Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Prof. Dr. H. Buya Hamka: Fatwa Keharaman Natal Bersama bagi Umat Islam

23 Desember 2012   03:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:10 8044 2
Sore hari tahun 1981, ditemani putra sulung Buya Hamka yaitu Bang Rusydi Hamka, ketika itu buya hendak terbang ke Iraq memenuhi pertemuan undangan. Buya mengajak mampir ke kantor Departemen Agama disana Buya menyerahkan satu kop surat berisi beberapa kalimat saja. “Masa iya saya harus mencabut fatwa”, sambil tersenyum simpul Buya Hamka memberikan surat berisi pengunduran diri sebagai Ketua MUI.
Setelah fatwa MUI yang ditekan Buya Hamka itu disebarluaskan Pers dan aktivis Muslim, Depag bagai dilanda bencana. Menteri Agama waktu itu, Ratu Alamsyah Ratuprawiranegara, buru-buru meminta agar fatwa segera di tarik dan dicabut. Tapi Buya memilih mundur ketimbang menjilat air liur sndiri.


Pada rublik “Hati ke Hati” di Majalah Panji Masyarakat edisi 324/1981, Buya Hamka menulis artikel berjudul “Bisakah Suatu Fatwa di Cabut” dia mencurahkan suara hati terdalam tentang makna kerukunan umat beragama yang cenderung menyimpang.
Penulis rasa, jauh-jauh sebelumnya Buya Hamka, di akhir tahun 1950-an, Hamka sudah terang-terangan menentang apa yang dinamakan Sekulerisme, Liberalisme, Kristenisasi bahkan Komunisme-Atheist. Buya Hamka sangat peduli sekali terhadap aqidah dan keyakinan Umat Islam.
Dalam curahan berjudul “Toleransi, Sekulerisme atau Sinkretisme,” Prof. Dr. H. Buya Hamka menyebut tradisi perayaan Hari Besar Agama Bersama bukan menyuburkan Kerukunan Umat beragama atau tasamuh (toleransi), tetapi akan menyuburkan kemunafikan.
Intinya adalah Hamka menulis secara gamlang : “Si orang Islam diharuskan dengan khusyu, bahwa Tuhan Allah beranak, dan Yesus Kristus ialah Allah sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh mendengar tentang Nabi Muhammad SAW dengan tenang, padahal mereka diajarkan oleh Pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukanlah Nabi, melainkan penjahat.”

Nampaknya mudah dipahami ulasan-ulasan Buya Hamka, bahwasanya kerukunan antar umat beragama dengan dalih Natal bersama, entah Umat Islam ikut perayaan sambil bernyanyi dan mendengarkan sabda pendeta di gereja atau umat Nasrani ikut-ikutan perayaan hari agung Iduel fitri maupun Iduel Adha tak lebih akan menuai konflik horizontal dikalangan umat beragama kelas bawah. Dan itu terus-terusan terjadi.

Namun alangkah baiknya, kita terangkan makna Natal bersama? Apa itu Bersama? Bolehkah orang Islam bersama orang Kristen merayakan Hari Natal? Demi kerukunan hidup beragama?
Kita renungkan makna pertanyaan-pertanyaan diatas lebih dalam, Hari Natal bagi orang Kristen ialah memperingati dan memuliakan Kristen Yesus yang menurut kepercayaan Kristen Yesus itu adalah Tuhan dan anak Tuhan. Dia adalah Satu dari Tiga Tuhan atau Trinitas. Pandangan semacam inilah yang harus diluruskan oleh kita bersama. Penulis menganggap Nabi Isa adalah Nabi ke 24 yang mempunyai gelar Ulul Azmi, Nabi yang memiliki keunggulan dibandingkan dengan nabi-nabi lain-nya. Bahkan, Isa diberikan simbol yang indah dalam ajaran Islam, yaitu pemuka manusia di bumi dan dilangit.


Tetapi kita sebagai Umat Islam menghargai betul perayaan Natal bagi umat Kristen adalah merupakan Ibadah, perayaan Natal bersama pada akhir-akhir ini disalah artikan oleh sebagian Umat Islam dan disangka sama dengan Umat Islam merayakan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW.
Jadi jelas Majelis Ulama Indonesia sudah 37 tahun berdiri. Menjadi hiasan bibir di seluruh Indonesia, apalagi banyaknya tuduhan-tuduhan nista yang dilontarkan oleh JIL yang menganggap bahwa Fatwa MUI itu hanyalah tanpa dasar. Ditilik di era modern saat ini perbedaan-perbedaan mengenai Natal bersama kian meruncing, dipihak MUI juga mengucapkan Selamat Natal kepada teman-teman Kristen itu sah-sah saja menurut “Mayoritas Ulama”, yang haram adalah apabila mengikuti ritual atau sakramen natal.

Dalam fatwa yang dikeluarkan pada 1 Jumaidil Awal 1401 atau 7 Maret 1981 itu, Buya Hamka menetapkan keputusan bahwa Natal bersama adalah haram hukumnya. Buya menegaskan pendiriannya : “Melarang peredaran fatwa itu adalah hak bagi pemerintah”. Sebab dia berkuasa! Namun kekuatan fatwa tidaklah lemah, lantaran larangan beredar. Setiap orang Islam yang memegang agamanya dengan konsisten, asal dia tahu, dia wajib menuruti fatwa itu.

Alasan menfatwakan Haram Natal bersama mempunyai argumentasi yang kuat, Buya Hamka bersama ketua Al Fadhil H. Syukri Ghazali bahwa fatwa itu masih lunak. Karena kalau diperhatikan isi ayat Al-Maidah 51 itu, bukan lagi Haram, bahkan KAFIR. Mengkompromikan antara Tauhid dengan Syirik. Bagi penulis tak ada kompromi antara Islam dengan Kufar.

Oleh karena saat ini benar-benar mengenai aqidah, tidaklah soal ini didiamkan. Tanggung jawab sebagai Ulama menyebabkan para Ulama merasa berdosa kalau hal ini didiamkan saja. Maka di akhir tulisan ini penulis salinkan sebuah motto Buya Hamka :

“Biarkanlah saya menyebut apa yang terasa kemudian tuan bebas memberi saya nama dengan apa yang tuan sukai; saya adalah pemberi maaf, dan perangai saya adalah mudah, tidak sulit. Cuma rasa hati sanubari itu tidaklah dapat saya menjualnya; katakanlah kepadaku, demi Alllah adakah rasa hati sanubari itu bisa dijual?
Kita merindukan Ulama seperti beliau, gunanya ialah untuk kita jadikan contoh-teladan tinggi (almatsalul a’la), menyabung perjuangan mereka. Keberanian mereka menyatakan faham, melahirkan yang haq. Kesungguhan beliau mengemukakan pendirian yang tegas garis yang jelas, tatkala berhadapan dengan tiap-tiap perkara yang tidak sesuai dengan patokan agama, itulah yang wajib kita contoh.
Bandung, Desember 2012
Rujukan :

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun