Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Buku Komik dalam Kesendirian RA Kosasih: Catatan untuk Sahabat

20 Desember 2013   10:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:42 327 3

Setelah huruf saling mendekat, jadilah kata. Timbulah makna. Dan, kita paham, ketika kemudian sejumlah kata mewujud dalam kalimat. Di lembaran buku, kata serta kalimat, dijelajahi berjuta pasang mata untuk menemukan makna kehidupan.

Kita belum menjadi kata. Saya di sini. Sendiri, sebagai z, dengan huruf kecil. Bukan karena tak percaya diri. Bukan pula karena tak sanggup tengadah. Tapi, justru sedang berproses dengan kesendirian, untuk memahami artinya kebersamaan. Sungguh, saya sama sekali tak merasa asing dengan pilihan ini. Hiruk-pikuk di luar sana, tak cukup kuat untuk menggoyahkan kesendirian ini.

Sementara, dirimu juga sendiri di sana. Entah di mana. Yang saya tahu, kamu tak risau dengan kesendirianmu. Baik sebagai a dalam huruf kecil, maupun sebagai A dengan huruf kapital. Penjelajahanmu dari lembaran demi lembaran buku, telah membuatmu tak pernah merasa sendirian. Huruf, kata, dan kalimat bermekaran di sekitarmu, dari waktu ke waktu. Inilah yang membuat hari-harimu senantiasa indah.

Berkarya dalam Kesendirian

Ada yang ingin saya ceritakan padamu tentang sebuah kesendirian, tentang seorang Raden Ahmad Kosasih. Orang mengenal namanya sebagai RA Kosasih. Sosok pria kelahiran Bogor, Jawa Barat, ini adalah tokoh utama di dunia buku komik negeri ini. Ia merupakan komikus pertama di negeri kita yang menerbitkan komik menjadi buku.

Karya buku komik pertamanya berjudul Sri Asih. Buku ini diterbitkan tahun 1954 oleh Penerbit Melodie di Bandung. Dalam khazanah penerbitan buku komik, Sri Asih tentulah sangat monumental. Karena, pada masa itu, belum ada komik yang diterbitkan menjadi buku. Secara jumlah cetakan dan sebaran, memang masih relatif terbatas. Namun, secara hitung-hitungan penghasilan, tak bisa dipandang remeh.

Sebagai ancer-ancer, Kosasih yang pada saat itu bekerja sebagai karyawan di sebuah kantor pertanian, menerima gaji Rp 350,- per bulan. Dan, dari membuat komik, ia meraih penghasilan lima kali lipat dari gaji bulanannya. Saat itu, 1 liter beras, Rp 2,- Jumlah itu menjadi berlipat-lipat setelah buku komik karyanya melambung dan mempopulerkannya. Terutama, setelah Kosasih meluncurkan buku komik Mahabharata, Ramayana, dan Siti Gahara yang digemari publik secara luas.

Kemudian, Kosasih mengundurkan diri sebagai karyawan. Ia full mengabdikan hidupnya dengan berkarya lewat komik. Kemudian, masa kejayaan buku komik mulai menurun sejak pertengahan tahun 1974 dan terus menurun tajam pada tahun-tahun berikutnya, hingga usai sudah kajayaan komik negeri ini pada tahun 1990-an. Apakah Kosasih berhenti berkarya? Apakah Kosasih stop membuat komik?

Pengamat komik sekaligus penulis serba bisa, Arswendo Atmowiloto, menuliskan Obituari RA Kosasih, ketika tokoh komik ini wafat Selasa, 24 Juli 2012, pukul 01.00 WIB dini hari, pada usia 93 tahun, di rumahnya, Jalan Cempaka Putih III, No. 2, Rempoa, Ciputat, Tangerang Selatan.

Pewaris Sri Asih

Sumber: Majalah TEMPO, 05 Agustus 2012, halaman 118-119

Tapi keadaan sudah jauh berbeda. Beliau menggambar di kertas minyak, sebagai pengganti klise, dengan ukuran 1 x 1. Apa yang digambar, itulah yang terlihat di buku. Maka garisnya terkesan tebal dan kasar.

Saya mendapat kesan, beliau adalah seniman santun, tak banyak menuntut –termasuk mempertanyakan hak ciptanya. Tidak banyak bicara, mengenai diri dan karyanya. Bekerja di rumah dalam meja sederhana, menggambar kotak demi kotak, istirahat makan siang di meja dekatnya, dan meneruskan kembali sesudahnya, sampai sore. Sendirian. Dialog dengan komik ciptaannya.

Dialog dari proses kreatifnya diingatkan kembali dengan kepergiannya. Bahwa sebenarnya komik sebagai “sastra bergambar” masih akan selalu ada, karena memang ada peminatnya. Banyak. Komik sebagai bentuk seni masih akan berjalan terus. Namun perjalanan komik Indonesia mungkin tak bisa lurus.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun