Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Wayang, Bayang-Bayang yang Berkembang

9 April 2013   09:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:29 418 1




Kata wayang (bahasa Jawa), bervariasi dengan kata bayang, yang berarti bayangan; seperti halnya kata watu dan batu, yang berarti batu dan kata wuri dan buri, yang berarti belakang. Bunyi b dilambangkan dangan huruf b dan w pada kata yang pertama dengan yang kedua tidak mengakibatkan perubahan makna pada kedua kata tersebut. G.A.J. Hazeu mengatakan bahwa wayang dalam bahasa/kata Jawa berarti: bayangan, dalam bahasa melayu artinya: bayang-bayang, yang artinya bayangan, samar-samar, menerawang.

Wayang pertama kali adalah mengambil dari cerita sebuah ukiran pada relief candi-candi yang menggambarkan tokoh leluhur, legenda kepala suku yang mengambil cerita-cerita dari Ramayana dan Mahabarata. Kemudian berkembang wayang itu diubah menjadi sebuah lukisan yang ditata dalam bentuk beberan dengan gambar-gambar manusia yang sesuai dengan ukiran yang terdapat pada relief candi.

Pertunjukan wayang kulit yang dapat kita lihat saat ini telah melalui beberapa perkembangan dari bentuk dan ceritanya. Awalnya wayang digunakan sebagai upacara keagamaan oleh orang Jawa, sampai pada akhirnya Islam oleh para walisanga menggubahnya dengan tujuan digunakan sebagai media dakwah Islam. Dari perkembangan itu kita dapat mengambil tentang pengertian wayang ialah sebuah gambar bayangan dari kulit lembu atau kerbau yang dimainkan oleh seorang dalang dengan iringan gamelan yang dilengkapi dengan peralatan seperti kelir, blencong, kepyak, dan cempala.




Sejarah terjadinya wayang kulit purwa dimulai sejak jatuhnya kerajaan Majapahit (1478), dan berdirinya kerajaan Demak dengan Raja pertamanya Raden Patah (1478-1518), yang kemudian digantikan Pangeran Sabrang Lor (1520-1521). Mulanya, para Raja dan para wali dipulau Jawa gemar akan kesenian daerah, termasuk wayang. Pada saat itu yang ada adalah wayang Beber, karena dinilai bertentangan dengan syariat islam, terutama Sunan Giri maka dibuatlah kreasi baru oleh raja dan para wali (terutama Sunan Kalijaga) untuk membuat wayang kulit. Perubahan ini mengenai bentuknya, gambarnya, model pertunjukanya, alat perlengkapan dan sarana lainya diselaraskan dengan syari’at Islam (dimasukkan unsur Islam).




Pada tahun 1556 bersama-sama dengan ahli kesenian, Sultan Pajang yaitu Joko Tingkir membuat wayang yang ukuranya lebih kecil dari wayang yang ada. Pada waktu itu wayangnya dinamakan wayang Kidang Kecana.






Pada tahun 1586-1601, pada masa Panembahan Senopati wayang dikembangkan dengan menambah binatang seperti gajah, garuda, kuda dan sebagainya. Rambut ditata halus dengan gempuran seritan.




Pada tahun 1601-1613, pada masa pemerintahan Mas Jomblang atau Pangeran Seda Krapyah wayang diperbesar dan dibuat wanda seperti wanda Arjuna atau wanda Jimat, Bima wanda Mimis, Sayudana wanda Langkung, Raksasa ratan wanda Barang dibuat dagelan diberi candra sengkala berupa buta cakil yang berbunyi Tangan Yaksa Tataning Jalma, yang berarti candra sengkala tahun 1662 tahun saka.21

Pada masa pemerintahan Sunan Agung pada tahun 1613-1645, penyempurnaan wayang pada bentuk matanya seperti dibuat ikyepen, Dandanga, Thelengan dan sebagainya yang dibuat oleh filosof terkenal pada saat itu bernama sastro Ghending, dia membuat wanda wayang, Bolodewo wanda Geger, Kresna wanda Mangsa, Arjuna wanda Gendreh, Samudra wanda Rangkung, Banuwati wanda Golek, Semar wanda Brebes dan Dukun, Bagong dan wanda Gelut, Petruk wanda Jlegang, kemudian diberi candra sengkala berupa raksasa berambut api berbunyi wayang Gemuling Tunggal yang berarti tahun 1563 tahun saka.




Pada masa Sunan Amangkurat I diperingati dengan dibuatnya wayang Bethara guru yang berdiri diatas lembu Andini yang diberi candra sengkala berbunyiAstining Pandhita Marganing Dewa, yang berarti tahun 1517 tahun saka.

Pada masa Mangkurat II Kartasura, dibuat wayang raksasa Endhang candra sengkala berbunyi Margo Serno wayang Ing Jalma yang berarti tahun 1605 tahun saka.

Pada masa Mangkurat III, pada tahun 1703-1704, dan Pangeran Puger pada tahun 1704- 1719 dibuat wayang Kenyo Wandhu dan diberi candra sengkala berbunyi Buta nembah wayang Ing Satria ang berarti tahun 1625 tahun saka.

Pada tahun 1727-1749, masa pemerintahan Paku Buwana II di Kartasura, dibuat wayang kyai Pramuka, yang menjadi wayang pusaka dan sebagai induk (babon), jumlahnya terdapat 200 buah dan diperingati dengan candra sengkala raksasa Buta Terong berbunyi Buta Lima Mangga Jelma yang artinya tahun 1655 tahun saka.

Pada masa Paku Buwana III, memerintahkan kepada putranya Adipati Anom untuk membuat wayang dengan pola wayang Pramuka yang dikerjakan oleh Ki Gandataruna dan Cerma Pangrawit. Dan setelah selesai tidak diberi candra sengkala tetapi setiap wayang antara kedua kaki diberi wayang dan wandanya. Wayang ini diberi nama Kyai Kanyut, kemudian membuat lagi dan diberi nama Kyai Mangu.

Pada tahun 1710 Adipati anom menyuruh membuat wayang berpola Kartasura yang diperbesar dan dijujut, kemudia diberi nama Kyai Pramukane Kadipaten. Pada masa Paku Buwana IV tahun 1755, Sultan berkenanan membuat wayang yang berpola Kyai Mangu dan diberi nama Kyai Jimat. Kemudian membuat lagi wayang yang berpola Kyai Kanyut yang diberi nama Kyai Kadung, pada masa itu juga membuat wayang yang berpola Kyai pramuka yang diberi nama Kyai Pageran Singosari I.




Sampai pada masa Paku Buwana V wayang sudah tersebar keseluruh daerah Jawa, sehingga sudah menjadi umum bagi masyarakat dan pembuatan wayang sudah tidak diberi nama. Namun pada masa Mengku Negara tahun 1850-1860 dibuat wayang yang diberi nama Kyai Sabet. Sejak saat itu betuk wayang tetap wujudnya dalam perkembangan hingga sekarang.
















KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun