Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

Uang Kembalian Diganti Permen, Menghidupkan Kembali Sistem Barter

4 Juni 2012   09:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:24 3259 12

Uang adalah alat tukar yang sah untuk melakukan transaksi baik barang maupun jasa, dalam peradaban masyarakat modern. Dengan adanya uang, setiap orang yang membutuh barang atau jasa apapun, tak perlu lagi repot memikirkan alat tukar apa yang setara dengan barang/jasa yang dibutuhkannya, sebaliknya pemilik barang atau penyedia jasa juga tak perlu susah memikirkan pengganti apa yang tepat sebagai penukarnya.

BARTER DAN PRINSIP KESEPAKATAN

Sebelum mengenal uang, masyarakat jaman dulu melakukan barter dalam bertransaksi. Tak terbayang repotnya kalau saya ingin masak seekor ayam panggang untuk makan malam sekeluarga. Saya harus mencari pemilik seekor ayam (hidup) yang bersedia menukar ayam miliknya dengan barang yang saya tawarkan sebagai penukar. Katakanlah saya punya sekantong gandum atau sekarung tebu, belum tentu pemilik ayam membutuhkan kedua benda yang saya tawarkan. Jadi saya harus mencari, sampai ada pemilik ayam yang ikhlas menukar ayamnya dengan benda tersebut.

Seorang pemburu yang membawa pulang hewan buruan seekor rusa untuk ditukar dagingnya tentu beda kadar alat tukarnya dengan pemburu ulung yang membawa pulang hasil buruan seekor beruang besar yang telah dikuliti dan kulitnya bisa dipakai sebagai selimut di musim dingin, saat manusia masih hidup di gua-gua. Jadi dalam sistem barter, kesepakatan antara "penjual" dan "pembeli" atas alat tukar yang dianggap setara untuk dipertukarkan, menjadi pertimbangan utama. Seorang atau sekelompok pemburu yang akan melepas kulit beruang miliknya, tentu berhak menentukan alat tukar apa yang dianggapnya sesuai sebagai pengganti keberaniannya menaklukkan beruang. Dan mereka yang membutuhkan kulit beruang, juga menyadari bahwa mereka harus menyediakan penukar yang lebih banyak.

Dalam bahasa agama Islam, jual-beli atau muamalah mensyaratkan adanya "akad" sebagai salah satu syarat sah-nya jual beli. Si penjual ikhlas melepas barang dagangannya dengan harga tertentu, sedang pembeli pun ikhlas menebus barang yang dibutuhkannya dengan harga tersebut. Misalnya sebuah sandal jepit dijual dengan harga Rp. 10.000,- dan pembeli setuju membelinya dengan harga itu, maka sah-lah jual beli itu. Bahkan seandainya barang yang sama dijual dengan harga Rp. 15.000,- sepanjang pembeli setuju, maka tak jadi masalah. Ini terjadi misalnya ketika saya dan teman-teman harus membeli sebotol air mineral dengan harga beberapa kali lipat dari harga bandrol, ketika kami membelinya di perkampungan Baduy Dalam. Pembeli umumnya ikhlas membeli dengan harga tinggi, mengingat penjualnya pun harus menggendong barang itu dengan susah payah untuk berjualan di sana. Karena mensyaratkan adanya kesepakatan harga, maka dalam jual beli sah-sah saja adanya tawar menawar, sampai tercapai kata sepakat.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun