Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi

Mempertanyakan Kemurnian dan Kejujuran Acara Orang-orang Pinggiran di Trans7

4 Mei 2012   20:06 Diperbarui: 4 April 2017   18:08 25014 11

Akhirnya tak tahan juga saya untuk tak menuliskan tentang ini, setelah Jumat pagi kemarin, saat pertama kali membuka laman Kompasiana, saya dikejutkan dengan sebuah judul tulisan yang bercokol di kolom TEREKOMENDASI. Untuk memuaskan rasa penasaran saya, langsung saja saya click tulisan berjudul Kisah Siti Gadis Kecil Penjual Bakso, diposting anggal 03 Mei 2012, jam 20.03. Sudah ada beberapa komentar yang masuk, umumnya menyatakan tulisan itu sudah pernah saya ulas. Belum satupun komentar yang dibalas penulisnya.

Tulisan itu memang mirip dengan tulisan saya, sama-sama diposting di kanal Berita, rubrik Sosok, hanya saja penulisnya, Miftahul Jannah, mengkategorikan tulisannya sebagai “Opini”, sedangkan saya menyebut tulisan saya “Reportase. Ya, sebab saya hanya mereportasekan apa yang saya tonton di acara Orang-Orang Pinggiran (OOP) yang ditayangkan Trans7. Foto yang saya posting pun diunduh dari situs Facebook OOP dan saya sebutkan link-nya. Sementara Miftahul Jannah tidak sepatah kata pun menuliskan sumber berita maupun gambar. Hal ini akhirnya membuat saya tergerak untuk menuliskan komentar yangbersifat klarifikasi atas kebenaran tulisan basi tersebut – yang relevan jika ditulis 2 bulan lalu, tapi sudah berbeda faktanya jika diposting sekarang.

Pasca komentar saya, banyak Kompasianer lain yang ikut membalas komentar saya. Di inbox pun saya dapati seorang donatur pembaca Kompasiana yang mukim di Belanda, mempertanyakan soal itu kepada saya, kenapa masih ada tulisan serupa, padahal katanya sudah banyak bantuan. Jam 4 sore, barulah pemilik lapak membalas komentar saya dan Kompasianer lainnya, cukup dengan 1 alasan : dia mendapat tugas untuk membuat tulisan opini dan tulisan tentang Siti itu adalah tugasnya, yang dibuat setelah nonton tayangan OOP di Trans7.

Masalahnya, kalau sekedar tugas, kenapa harus diposting di Kompasiana? Lagipula, acara OOP episode Siti Penjual Bakso ini sudah tayang 2 bulan lalu, tiap hari selalu ada episode lain, kenapa yang dijadikan obyek pengerjaan tugasnya justru episode lama? Baru saja saya temui fakta, beberapa Kompasianer yang berkomentar di situ dan tidak mempersoalkan tulisan basi itu, ternyata memiliki tanggal gabung di Kompasiana yang sama atau hampir sama, yaitu 19 dan 20 April 2012 kemarin. Bisa jadi ini hanya kebetulan belaka.


Tapi yang sangat saya sesalkan : Admin memilih tulisan itu menjadi Terekomendasi, sementara penulis sama sekali tak menyebut nara sumber berita dan konten gambar yang dimuat pun tak disebutkan dari mana. Bagaimana yang seperti ini bisa lolos? Padahal, kalau saya memposting gambar dengan penyebutan alamat sumber yang kurang lengkap saja, pasti langsung diberangus oleh Admin. Sekarang tampaknya sudah di-edit, tapi link sumber yang disebut pun bukan situs FB OOP Trans7 melainkan sebuah blog. Jadi, apakah penulis menulis kembali tulisan orang lain?


KRONOLOGI TULISAN SAYA DAN PENELUSURAN FAKTA DI LAPANGAN

Acara Orang-Orang Pinggiran (OOP) ditayangkan oleh Trans 7 setiap hari sejak pukul 17.30 – 18.00 WIB. Sebenarnya saya bukanlah penggemar acara ini, bahkan di rumah, channelTrans 7 boleh dibilang tak pernah saya pencet. Acara OOP yang pertama kali saya tonton, Selasa, 6 Maret 2012, itu pun karena sejak siang hari saya lihat cuplikan iklannya di TV kantor, saya jadi penasaran. Kisah Siti, bocah yatim yang dikatakan sebagai “penjual Bakso” itu memang sangat mengharukan dan mengetuk hati nurani siapapun. Sampai-sampai esok paginya, kurang dari 18 jam sejak ditayangkan Trans7, saya menuliskannya di SINI.

Tak dinyana, tulisan itu direspon banyak pihak bahkan di-copas ke Kaskus. Siang itu juga saya kebanjiran inbox di Kompasiana, yang meminta saya memberikan nomor rekening, agar mereka bisa ikut menyumbang dan menitipkan dananya untuk saya sampaikan kepada Siti. Saya dibantu Rumah Zakat bergerak cepat, hari Jumat, 9 Maret 2012, Rumah Zakat Kota Cilegon mengutus 2 orang untuk melakukan survey ke rumah Siti. Mereka adalah Pak Zainuddin – bagian Pendidikan – dan Ahmad Mu’tasim. Mereka berdua tiba di rumah Siti dalam tempo 3x24 jam sejak acara itu tayang di Trans 7, sehingga menjadi orang pertama yang berkunjung ke rumah Siti. Maka tak heran jika apa yang mereka jumpai relatif sama dengan apa yang ditayangkan di Trans 7. Baju yang dikenakan Siti dan Ibunya pun tidak ganti.

Kedua surveyor itu menginap di rumah Pak Lurah, dari sanalah didapat info bahwa apa yang diberitakan Trans 7 tentang Siti itu ada fakta yang dilebih-lebihkan. Misalnya Siti yang tak menemui makanan secuil pun sepulang sekolah dan harus menahan lapar hingga petang hari menunggu emaknya pulang, itu sama sekali tidak benar. Katanya, Pak Lurah sudah mengajukan keberatan kepada pihak Trans 7, namun dijawab oleh stasiun TV itu : “ah itu biasa, Pak, itu kanbumbunya”. Rupanya pihak stasiun TV merasa sah-sah saja memberitakan hal yang tak sesuai fakta, asalkan misinya membuat penonton merasa iba tercapai.

Rasanya tak perlu saya tuliskan ulang, survey hari Jumat dan Sabtu itu langsung ditindaklanjuti dengan kunjungan ke rumah Siti esok harinya, Minggu, 11 Maret 2012, untuk menyerahkan bantuan pembaca Kompasiana. Ketika kami tiba di rumah Siti telah keduluan tamu-tamu lainnya yang datang lebih awal dari kami. Dan sejak itu sebenarnya saya sudah mendapati ada hal-hal yang mengganjal dan kurang wajar. Saya rasa tidak perlu saya ulas lagi, karena reportase hasil kunjungan ke rumah Siti bagian 1 – 4 sudah saya tulis esok harinya di Kompasiana.

Akhirnya, kecurigaan itu saya tindaklanjuti dengan sedikit investigasi kecil-kecilan, bersama koordinator penggalangan dana untuk Siti dari kelompok Kaskus. Hasil investigasi itu kemudian saya tulisan di sini bagian 1 dan bagian 2. Ada kecurigaan bahwa pihak yang oleh Trans 7 dijadikan Contact Person (CP), ternyata tidak transparan dan mungkin pula tidak jujur dalam meneruskan dana bantuan dari pemirsa yang dikirim melalui rekening miliknya. Apalagi setiap dihubungi Pak Tono itu menyebut ibunya Siti tak memiliki KTP sehingga semua paket kiriman tak akan bisa diambil, itu sebabnya paket-paket harus dialamatkan melalui dirinya. Terbukti kemudian bahwa Ibunya Siti punya KK dan KTP.

Karenanya, kami kemudian mengubah rencana penyaluran bantuan untuk memberikan kemanfaatan yang lebih besar kepada masyarakat sekitar kampung Siti pada 14 dan 15 April 2012, reportasenya saya tuliskan di sini mulai bagian 1 – 3. Pada tulisan itu pun saya ceritakan kondisi Siti dan Ibunya yang kini sudah cukup makmur bahkan berlebih untuk ukuran orang di kampungnya. Pada kesempatan itu pula, saya mencoba menggali info sebanyak-banyaknya tentang “misteri” seputar bagaimana sebenarnya kehidupan Siti sebelum dan sesudah ditayangkan.


Dari para tetangga dan Pak Lurah, kami mendapat cerita bahwa sebenarnya Siti tidaklah benar-benar berjualan bakso sebagaimana ditayangkan Trans 7. Dia hanya membantu berjualan. Pemilik dagangan bakso adalah istri dari guru mengaji Siti. Sehari-hari Siti mengaji pada tetangganya itu, kemudian dilanjutkan belajar pelajaran sekolahnya dengan bimbingan anak dari guru mengajinya. Karena kesehariannya anak dari guru mengaji ini membantu ibunya berjualan bakso, terkadang Siti yang sudah sangat akrab dengan anak guru mengajinya ini, ikut membantu berjualan. Jadi upah yang didapat Siti adalah pemberian karena dia membantu berjualan.

Kemarahan warga sempat tertumpah pada Pak Tono yang menjadi CP dari Trans 7, karena disinyalir orang inilah yang “menjual” kisah Siti, atas suruhan kakak kandung Siti yang tinggal sekampung dengan Pak Tono. Kesehariannya, menurut keterangan tetangga, kakak kandung Siti ini teramat jarang datang bahkan terkadang diminta datang pun banyak alasan, berdalih tak ada ongkos dan sebagainya. Dalam tulisan saya yang saya sebelumnya, sudah saya ceritakan “peran” kakak Siti yang mengalihkan semua dana bantuan dermawan ke rekening pribadinya. Bahkan belakangan, kabarnya Pak Tono ini tak berani lagi datang ke kampung Siti sejak ditegur keras oleh Pak Lurah karena dianggap tak punya etika ketika “mengambil” Siti dalam rangka pemberian bantuan dari Polda Serang (Banten).

Bahkan 2 hari yang lalu, saya mendapat kabar dari Pak Zainuddin, bahwa Rumah Zakat mendapat telepon dari sebuah organisasi yang ingin mengecek realisasi bantuannya, tapi mereka kini tak bisa lagi menghubungi Pak Tono. Berkali-kali nomor HPnya dihubungi tapi tak pernah tersambung. Masih ada kabar lain lagi yang sangat kurang sedap, namun karena masih membutuhkan konfirmasi lebih lanjut, tak akan saya tulis di sini.


OOP, TAYANGAN LANGSUNG ATAU “REALITY SHOW”?

Menurut info dari keluarga Siti, shooting acara OOP itu memakan waktu 2 hari. Adapun menurut keterangan Bu Lurah, pemilik kebun kangkung tempat Siti meminta kangkung itu tak lain adalah Kakak tiri Siti (saudara se-ayah lain ibu). Pertanyaan saya : apakah ini tayangan yang langsung diambil dari kejadian normal sehari-hari, ataukah reality show dimana ada pembagian peran dari para pemainnya? Kalau liputan langsung, kenapa harus sampai 2 hari?

Trans 7 membuka akun Facebook untuk acara OOP, dimana pemirsa bisa berkomunikasi dan disitus itu pun disebutkan siapa contact person yang bisa dihubungi untuk tiap episode, Jika pemirsa berniat mengirimkan bantuan. Masalahnya, sudahkah penanggungjawab acara itu mengenali integritas pribadi dan kredibilitas orang-orang yang mereka tunjuk menjadi Contact Person (CP)? Sebab CP yang bernama Pak Tono itu, sebelum episode Siti, katanya sudah 3x menayangkan kisah anak lain. Bahkan setelah Siti, ada lagi anak lain yang oleh Pak Tono diorbitkan melalui acara OOP Trans 7. Bukankah dengan begitu peran CP ibarat “agen” yang mencari obyek penderita untuk diekspose dalam tayangan TV yang tentu saja mendulang iklan karena ratingnya tinggi?


Memang acara ini sangat efektif untuk menguras airmata penonton, mendulang simpati dan belas kasihan, serta…, tentu saja ampuh untuk menggalang dana! Beberapa waktu lalu, saya di sms relawan Rumah Zakat, kabarnya Siti masuk dalam tayangan Insert di Trans TV (grup dari Trans 7). Padahal, setahu saya acara Insert itu sejenis infotainment yang memberitakan kisah para selebritis. Seorang Kompasianer meng-inbox saya, mengutarakan kekhawatirannya, jangan-jangan ada pihak tertentu yang ingin kembali mendulang dana dengan melakukan ekspose ulang atas kisah Siti, karena akhir-akhir ini kunjungan dermawan ke rumah Siti di akhir pekan sudah mulai berkurang bahkan nyaris tak ada.

Karenanya saya jadi bertanya soal kemurnian dan akurasi acara semacam itu. Kemurniannya adalah menyangkut : apakah benar acara itu tidak ditunggangi kepentingan mencari keuntungan oleh pihak tertentu yang bisa menyelewengkan dana bantuan? Apakah stasiun TV bertanggungjawab terhadap kejujuran para CP? Sedang akurasinya : sudahkah stasiun TV menayangkan berita apa adanya, tidak dilebih-lebihkan dengan tujuan untuk menimbulkan efek mengenaskan sehingga belas kasihan penonton lebih besar lagi dan tentu saja dampaknya dana yang terkumpul lebih besar lagi?

Jika stasiun TV memang berniat membantu, kenapa penggalangan dana tidak langsung dilakukan oleh stasiun TV, dengan membuka “dompet kemanusiaan” secara permanen, dana yang terkumpul kemudian disalurkan kepada semua “obyek” tayangan, tidak harus dalam bentuk bantuan tunai, tapi terlebih pada bantuan fasilitas yang memberdayakan. Seperti konsep acara Kick Andy, misalnya. Dengan begitu, penyelewengan dana bantuan oleh oknum akan bisa diminimalisir.

Yang juga menimbulkan pertanyaan, acara OOP itu sudah tayang beberapa ratus episode, kenapa hanya episode Siti Penjual Bakso saja yang laris manis ditayang ulang oleh stasiun TV lainnya, semacam Reportase Trans TV, Liputan 6 SCTV, Insert Trans TV, Indosiar dan TV One? Warga kampung Siti sangat keberatan dengan tayangan tentang Siti yang diekspose Indosiar, yang menurut mereka sangat provokatif dan menjelek-jelekkan warga setempat, bahkan memvonis tetangganya mengeksploitasi Siti.


Selayaknya pihak stasiun TV bertanggung jawab terhadap acara semacam ini dan punya tanggung jawab moral, bukan sebatas menjadikan orang miskin sebagai obyek tayangan, melebih-lebihkan pemberitaan di luar fakta, sementara memberikan peluang bagi pihak lain untuk mencari keuntungan dari pengumpulan dana simpatipemirsa. Pengalaman kasus Siti ini bisa menjadikan penyumbang jera dan bisa jadi tayangan selanjutnya dari OOP dianggap lebay dan tak lagi dipercaya. Kalau sudah begini, yang dirugikan justru obyek tayangan, yaitu si orang miskin, karena tak ada lagi yang mau membantu. Semoga stasiun TV sadar, bahwa misi mereka menayangkan acara semacam itu bukan semata komersiil, tapi terlebih lagi adalah kemanusiaan.



KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun