Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Kapur Tulis Akan Seperti Sabak, Punah dan Tinggal Kenangan?

24 Juli 2020   08:04 Diperbarui: 24 Juli 2020   07:54 633 14
Zaman terus berubah. Sebagian yang di zaman dahulu ada, kini tinggal cerita. Di dunia sekolah, dahulu kala ada yang namanya sabak, kini sudah punah. Lalu, apakah kapur tulis akan bernasib sama dengan sabak?

Sabak adalah "buku" di masa sangat lampau. Saya pun tak pernah mengalaminya. Mungkin kakek atau buyut Anda yang mengalaminya. Saya sendiri dapat cerita tentang sabak dari guru SMA, puluhan tahun lalu.

Apa itu sabak? Sabak itu fungsinya seperti buku tulis. Kalau saya nyontek wikipedia, sabak adalah lempengan batu karbon. Di sabak ini murid dahulu menulis. Menulisnya pakai apa? Pakai grip yang mirip pensil.

Guru saya dulu bercerita, kalau setelah nulis di sabak dan sudah penuh, lalu tulisannya dihapus. Nanti nulis lagi dan seterusnya. Artinya tulisan itu tak terdokumentasi. Tak seperti buku, di mana tulisan kita terdokumentasi.

Guru saya dulu bilang bahwa sabak telah memaksa anak-anak untuk mengingat apa yang ditulis. Karena ya itu tadi, kalau setelah menulis harus dihapus jika ingin menulis yang baru. Maka, ingatan orang dahulu dipaksa sangat tajam.

Guru saya bilang, beda dengan anak tahun 90-an, yang sudah mengenal buku tulis. Tulisan di buku tulis terdokumentasi dan membuat anak agak "bergantung" pada dokumentasi di buku tulis. Imbasnya, ingatannya tak setajam anak dahulu.

Klaim guru saya itu tentu bisa diperdebatkan. Tapi tak perlu diperdebatkan. Kita bahas saat ini saja. Nah, saat ini anak menulis di buku tulis, tak ada lagi sabak. Sabak sudah punah. Seiring berjalannya waktu, mungkin buku tulis akan makin berkurang karena anak membuat tugas dan tulisan di HP karena sekolah dari rumah.

Selesai membahas sabak dan buku tulis, saya akan membahas kapur tulis. Beberapa hari lalu saya membayangkan soal kapur tulis yang fenomenal itu. Kala SD, ada guru yang kalau muridnya berisik, langsung dilempar kapur tulis. Terus si murid diam. Pemandangan ini sepertinya tak ada di anak masa sekarang. Gurunya galak, orangtuanya protes.

Lalu, saat saya masih SD, penghapus papan tulis yang penuh dengan putih kapur itu kadang digunakan guru untuk menghukum. Dulu, ada teman yang sering bercanda ketika sedang pelajaran, akhirnya dihukum. Si teman itu wajahnya dibedaki pakai kapur tulis. "Panas!" Begitu kata teman saya. Pengalaman itu saya pikir tak akan pernah terjadi di masa kini. Kalau guru galak, nanti orangtua murid bertindak.

Nah, kapur tulis itu bisa jadi bernasib seperti sabak. Dalam beberapa kesempatan, saya kini sering melihat orang menulis dengan spidol tidak permanen di papan tulis licin berwarna putih itu.

Di seminar, di rapat, bahkan cerita di kampus, kapur tulis sudah jarang saya lihat. Hanya memang kalau anak SD, di desa masih pakai kapur tulis. Tapi, mungkin saja seiring berjalannya waktu kapur tulis akan hilang.

Anak-anak pada akhirnya mungkin akan pakai spidol saat di sekolah? Bisa jadi seperti itu. Jadi, sepertinya zaman memang harus diantisipasi, khususnya oleh pabrik kapur tulis. Para buruh kapur tulis juga harus mengantisipasinya.

Zaman memang begitu. Sesuatu yang dinilai tak lagi efektif dan efisien akan dibuang. Tak peduli apa dampaknya. Selera manusia juga seperti itu, kalau sudah tak dibutuhkan, sebuah benda atau pekerjaan menunggu waktu untuk punah atau dipunahkan.

Sudah banyak cerita kepunahan atau menuju kepunahan. Bisa itu berupa benda, pekerjaan, jasa. Antisipasi saja, sembari terus berdoa. (*)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun