Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kurma

Diary Ramadan | Day 30

23 Mei 2020   19:25 Diperbarui: 23 Mei 2020   19:25 329 0
Diary #Day30

"Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu benar-benar akan mendengar dari orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan" (Al-Imran: 186)

Tidak seperti biasanya. Dan ini bukan hal yang mudah dilakikan oleh Yana. Dirinya hari ini keluar dari zona nyaman. Dirinya nampak mengirimkan sebuah pesan singkat kepada Baim. Iya seorang asing yang dirinya temui dengan tidak sengaja di sebuah atap gedung kampus. Yana hanya merasa sesak merasakan semua ini sendiri. Sepertinya Yana butuh seseorang untuk bercerita. Berbagi kisah berat yang sudah dirinya simpan terlalu lama sendirian. Padahal dirinya bisa saja menelpon Clara, Euis atau Ziad tetapi nama Baimlah yang justru terlintas. Dan tidak ada ragu Yana langsung saja mengirimkan pesan singkat. Hingga Baim tidak alasan untuknya menolak. Dia hanya menyetujuinya mantap.

"Yan, saya sudah sampai di atas gedung. Kamu santai saja kalo emang masih jauh." ucap Baim pada sebuah pesan suara yang dikirimkannya. Dan Yana mendengarkan pesan suara itu masih di dalam angkot dengan menggunakan headset.

Kok bisa Baim sampi atap gedung cepet banget. Itulah pikir Yana. Tapi apa boleh buat Baim harus menunggu di sana dengan sabar. Menunggu Yana diantarkan oleh angkot yang sepertinya sesang terkena macet dan jika menemui jalanan lengang dia akan melaju hanya sedikit karena harus menaikan dan menurunkan penumpang.

"Baim." seru Yana di daun pintu menuju atap gedung. Saat melihat Baim sedang berdiri di salah satu ujung atap memandang jauh ke bawah.

Baim menjawabnya dengan lambaian tangan. Lalu tersenyum simpul. Berjalan ke arah Yana. Lalu mereka duduk di sebuah bangku terbut dari semen yang ada tidak jauh dari pintu. Tempat Yana dan Ziad sebelumnya mengerjakan tugas di sini.

"Dulu ada seorang perempuan yang sedang menikmati makan siang duduk di sini Yan. Dia berlari ke arah saya. Menarik tubuh saya lalu saya dan dia jatuh terjerembab ke lantai." ujar Baim nampak menceritakan awal kisah mereka saat pertama bertemu di atap gedung ini.

"Iya dulu ada laki-laki pengecut yang lebih memutuskan untuk meloncat dari atap gedung ini. Mungkin dia bersiap akan menjadi setan penunggu gedung ini setelah mati nanti." Yana menyeimbangkan diri dengan melemparkan pikirannya barusan.

"Hahaha. Konyol memang saya Yan. Eh iya, ada apa ajak saya ke sini? Kamu bukan tipe yang tiba-tiba ajak orang ketemuan di atap gedung kan? Kecuali ada sesuatu?"

"Untung kamu mudah menebak. Sebelumnya maaf saya ajak kamu ke sini. Dan harus menunggu lama tadi."

"Ah gak perlu minta maaf." tangan Baim seperti bertepuk tangan namun hanya satu. Hanya satu tangan kanannya saja.

"Saya sedang merasa gak karuan Im."

"Gak karuan kenapa? Ada alasannya?"

"Awalnya saya kira gak ada alasannya. Tapi setelah saya pikir ada satu alasan yang terbersit di pikiran saya Im."

Baim hanya terus mengangguk. Nampak menyimak dengan baik apa yang diucapkan Yana. Jarak duduk mereka sekarang nampak begitu berjarak. Mungkin masih ada rasa canggung diantara keduanya. Mereka nampak duduk dari ujung ke ujung kursi. Sampai-sampai yang bicara harus agak teriak supaya didengar. Apalagi harus bercampur dengan deburan angin.

"Lalu alasannya apa?"

"Saya terganggu oleh banyak cerita yang masuk ke diri sayq. Tentang mereka yang mengeluhkan kehidupan mereka. Mama saya yang mengeluh tentang lelahnya bekerja dan rekan kerjanya yang menyebalkan. Tentang Euis teman saya dari kecil hidupnya susah. Dia mengeluh tentang banyak hal yang sekarang menimpa hidupnya. Tentang Clara teman kuliah saya. Tiada hari tanpa mengeluh kepada saya. Bahkan dia membandingkan hidupnya dengan saya. Terus ada Bi Edoh yang mengeluh tentang anaknya yang menginjak remaja. Ada Mang Otoy suami Bi Edoh yang mengeluh tentang tegangganya yang berkelakuan tidak baik dan mengganggu. Lalu tiba-tiba ada kamu yang asing bagi saya. Tiba-tiba ingin bunuh diri dan juga tiba-tiba mengeluh tentang hidup kamu. Kamu tentu mengenal Ziad cowok yang bersama saya beberapa waktu lalu kamu temui di sini. Dia kemarin banyak mengeluh tentang kemampuan dirinya selama kuliah. Dia merasa rendah diri." Yana mengambil nafas panjang setelah selesai mebceritakan semua keluh kesahnya barusan. Nampak belum selesai dan masih ada lagi cerita lainnya.

Namun Baim dengan begitu sabar dan pengertian tidak merecoki cerita Yana barusan. Baim seperti menunggu cerita kelanjutannya. Dia tahu bahwa Yana tentu belum selesai cerita. Masih ada sebuah kisah yang merupakan plot twist dari ceritanya hari ini.

"Hanya satu orang yang saya kenal di hidup saya. Yang hanya menceritakan tentang indahnya hidup. Dia tidak pernah menyerah sedikit pun tentang hidupnya. Dia selalu menjadi pengingat dan penyemangat bagi saya. Saya mengeluh sedikit dia yang siap paling depan untuk mengingatkan saya bahwa mengeluh bukanlan jalan-jalan satunya. Masih banyak jalan lainnya yang lebih baik dan menyenangkan. Kenap semua orang tidak bisa sehebat dia sih? Kenapa semua orang tidak seperti dia. Di mana dia dihidup saya hanya menaburkan tentang kebahagiaan." Yana benar-benar terdiam sekarang. Dia memandang ke arah Baim. Menunggu Baim memberikan tanggapan tentang ceritanya.

"Boleh saya tebak orang yang tidak mengeluh itu siapa?" tanya Baim begitu Yana sudah tenang dan nampak sudah teratur nafasnya.

Yana mengangguk tanda mempersilahkan Baim melakukan apa yang ingin dilakukannya.

"Papa kamu kan?"

"Iya. Kamu bisa tahu karena sedari tadi hanya papa kan? Yang tidak saya sebutkan?"

"Bukan begitu Yan. Itu memang salah satu alasan. Tapi bukan alasan utama. Karena alasan utamanya adalah karena begitu beberapa waktu lalu saat bertemu dengan papa kamu. Saya dapat melihat sorot mata penuh keyakinan dalam hidupny. Di tatapan matanya nampak tidak ada keraguan tentang kehidupan Yan. Benar kata kamu bahwa papa kamu adalah satu-satunya orang yang selalu optimis dan selalu siap memberikan semangat hingga dukungan kepada kamu saat kamu ingin menyerah. Saya yakin itu benar."

"Iya itulah papa saya."

"Berarti kamu salah Yan. Tidak semua orang di hidup kamu seperti itu."

"Iya hanya satu Im."

"Saya sempat berpikir jika saya juga ingin mengeluh ingin menyerah tentang kehidupan saya yang tidak semua orang tahu." lanjut Yana lagi.

"Kamu ingin membagikannya dengan saya?" Baim menawarkan diri.

"Hidup saya sebenarnya tidak seindah yang dipikirkan Euis, Clara dan Ziad. Saya tidak punya banyak teman Im. Saya hanya punya tiga orang teman. Itupun saya tidak terlalu dekat. Saya tidak pernah cerita apapun ke mereka. Karena untuk apa? Mereka saja mengeluh kepada saya? Saya orang yang tidak pandai bersosialisasi. Terkadang saya disebut aneh saat kecil dulu. Di mana saya lebih memilih menyendiri dibandingkan bergabung dengan teman-teman. Saya sempat telat bicara waktu dulu. Saya pendiam yang ulung Im. Bahkan saat SMP dan SMA saya disebut aneh lagi saya freak orang-orang bilang gitu. Karena saya melakukan hal-hal yang orang tidak lakukan. Sebenarnya saya terganggu dengan omongan jelek orang tentang saya. Tapi saya bisa apa? Saya tidak bisa menutup mulut merekq satu-satu kan?" Yana berhenti bicara, menyucurkan air mata tanpa disadarinya.

Baim terus memandangi Yana. Yana yang memandang jauh ke depan. Lalu tiba-tiba Yana beralih memandang Baim. Maka mereka kini saling beradu.

"Mamah saya sudah lelah mengingatkan saya untuk menjadi normal seperti orang-orang lainnya. Tapi saya bebal saya tidak bisa. Makanya mamah saya terkadang tidak ramah kepada saya. Hingga hanya papa yang bisa menguatkan saya." kini Yana kembali menunduk.

"Kamu berhak mengeluh sekarang Yan. Karena hanya ada saya di sini. Dan saya senang kamu mengeluh untuk saya. Mulai sekarang saya siap menjadi tempatmu untuk mengeluh. Kamu hebat dengan semua ceritamu di masa lalu. Kamu bisa berdiri kokoh hingga sekarang. Hingga bisa menguatkan semua ornag di hidup kamu. Termasuk saya. Saya sudah ditolong oleh kamu. Saya seperti kamu m, saya aneh. Tapi saya sempat menyerah dan hanpir terjun dari gedung ini. Tapi berkat seorang hebat sepertimu. Saya bisa menata dan melanjutkan hidup saya."

Kini Yana dan Baim hanya terus saling memandang. Mereka seakan bicara dalam hening dan diam. Mata mereka yang beradu terus bicara. Tentang kehidupan dan saling menguatkan. Sungguh tidak ada satupun yang hidup kekal tanpa cobaan dan terpaan di dunia ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun