Kaum terpelajar itu berutang melalui pinjol, mulai Rp2 juta hingga belasan juta rupiah. Sedang akumulasi total bisnis ini diperkirakan mencapai Rp900 juta. Karena transaksi utang piutang ini berbunga, akumulasi dari tagihan plus bunganya diperkirakan mencapai Rp2,1 miliar. Namanya juga utang, mereka harus membayar cicilan pinjaman. Bahkan sebagian dari mereka bahkan diteror oleh debt collector.
Minim Literasi Keuangan Digital
Maraknya mahasiswa yang menjadi korban penipuan pinjol ini menjadi indikasi minimnya literasi keuangan digital di kalangan mereka. Demikian menurut Ekonom INDEF Nailul Huda. Memang, selayaknya mahasiswa menyadari, jika ingin berinvestasi harus mengenali risikonya. Apalagi mereka kelompok yang terpelajar.
Realitasnya, uang investasi yang berasal dari pinjaman itu merugikan, pasalnya peminjam gagal memperoleh keuntungan dari bisnis ini karena ditipu. Hak keuntungan tak didapatkannya, mereka malah harus membayar utang tersebut ke lembaga pinjol plus bunga.
Investasi digital merupakan bagian dari arus deras teknologi digital di era ekonomi 4.0. Investasi digital maupun digitalisasi ekonomi merupakan kemasan yang menampilkan seolah terjadi kemajuan teknologi keuangan beserta transaksi ekonomi di dalamnya. Kredit-kredit digital di e-commerce menjadi barang yang tidak asing lagi. Terlebih, Indonesia menempati peringkat pertama ekosistem digital berdasarkan nilai data Global Startup Ecosystem Report 2020. Dengan posisi itu Ini negeri ini menjadi ekosistem yang cukup subur, bahkan kondusif, bagi perkembangan digitalisasi keuangan.
Terdapat transaksi ekonomi nonriil yang menunggangi e-economy. Peluang untuk disalahgunakan pada situasi bisnis digital ini cukup besar. Pelaku bisnis yang curang dengan sengaja memperangkap para pengguna lewat kredit uanh secara online. Bisa dipastikan, kredit dalam sistem kapitalisme yang ada tidak mungkin tanpa bunga.
Tamparan Keras Bagi Lembaga Pendidikan Tinggi
Di tengah derasnya narasi World Class University (WCU) kejadian ini merupakan tamparan keras. Pasalnya, peristiwa ini terjadi pada perguruan tinggi negeri favorit yang masuk top 450 dunia, IPB. Keburu tergiur pada iming-iming "investasi" dalam kasus ini menunjukkan betapa mahasiswa telah tercetak menjadi kalangan pragmatis, demi keuntungan material yang dekat. Sebuah fenomena yang menggambarkan mendominasi orientasi materi pada benak mereka. Orientasi kapitalistik telah menggantikan potensi mereka untuk berpikir jernih dan kritis, pada komunitas yang berposisi sebagai agen of change.
Minimnya literasi tentang keuangan pada diri para mahasiswa menjadikan mereka mudah menjadi objek penyesatan oleh teknologi keuangan. Parahnya, dominansi perputaran keuangan yang ada saat ini dikendalikan oleh sistem kapitalisme. Teknologi keuangan yang sebenarnya termasuk perkara boleh ini, dalam naungan kapitalisme dimanfaatkan buat alat penghancur dan penyesat manusia. Miris bukan?
Sistem kapitalis yang ada begitu kuat pengaruhnya terhadap pola pikir seseorang. Dalam pandangan kapitalistik, uang dipandang sebagai komodity, bukan sekedar alat tukar. Uang dijualbelikan sehingga praktek ribawa merebak. Aneka bentuk transaksi ribawi non real mudah menyusupi transaksi-transaksi ekonomi riil dalam bentuk-bentuk yang tersembunyi.
Minim Ilmu Muamalah Syar'i
Sistem kapitalisme yang sekuler, menempatkan Islam pada sisi peribadatan semata, juga menjadikan masyarakat tak tertunjuki oleh pemahaman dalam bermuamalah sesuai syariah.