pada akhirnya mereka, bangsa-bangsa Cina, terutama dari suku Hakka/Khek berbalik arah.

Karena berbagai sebab, yang jelas logistik mereka, bangsa-bangsa Cina tersebut singgah di berbagai tempat, dan salah satunya adalah Singkawang (apakah Suku Khek ini sama dengan yang sekarang berdiam di Pulau Bangka atau Pulau Belitong ?)

Maka, jika sejarah mencatat ketika itu, akan menjadi runut, sebab menurut pemikiran penulis, setelah mereka terdampar oleh serangan balik Sriwijaya, mereka mencoba bertahan hidup, dan pada masa Kesultanan Sambas, mereka dipekerjakan sebagai pekerja tambang, hingga akhirnya Kesultanan Sambas mendatangkan lagi orang-orang dari negeri Cina untuk bekerja di pertambangan (emas), setelah melihat etos kerja mereka.

Kini, kita bisa melihat lagi “etos” mereka dalam hal lain, kita lihat hingga kini mereka masih eksis dengan populasi mayoritas di Kota Singkawang, yang pada umumnya adalah berdagang dan bertani.

Sisi lain yang membuat penulis bisa berbangga dari penduduk mayoritas Singkawang, adalah ketika kita berkunjung ke rumah-rumah mereka, maka yang terlihat pertama adalah Lambang Burung Garuda Pancasila di tengah, dan di sebelah kiri pandangan penulis akan terlihat foto Presiden Republik Indonesia dan di sebelahnya lagi foto Wakil Presiden Republik Indonesia.

Tidak hanya sampai di situ, maka ketika Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tiba, maka mereka jauh-jauh hari sudah mempersiapkan sedemikian rupa, dari panggung hiburan di tiap-tiap gang hingga hiburan kembang api, dengan tidak lupa mempersiapkan makanan dan minuman ala kadarnya dan pengibaran bendera Merah Putih tentunya.

Atau ketika hari raya pergantian tahun mereka, yakni Imlek, maka seolah-olah kita sebagai warga non Khek, diwajibkan untuk saling berkunjung, dan yang membuat penulis terharu, ternyata sifat toleransi mereka cukup tinggi, ini dibuktikan dengan hidangan makanan dan minuman yang dipisahkan antara muslim dan non muslim.

Begitupun ketika Lebaran, Hari Raya Idul Fitri atau Hari Natal tiba, mereka tidak segan untuk berkunjung ke rumah-rumah yang merayakannya.

Pernah penulis, menanyakan ke beberapa orang dari mereka, tentang tempat tinggal, ternyata jawabannya di luar dugaan penulis, sebab mereka lebih suka tinggal berdekatan dengan masjid, dengan satu alasan bahwa seterlambatnya mereka terbangun pada pagi hari, adalah ketika suara mengaji di masjid berkumandang sesaat sebelum waktu Shubuh.

Sungguh, merupakan kenangan yang membekas, ternyata Singkawang, yang populasi penduduknya mayoritas beretnik suku Hakka/Khek bisa lebih Indonesia daripada Indonesia sendiri.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun