Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

5 PNS di Banggai, Sulteng, 'Diduga' Mengidap HIV/AIDS

16 Juni 2012   12:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:54 397 0

“Sedikitnya lima orang PNS di lingkungan Pemkab Banggai (Sulawesi Tengah-pen.) diduga positif tertular HIV/AIDS. Data ini diketahui dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Komisi Penanggulangan AIDS Indonesia (KPAI) Banggai.” Ini pernyataan di lead berita “Lima PNS DidugaPositif AIDS” (Harian “Luwuk Post”, 9/6-2012).

Pernyataan pada lead berita itu menunjukkan pemahaman wartawan atau redaktur yang membuat lead itu jelas tidak memahami HIV/AIDS secara akurat. Koran ini terbit di Banggai, sebuah kota di salah satu kabupaten di Sulteng.

Pertama, status HIV seseorang tidak bisa diduga-duga karena infeksi HIV tidak menunjukkan gejala yang khas AIDS pada fisik dan tidak ada pula gangguan kesehatan yang khas AIDS.

Kedua, untuk mengetahui status HIV seseorang dilakukan melalui tes HIV di laboratorium dengan reagent tertentu, seperti ELISA. Tes HIV harus didahului dengan konseling serta ada pernyataan kesediaan. Ada pula konseling setelah ada hasil tes.

Ketiga, setiap (hasil) tes HIV harus dikonfirmasi dengan tes lain. Misalnya, tes ELISA dikonfirmasi dengan tes Western blot. WHO menganjurkan tidak perlu konfirmasi dengan tes lain jika tes dengan reagent ELISA dilakukan tiga kali dengan reagent dan teknik yang berbeda.

Keempat, untuk mengetahui status HIV bukan melalui penelitian tapi tes HIV. Yang mirip dengan penelitian adalah suvailans tes HIV yaitu untuk mengetahui angka prevalensi (perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif pada kalangan tertentu dan pada kurun waktu tertentu pula).

Disebutkan dalam berita: “Sementara ini, ke 5 orang PNS itu dalam pengawasan KPAI.” Orang-orang yang sudah terdeteksi HIV tidak perlu diawasi karena sebelum tes mereka sudah membuat pernyataan akan menghentikan penyebaran HIV mulai dari dirinya.

Ada lagi pernyataan: ”Menariknya lagi, masih berdasarkan data KPAI, hingga pertengahan tahun ini, sudah ada kurang lebih 20 orang yang positif tertular virus mematikan itu. Dimana 8 orang adalah perempuan dan sisanya adalah laki-laki.”

Apa yang menarik dari data itu?

Data itu adalah hal yang biasa yang selalu ditemukan dalam berbagai jenis penyakit. Jika dianggap menarik, maka yang perlu digali wartawan adalah: (a) pada kalangan mana kasus itu terdeteksi, (b) bagaimana kasus itu terdeteksi, (c) pada tahap atau masa apa kasus-kasus itu terdeteksi, dll.

Selain itu adalah hal yang amat wajar kalau HIV/AIDS ditemukan pada PNS karena mereka mempunyai uang untuk ’membeli seks’ di daerahnya atau di luar daerah. Ini konsekuensi logis dari kemampuan secara finansial karena ketidaktahuan cara-cara melindungi diri agar tidak tertular HIV.

Sayang wartawan tidak menggali informasi di balik data kasus tsb. Misalnya, bagaimana perilaku laki-laki dewasa di Banggai, terutama terkait dengan hubungan seksual yang dilakukan dengan pekerja seks komersial (PSK): apakah mereka memakai kondom, dll.

Realitas sosial itulah yang dikaitkan dengan data sehingga reportase bisa menarik.

Disebutkan pula dalam berita: “Ketua KPAI Banggai, Rampia Laamiri mengungkapkan bahwa data dari 5 orang PNS itu sesuai dengan standar operasional lembaganya, tidak dapat dipublikasikan.”

Secara medis semua data pasien adalah catatan medis (medical record) yang klassfikasinya sebagai rahasia jabatan dokter. Data pasien, nama, umur, jenis penyakit, dll. hanya boleh dipublikasikan dengan izin pasien. Kecuali penyakit yang terkait dengan wabah. Tapi, perlu diingat HIV/AIDS bukan wabah.

Ada lagi pernyatan dalam berita: “Dijelaskan, kebanyakan mereka yang tertular virus HIV itu melalui penggunaan jarum suntik dan seks bebas tanpa menggunakan pengaman.”

Penularan dengan faktor risiko jarum suntik pada penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) tidak bisa dipastikan karena sebelum dan selama menyuntik ada di antara mereka yang juga melakukan hubungan seksual yang berisiko (tidak memakai kondom).

Penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (’seks bebas’, zina, melacur, ’jajan’, dll.) tapi karena kondisi pada saat terjadi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom).

Masih pernyataan Rampia dalam berita: “Kami sudah berkali-laki mengadakan sosialisasi terkait persoalan ini kepada masyarakat, dengan harapan masyarakat bisa terhindar dari penyakit mematikan ini.”

Pertanyaannya adalah: Apakah materi yang disampaikan dalam sosialisasi tentang HIV/AIDS akurat?

Soalnya, selama ini materi sosialisasi HIV/AIDS selalu dibumbui dengan moral sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah), seperti pernyataan sebelumnya yang mengaitkan penularan HIV dengan ‘seks bebas’.

Di berita disebutkan pula bahwa menurut Rampia, seorang penderita HIV/AIDS hanya bisa bertahan hidup selama kurang lebih 10 sampai 15 tahun, tapi ada juga yang hanya bertahan hidup kurang dari 1 tahun.

Pernyataan Rampia ini tidak akurat. Tidak ada yang bisa memastikan umur seseorang. Yang bisa diperkirakan adalah masa AIDS yaitu sudah kondisi fisik dan kesehatan orang-orang yang sudah mengidap HIV yang terjadi antara 5 – 10 tahun setelah tertular.

Pada masa AIDS ini seseorang yang mengidap HIV/AIDS mudah kena penyakit. Penyakit-penyakit yang ada pada masa AIDS disebut infeksi oportunistik, seperti diare, ruam, sariawan, jamur di mulut, TBC, dll. Nah, penyakit-penyakit inilah yang menyebabkan kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS).

Disebutkan pula: “Penyakit ini bisa menular melalui beberapa media, seperti seks bebas tanpa pengaman, …..”

Kalau satu pasangan dua-duanya tidak mengidap HIV/AIDS, maka biar pun mereka melakukan ‘seks bebas’ tidak memakai kondom, maka tidak ada risiko penularan HIV.

Sebaliknya, kalau satu pasangan salah satu mengidap HIV, maka ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seksual dilakukan di dalam ikatan pernikahan yang sah dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom.

Dalam berita disebutkan dari 20 kasus itu ada ibu rumah tangga. Nah, kalau wartawan jeli tentulah ini yang jadi perspektif penulisan berita. Artinya, di Banggai ada suami yang mengidap HIV. Kalau suami tadi mempunyai istri atau pasangan seks lebih dari satu maka jumlah perempuan yang berisiko tertular HIV pun kian banyak.

Ada lagi pernyataan Rampia dalam berita: “Fenomena penyebaran virus HIV/AIDS di daerah ini ibaratnya seperti gunung es artinya. Kalau 1 kasus berarti ada 99 orang yang berpotensi telah tertular, akan tetapi masih banyak yang belum ditemjukan dikarenakan rasa malu. Dan berdasarkan asumsi WHO diperkirakan di Kab Banggai ada 1.980 kasus yang belum terdeteksi.”

Memang, epidemi HIV erat kaitanya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (20) digambarkan sebagai puncak gunung es yang menyembul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).

‘Rumus’ itu tidak berlaku umum karena hanya untuk keperluan epidemiologis, seperti untuk merancang program, menyediakan sarana kesehatan, dll. ‘Rumus’ itu pun harus ada beberapa faktor, al. tingkat pelacuran tinggi, pemakaian kondom rendah, tingkat higienis rendah, dll. ‘Rumus’ ini relevan di Afrika bukan di Indonesia.

Tidak bisa dipastikan kalau ada 1 kasus, maka akan ada 99 kasus lain. Misalnya, ada bayi yang tertular HIV melalui transfusi darah. Bagaimana mungkin bayi itu menularkan HIV kepada 99 orang? Maka, ’rumus’ itu hanya untuk keperluan epidemiologi.

Kalau di Banggai ada praktek pelacuran, maka yang perlu dilakukan pemerintah setempat adalah membuat program yang konkret dalam bentuk intervensi untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan pekerja seks.

Jika tidak ada intervensi yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS di Banggai akan terus terjadi. Tinggal menunggu waktu saja untuk ’panen AIDS’. ***[Syaiful W. Harahap]***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun