Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Saat Orang Kota Ingin Kerja Bakti seperti Orang Desa, Jadinya...

19 Oktober 2021   19:32 Diperbarui: 19 Oktober 2021   19:52 432 11

Ini hanya sebuah cerita, sebuah kejadian. Cerita yang tak bisa digeneralisir.

Dahulu, aku pernah hidup di pinggiran Jakarta selama 2,5 bulan. Jadi "kontraktor" alias ngontrak rumah. Sebagian warga di situ juga "kontraktor". Sebagian lagi adalah mereka yang punya rumah.

Hidup di pinggiran kota besar erat dengan potret keramaian dan kesibukan. Orang-orang yang sibuk bekerja, dari kerja di lapangan sampai kerja di kantoran.

Nah, di tengah keriuhan dan kesibukan itu, sebagian warga di lingkunganku ingin membawa suasana desa ke kota. Maklum, sebagian warga adalah pendatang dari desa.

Mereka ingin agar ada gotong royong kerja bakti di hari libur. Kerja bakti mirip orang desa. Kala itu niatnya adalah kerja bakti membersihkan selokan karena musim hujan akan tiba. Harapannya agar meminimalisir kemungkinan banjir.

Niatnya, selokan sepanjang RT, ditelusuri dan dibersihkan ramai-ramai. Saat itu, aku yakin 100 persen, tak akan ada yang namanya kerja bakti di hari libur di pinggiran kota besar.

Kenapa aku tak yakin orang pinggiran kota besar akan kerja bakti? Ya karena hidup di pinggiran kota besar sama dengan hidup di kota besar yakni ramai dan lelah karena tiap hari kerja banting tulang. Lelahnya bukan main.

Artinya, hari libur cenderung ingin istirahat dan enggan menambah lelah dengan kerja bakti. Aku pun seperti itu. Hari libur, apalagi libur hanya sehari dalam sepekan, maka untuk istirahat. Aku yakin kebanyakan warga pun seperti itu.

Tapi aku sebagai warga baru, ya siap saja kalau ada kerja bakti. Walaupun dalam hati kecil, aku lelah dan tak yakin warga akan kerja bakti.

Saat hari H, aku kaget. Sebab, banyak bapak-bapak yang siap siap untuk kerja bakti. Ada juga warga yang tak berangkat kerja bakti dan jadi pembicaraan.

Tapi sebagian besar warga berangkat siap siap membersihkan selokan. Pemandangan yang membuatku terkagum-kagum.

Keyakinanku jika orang kota sulit kerja bakti, goyah. Aku pun jadi agak semangat karena lihat warga semangat gotong royong.

 Akhirnya belasan dari kami melihat selokan untuk dipantau sampahnya. Catat ya, baru memantau selokan.

Setelah selokan dipantau, Pak RT bicara bla bla bla. Artinya kita diminta siap untuk membersihkan selokan yang sangat kotor.

Eh, saat itu ada yang nyeletuk, sebaiknya warga iuran duit dan nyari tukang. Artinya, biar tukang saja yang membersihkan selokan. Seketika aku terkekeh dalam hati.

Ternyata usulan itu disetujui banyak warga. Makin terkekeh pula aku dalam hati. Langsung bantingan duit dan warga pulang dengan peralatan yang masih bersih dan badan yang masih mulus wkwkwk.

Selama 2,5 bulan di daerah itu, aku hanya sekali mendapati kerja bakti. Itu pun tidak bisa sepenuhnya dikatakan kerja bakti warga. Sebab, hanya 5 orang yang kerja untuk memperbaiki musala. Ya, hanya pengurus musala yang kerja. Aku cuma ikut ikutan bantu alakadarnya dan menemani menghisap tembakau.

***

Pertama, aku maklum jika orang kota besar sulit kerja bakti. Sebab, realitas kota besar memang melelahkan. Warga di kota besar, jika ingin hidup maka dipaksa lelah, banting tulang. Maka di hari libur ingin istirahat. Tapi jika pun masih ada kerja bakti di kota besar, tentu patut diacungi jempol.

Kedua, aku maklum jika di kota besar minim kerja bakti masif. Sebab, warganya heterogen. Ada yang kerja berangkat pagi, ada yang kerja berangkat malam. Tidak bisa masif bersama.

Realitas kota besar beda dengan desa. Pekerjaan warga desa cenderung homogen. Desa tak ramai dan tak melelahkan. Hidup di desa, dekat dengan makanan karena desalah tempat menanam buah buahan dan hasil pertanian. Insyaallah warga desa jarang kelaparan karena dekat sumber makanan dan saling memberi masih tinggi.

Maka, kota dan desa itu beda, jangan disamakan. Kota dan desa memiliki karakteristiknya masing-masing.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun