Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Sisi Lain Literasi Dilan

1 Maret 2019   13:23 Diperbarui: 1 Maret 2019   13:41 48 1
Terkait isu Dilan yang kembali mencuat akhir-akhir ini, iseng saya bertanya kepada anak sulung yang berusia 17 tahun. Seorang remaja yang gemar membaca, membahas politik dan budaya serta senang berdiskusi. "Kak, Kaka setuju ga sama Pojok Dilan yang dibuat sama Kang Emil?" "Mmh ... Kakak ngerti sih maksudnya ke mana." "Do tell, please." "Jadi, dengan adanya Dilan itu, temen-temen Kakak yang males baca jadi nyari bukunya, Umi. Itu tuh bagus, setidaknya remaja jadi suka baca. Karena orang dewasa ga bisa maksain remaja untuk suka dengan buku tertentu. Misalnya, baca bukunya Tere Liye ... ga bisa ... harus dimulai dengan sesuatu yang mereka sukai dulu." (semua kata-kata remaja ini saya kutip, VERBATIM) Saya tersenyum waktu mendengar jawabannya. Di linimasa media sosial, persoalan Dilan dan Pojok Dilan ini menjadi hangat kembali. Isu yang sama dilemparkan, seperti tahun lalu, saat Dilan 1990, film pertamanya muncul. Dilan yang mengajarkan pacaran, gabung dengan geng motor, sampai Dilan yang dituduh penganut Syiah. Tahun lalu saya ingat pernah menuliskan ini pula.
(Tulisan tahun lalu bisa dibaca di SINI)  Tahun ini, kehebohan Dilan ikut disumbang dengan rencana Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat yang akan membuat "Pojok Dilan" di salah satu taman di kota Bandung. Rencana yang banyak membuat kening orang-orang berkerut.  Siapa sih Dilan ini? Orang mana? Sudah berjasa apa dia sama Bandung dan Jawa Barat? Demikian sekilas komentar-komentar yang berseliweran di media sosial. "Dilan itu mengkampanyekan budaya pacaran! Bersentuhan dengan lawan jenis saja tidak boleh! Ini didukung sama Gubernur pula!" demikian ungkap seorang ibu-ibu kepada saya. "Sama ya Bu, kayak yang di sinetron, pacaran-pacaran." Kata saya. "Iya ... sama kayak gitu. Ga boleh!" "Iya bu. Sekarang kita bicara soal buku deh bu. Seandainya anak muda jadi baca buku Dilan, boleh ga?" "Bacanya boleh, tapi kalau bisa jangan Dilan." "Siapa dong?" Mohon maaf pemirsa, saya tipenya senang mengejar sih. Hiks. Jadi, jika memang buku dan film Dilan sedemikian bobroknya di mata netijen, siapa dong yang bisa direkomendasikan? Sedangkan remaja memang sedang dalam fase retjeh-retjehnya. Lagi unyu-unyu, senang dengan segala sesuatu yang gampang dan romantis.  Mungkin saja kita berharap para remaja bisa memilih novel-novel yang lebih mendidik. Yang islami, mungkin. Namun, percayalah, literasi diawali dengan sesuatu yang biasanya gampang dan kita sukai dulu. Memangnya Bapak-bapak dan Ibu-ibu di sini, dulu senangnya baca apa sih? Waktu remaja? Nietzche? Plato? Jalaludin Rumi? Kahlil Gibran? Saya mah terus terang saja menghabiskan masa remaja saya membolak balik komik Mahabarata, Wiro Sableng, dan novel-novel pengarang luar yang pasti dicap sesat dan unfaedah di zaman now. Saya bahkan tumbuh membaca kolom "Oh Mama, Oh Papa" di majalah Kartini, yang lebih sering menyelipkan adegan-adegan syur. Namun, begitulah literasi terbangun.  Bacaan saya tidak ujug-ujug fiqih sunnah atau serial KKPK atau novelnya Asma Nadia. Mengalir saja, dimulai dari yang disukai, diakhiri masih dengan yang disukai. Tidak usahlah membandingkan Dilan dengan penakluk Konstantinopel yang sama-sama berusia 18-19 tahun. It's not even apple to apple. Ya jelas Dilan bakal kalah. Berikut Lupus, Catatan Si Boy, Balada si Roy, Rangga-nya AADC, bahkan Fahri yang ganteng dan digilai perempuan dari AAC. Dilan sesungguhnya adalah hasil budaya metropop yang akan selalu muncul dari zaman ke zaman. Dulu kita punya Mas Boy, remaja kaya, soleh, salatnya rajin, jago berantem (dan pacaran). Lupus adalah antithesis remaja idaman, sebab dia gondrong, malas belajar, senang main tapi setia kawan dan baik hati. Rangga itu anti sosial, ketus, tapi hobi membaca dan punya pemikiran yang berbeda dari remaja pada umumnya. Begitu terus.
Dilan itu siapa?
Dilan itu remaja tahun 90-an yang ikut geng motor tapi pintar. Ia pacaran, sebab dulu belum ada gerakan Indonesia tanpa pacaran dan belum musim gerakan hijrah. Entahlah kalau Dilan hidup di zaman sekarang. Sebab saya mengikuti kisah Dilan, sejak dibagikan secara bersambung di blognya Surayah/Pidi Baiq; saya bisa tahu bahwa kekuatan Dilan ada pada cara bercerita seorang Pidi yang mengalir.  Pidi Baiq tak pernah peduli dengan gaya bahasa, tak pernah hirau dengan EYD. Ia menulis saja. Makanya banyak orang menilai buku Dilan sebagai sesuatu yang b-ajah, tak ada konflik, tak ada klimaks maupun anti klimaks. Buat saya, Dilan itu bacaan sederhana. Namun seringkali, yang sederhana itulah sesungguhnya yang memikat. Itu jika Anda sudah baca bukunya. Bukan semata menonton film. Ingat, bahwa bahasa film dan buku jauh berbeda. Ada banyak hal yang mungkin gagal ditampilkan oleh film, sebab ia terbatas durasi. Maka, yang tidak membaca buku pasti tak paham kenapa Dilan tak pernah pakai helm ketika berkendaraan. Ini tahun 90-an, mbaak. Zaman itu, mau pake motor dari Soreang ke Ujungberung tanpa helm juga bebas, jalanan masih sepi. Bagaimana dengan filmnya? Mau mencaci segimanapun, Dilan ini film Indonesia terlaris. Sebagai sebuah karya, ia sudah jadi franchise yang menghasilkan uang. Mau jungkir balik Anda bilang ini karya sampah, tapi ini laku. Menyakitkan, bukan?
Nyambung dengan tulisan saya tempo hari tentang "book shaming", sesungguhnya mereka yang mencaci novel Dilan adalah para pelakunya. Untuk saya, tak ada karya yang disebut "sampah", ini hanya soal beda segmentasinya. Saya keberatan dengan banyaknya cacat logika dalam AAC, tapi toh novel (dan film) ini digandrungi banyak orang, berarti beda segmentasi saja, kan. Mau bagaimanapun saya tak paham dengan emak-emak pengagum kisah pelakor dan perselingkuhan, toh tema itu yang paling laku, setidaknya di komunitas Bisa Menulis. Dilan adalah produk budaya metropop, dan alangkah baiknya ia dijadikan stimulan untuk menarik semua orang menjadi pembaca. Ini peluang literasi yang sangat menjanjikan. Menjadi kesempatan bagi para penulis untuk terus menghasilkan karya yang akan disukai masyarakat.
Di luar tuduhan lebaynya seorang Kang Emil dengan fenomena Dilan ini, saya sangat menyambut dengan gembira bila "pojok Dilan" nantinya dialihfungsikan menjadi "Pojok Literasi" tempat berkumpulnya para pelaku dan penggiat literasi.
Sebab tak ada gunanya semua perdebatan ini, jika masyarakat kita masih tidak beranjak ke mana-mana. Masih di situ-situ saja. Dulu, atau sekarang. Baca engga, menulis engga, menghujat iya.   

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun