Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Demo Hak Demokrasi, Perbanyak Literasi

10 September 2022   18:50 Diperbarui: 10 September 2022   20:36 474 5
Pengamatan saya dalam 8 tahun terakhir ini saya rasakan banyak pencapaian kemajuan bangsa namun tidak sedikit pula membuat prihatin.

Apa yang membuat saya prihatin? Misalnya masyarakat harus dihadapkan antara mempercayai berita faktual dari sumber valid terverifikasi "melawan" fakenews, berita bohong yang sengaja dicreate oleh orang atau sekelompok orang dengan motif dan tujuan tertentu.

Barangkali jika kreatifitas memanipulasi sebuah konten video hanya untuk tujuan hiburan tentu tidak ada persoalan, paling hanya membuat kita terhibur dan tertawa sendiri.
Tapi memanipulasi sesuatu konten baik tulisan, video untuk tujuan menciptakan keresahan sosial dan menebarkan kebencian serta menghasut itu sangatlah berbahaya.

Kita masih ingat pada tahun 2014 ada penggalangan opini menolak hasil pemilu curang, isu manipulasi big data pemilih.
Lalu upaya dalam merevisi UU Terorisme yang memberi payung hukum kepada Densus 88 melakukan penangkapan orang terindikasi teroris sebagai tindakan preventif tak luput dari serangan kepada pemerintah yang dituduh melanggar HAM dan mengkriminalisasi tokoh agama/ulama.

Kemudian pembubaran dan pelarangan ormas yang dinilai terafiliasi dengan kelompok ekstrimisme dan terorisme serta yang terakhir pemblokiran aktifitas lembaga sosial yang diindikasikan terlibat dalam mendanai aksi terorisme berdasarkan catatan transaksi laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).  

Bukan hanya melakukan serangan siber yang memenuhi media sosial, namun mereka juga memanfaatkan situasi dengan aksi profit taking berlindung dibalik gerakan atas nama demokrasi dan HAM.

Saya hanya mengkhawatirkan aksi murni gerakan demokrasi baik oleh mahasiswa atau buruh karena alasan mungkin mengerti esensi perjuangan atau karena keluguan/kepolosan atau karena ketidakpahamannya mengerti persoalan dan sejumlah motif lainnya dalam aksinya hanya dimanfaatin oleh oknum-oknum/aktor intelektual/ "musuh-musuh" negara untuk menjatuhkan pemerintah karena mereka tidak nyaman dengan perubahan menuju kemajuan bangsa.

Hal ini misalnya terungkap saat Memkopolhukam, Mahfud MD berdialog dengan mahasiswa yang menolak UU Omnibus Law tapi mahasiswa tak paham apa itu Omnibus Law.

Jadi sebuah paradoks terjadi dimana saat pemerintah melakukan terobosan hukum, untuk memangkas aturan hukum melalui UU Omnibus Law malah didemo mahasiswa dan buruh.
Saat pemerintah ingin mereformasi sistem hukum warisan Belanda dengan RUU KUHP juga malah ditolak oleh mahasiswa dan elemen masyarakat.

Saat pemerintah sahkan UU KPK dan membentuk Dewan Pengawas KPK agar lembaga superbody walaupun bersifat ad hoc tersebut tidak disalahgunakan untuk menangkap pelaku korupsi karena "pesanan" juga ditolak mahasiswa dan elemen masyarakat.

Yang paling teraktual adalah aksi demo menolak kenaikan harga BBM. Mahasiswa dan buruh punya alibi mereka prihatin atas dicabutnya subsidi BBM yang menjadikan rakyat makin melarat. Bahkan kordinator buruh ancam pemerintah akan gelar mogok massal hingga akhir tahun ini.

Padahal sebelum putuskan kenaikan harga BBM bersubsidi pemerintah telah mengkajinya berdasarkan kondisi perkembangan geopolitik global dan menyiapkan skema pengalihan subsidi BBM dengan sejumlah program jaring pengaman sosial.

Anehnya saat pemerintah berinisiatif mengajukan RUU Perampasan Aset Koruptor sejak tahun 2021 namun belum dianggap prioritas oleh DPR masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2022, mengapa suara mahasiswa dan buruh sayup-sayup tak terdengar?
Padahal untuk menyelamatkan uang negara dari jarahan para penjahat kerah putih, Indonesia membutuhkan sebuah undang-undang yang dapat memberi efek seseorang berpikir sebelum korupsi.

Mengapa DPR sebagai fungsi legislasi tak bergeming saat pemerintahan Presiden Jokowi mengajukan RUU Perampasan Aset?

Padahal Kejagung, KPK dan PPATK mendukung inisiatif pemerintah mengajukan RUU Perampasan Aset untuk merampas hasil kejahatan ekonomi yang semakin canggih modus operandinya.

Energi bangsa ini harusnya dikerahkan untuk terus mendorong supremasi hukum, law enforcement memberantas "kejahatan kerah putih".
Kejahatan intelektual dan terorganisir jauh lebih bersifat "destruktif" dibandingkan kriminal biasa jalanan.

Penegakan hukum juga belum maksimal untuk tindak pidana pencucian uang dari kejahatan korupsi, narkoba, illegal mining, illegal logging, pembakaran hutan untuk lahan kebun, judi online, investasi bodong, mafia tanah dan kekuasaan yang transaksional.

harga bbm naik, tantangan transformasi energi fosil menuju eb

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan Presiden Jokowi akan kembali mengajukan Rancangan Undang-undang tentang Perampasan Aset ke DPR RI.
Upaya ini diambil setelah DPR tak memasukkan rancangan aturan itu dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022.

Negara tentu tidak melarang warganya kaya bahkan menjadi super kaya asal diperoleh secara wajar dan tidak melanggar hukum. Untuk memonitor pejabat negara maka sudah ada kewajiban mengisi secara berkala Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

Dan itu sebenarnya tidak cukup maka harus ada "pembuktian terbalik". Apakah peningkatan jumlah kekayaan pejabat diperoleh secara wajar atau tidak?
Maka jika terindikasi korupsi lalu divonis oleh pengadilan maka disinilah esensi kehadiran UU Perampasan Aset Koruptor untuk memiskinkan pelaku tindak pidana kejahatan korupsi dan pencucian uang.

Tidak seperti saat ini misalnya pelaku koruptor dari penjara masih bisa menikmati hasil korupsinya bahkan diinvestasikan untuk menjadikan kroni dan kerabatnya ikut menikmati hasil kejahatan korupsinya. Dan saat keluar penjara malah tetap kaya bahkan semakin kaya.

Fenomena benang kusut problematika warisan masa lalu ini memang bukan persoalan mudah untuk dihadapi karena selama lebih dari 40 tahun sejak era Orde Baru telah menjadi virus.

Seperti yang kita hadapi saat ini memerangi virus Covid19 tidak mudah tapi faktanya ada dan terbukti mengakibatkan dampak kematian dan kemiskinan baru. Seperti itulah ilustrasi korupsi yang menciptakan kerusakan hebat, struktural dan berjangka panjang makanya disebut extraordinary crime.

Lalu darimana kita memulainya?
Sistem hukum (peraturan/perundang-undangan) yang baik tidak cukup tanpa didukung integritas penegak hukum apalagi masyarakat yang permisif yang membenarkan yang dianggap biasa. Seharusnya membiasakan yang benar.

Maka dari itulah Revolusi Mental yang digaungkan awal periode pemerintahan Presiden Jokowi harus dilanjutkan secara terus menerus. Pendidikan budi pekerti dan meningkatkan budaya baca/literasi itu menjadi penting sehingga setiap warga negara tahu dan memahami atas kewajiban dan haknya. Sambil berjalan dalam proses bernegara kepercayaan publik tetap harus dijaga dengan upaya serius penegakan hukum.  

Jika kewajiban dan hak yang menyangkut kesejahteraan warga negara maka Kementerian Keuangan sangat perlu untuk menginisiasi bagaimana sistem penggajian nasional yang ideal dan berkeadilan sosial menjadi undang-undang walaupun peningkatan kesejahteraan yang berkeadilan akan seiring waktu dengan peningkatan Gross Domistic Product (GDP).

Meningkatkan Budaya Literasi

Sesuai peringkat populasi, Indonesia adalah pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika Serikat.

Bahkan orang Indonesia diperkirakan menghabiskan waktu kurang lebih 9 jam sehari menatap layar gadget . Maka masyarakat Indonesia mendapat predikat paling cerewet di media sosial menempati peringkat ke 5 dunia yang sangat kontradiktif dengan produktifitas dan daya saing.
 
Dan Jakarta menjadi peringkat pertama kota di dunia yang membanjiri postingan di medsos. Maka tak bisa disangkal bahwa Jakarta menjadi pusat produksi hoaks di Indonesia.
Yangmana jumlah pengguna HP pintar itu seharusnya dikapitalisasi untuk meningkatkan budaya literasi.

Literasi merupakan kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis.

Tingkat literasi sangat penting bagi keberhasilan individu dan negara dalam ekonomi berbasis pengetahuan yang menentukan masa depan dan kemajuan sebuah bangsa.

Semakin tinggi tingkat literasi, semakin mengarahkan cara berpikir dan bertindak dalam melihat dan memahami kompleksitas persoalan yang sangat dinamis.

Berdasarkan studi World Most Literate Countries yang dilakukan oleh Presiden Central Connecticut State University (CCSU), John W Miller, Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara pada tahun 2016.

1) Finlandia
2) Norwegia
3) Islandia
4) Denmark
5) Swedia
6) Swiss
7) Amerika Serikat
8) Jerman
9) Latvia
10) Belanda
36) Singapura
53) Malaysia
59) Thailand
60) Indonesia

Hal ini lah yang menyebabkan kita sering menyimpulkan berita hanya dengan membaca judul dan reflek kecepatan jari (di gadget) mengalahkan otak.

Selanjutnya berdasarkan survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2019 tetap menempatkan Indonesia di posisi buncit dalam hal "minat baca".

1) Finlandia
2) Belanda
3) Swedia
4) Australia
5) Jepang
62) Indonesia

Lalu, jika diukur berdasarkan kemampuan baca, bukan sekedar kemampuan aksara (tulisan) namun juga dalam "kemampuan memahami" bacaan dalam berbagai tingkat kesulitan maka hasilnya adalah sbb:

1) China
2) Singapura
3) Makao
4) Hong Kong
5) Estonia
6) Kanada
7) Finlandia
8) Irlandia
9) Korea
10) Polandia
56) Malaysia
59) Brunai
66) Thailand
72) Indonesia
77) Philipina

Maka melihat data tersebut tak perlu heran dengan kemajuan China yang kini menjadi raksasa ekonomi dunia dalam waktu 10 tahun sejak revolusi yang dilakukan Deng Xioping.

Kebijakan Kesejahteraan Berbasis Meritokrasi

Seseorang dengan integritas, kemampuan dan prestasi tentu lebih layak mendapatkan reward lebih baik. Maka iklim yang sehat ini telah diciptakan dalam proses lelang jabatan dengan adanya fit & proper test untuk menduduki jabatan publik di pemerintahan maupun swasta.

Walaupun dalam prakteknya masih saja ada "jual beli jabatan" dan koneksitas yang akhirnya menciptakan penguasaan ekonomi oleh "kelompok/faksi/gank" karena masih lemahnya penegakan hukum.

Walaupun Indonesia diproyeksikan akan menjadi negara 5 besar ekonomi dunia, namun itu tentu tidak akan terjadi begitu saja tanpa road map dan cetak biru capacity building dan mentalitas SDM bangsa Indonesia.

Saat ini memang kesejahteraan rakyat Indonesia masih jauh dari negara anggota G20.
Berdasarkan The Ethics Reform Act yang disusun pada 1989, gaji Presiden Amerika Serikat US$ 400.000 atau setara Rp 5,72 miliar per tahun (kurs Rp14.300 per US$). Gaji Senat US$ 193.000 setara Rp 2,75 miliar, gaji Senator US$ 174.000 setara Rp 2,48 miliar, Menteri US$ 203.000 setara Rp 2,9 miliar.

Gaji PNS di Amerika Serikat untuk batas terendah memiliki gaji US$ 18.000 setara Rp 257 juta dan batas tertinggi US$ 101.000 setara Rp1,4 miliar per tahun.

Berdasarkan Asianranking.com (9/11/2015), Perdana Menteri Singapura memperoleh gaji US$ 1,7 juta atau setara dengan Rp 23,3 miliar per tahun (kurs Rp13.705 per US$).
Perdana Menteri Jepang sebesar US$ 202.700 setara Rp 2,7 miliar per tahun.
Presiden Indonesia sebesar US$ 124.171 atau setara dengan Rp 1,6 miliar setara dengan PM Israel dan diatas gaji PM Malaysia dan PM Thailand.

Merujuk Laporan Keuangan PT Pertamina tahun 2018, total kompensasi untuk Direksi dan Komisaris sebesar US$ 47,237 juta atau setara Rp 661 miliar.
Jika ada 11 orang direksi serta 6 orang komisaris di Pertamina dengan perhitungan pembagian merata, maka per orang komisaris/direksi mendapatkan kisaran Rp 3,2 miliar per bulan atau sekitar Rp 38 miliar per tahun.

Perbedaan yang sangat besar dengan gaji Presiden Indonesia yang Rp 1,6 miliar per tahun setara hanya 4% dari gaji direksi Pertamina.
Total gaji dan tunjangan yang diterima oleh Menteri adalah sebesar Rp 18,64 juta per bulan atau sekitar Rp 223,68 juta setahun. Gaji anggota DPR Rp 51,6 juta per bulan (diluar uang sidang dan uang perjalanan dinas) setara 619,6 juta per tahun.

Diluar masalah integritas moral, menurut saya gap atau disparitas yang terlalu dalam antara gaji pejabat pemerintah, DPR dengan direksi BUMN berpeluang menciptakan terjadinya skandal keuangan, terbukanya celah untuk korupsi. Oleh karena itu pengaturan standar gaji nasional perlu menjadi perhatian.
Sebaiknya gaji pejabat dinaikkan dan sebaliknya gaji direksi BUMN diturunkan dengan tetap memperhatikan beban dan tanggungjawabnya.

Jika gaji Perdana Menteri Jepang setara dengan 8 kali gaji penduduk Jepang pada umumnya artinya rata-rata penduduk Jepang memiliki gaji setara Rp 337,5 juta per tahun.
Jika merujuk pada Jepang maka rata-rata penduduk Indonesia "idealnya" memiliki gaji setara Rp 200 juta per tahun.

Namun realitanya jika diambil rata-rata UMP tertinggi Rp 4.641.854,00 dan UMP terendah Rp 1.812.935,43 diperoleh rata-rata penghasilan golongan terendah penduduk Indonesia hanya memiliki gaji setara Rp 38,7 juta per tahun.

Angka tersebut tentu sangat jauh dari gaji pekerja tukang cuci piring di Amerika Serikat sekitar US$ 1344 per bulan setara dengan Rp 19,2 juta per bulan setara 230,4 juta per tahun.

Indonesia dalam Geopolitik Global

Dalam sejumlah diskusi WAG saya pernah menyampaikan pada tanggal 7 Juli 2022 merespons kunjungan diplomasi Presiden Jokowi untuk bertemu Presiden Zelensky dan Presiden Putin.

Walaupun belum tentu diplomasi Indonesia berhasil akhiri perang namun sejarah akan mencatat bahwa Indonesia telah mengambil inisiatif dalam mengupayakan perdamaian dunia.

Sepanjang "keinginan" Rusia tidak terpenuhi maka tidak ada yang menjamin perang kapan berakhir.
Rusia (Uni Sovyet) memiliki pengalaman berperang puluhan tahun tentu sudah berhitung dengan segala resiko-resiko terburuk yang dia hadapi.

Tanpa menggunakan senjata nuklirpun, cepat atau lambat sejumlah negara akan dibuat bangkrut akibat resesi/krisis ekonomi dampak perang berkepanjangan.

Dan terbukti saat ini perang masih berlangsung dan dampaknya akan semakin luas menumbangkan perekonomian negara-negara di dunia.

Kita masih punya harapan setidaknya tindak lanjut dari diplomasi Presiden Jokowi ke Ukraina dan Rusia pada forum pertemuan puncak G20 yang akan diselenggarakan Nopember 2022 di Bali. Tentu kita berharap besar ada hasil dengan kesepakatan untuk mengakhiri perang Rusia-Ukraina.
Jika tidak bisa didamaikan, entahlah apa yang akan terjadi selanjutnya di 2023.

Serangan Rusia ke Ukraina tidak hanya berdampak pada krisis kemanusiaan, tetapi juga ekonomi global. Dunia pun ikut merasakan efek pertumbuhan yang lebih lambat dan inflasi yang lebih cepat akibat perang tersebut.

Berdasarkan data International Monetary Fund (IMF), Rusia dan Ukraina adalah produsen pangan dan energi.
Perang tersebut menyebabkan harga energi melonjak, terutama minyak dan gas alam. Harga energi naik di seluruh Eropa seiring kenaikan harga gas akibat pasokan dari Rusia terhambat.
Harga pangan berbahan dasar gandum juga melonjak karena Ukraina dan Rusia sebagai menyumbang 30% dari ekspor global.

Menurut data Statistik Belanda (CBS) dampak perang Rusia-Ukraina telah menyebabkan inflasi Belanda naik ke rekor tertinggi 12% pada Agustus 2022 dari 10,3% pada Juli. Harga energi melonjak 151%.

Negara dengan ekonomi terbesar di Eropa, Jerman mengumumkan paket dana senilai 65 miliar euro atau setara Rp 961,2 triliun untuk mengurangi ancaman kenaikan biaya energi.
Sementara Indonesia yang hanya seperempat GDP Jerman telah mengalokasikan subsidi BBM sebesar 502 triliun.

Berikut urutan negara G20 berdasarkan GDP per tahun 2020:

1) Amerika Serikat: US$ 20.936,6
2) Uni Eropa: US$ 15.276,47
3) China: US$ 14.722,73
4) Jepang: US$ 5.064,87
5) Jerman: US$ 3.806,87
6) Inggris: US$ 2.707,74
7) India: US$ 2.622,98
8) Perancis: US$ 2.603
9) Italia: US$ 1.886,44
10) Kanada: US$ 1.643,4
11) Korea Selatan: US$ 1.630,52
12) Rusia: US$ 1.484,5
13) Brazil: US$ 1.444.73
14) Australia: US$ 1.331
15) Meksiko: US$ 1.076.16
16) Indonesia: US$ 1.058,42
17) Turki: US$ 720,1
18) Arab Saudi: US$ 700,12
19) Argentina: US$ 383.07
20) Afrika Selatan: US$ 301,92

Transformasi BBM Menuju EBT

Sebagian memahami keputusan pemerintah menaikkan harga BBM subsidi karena alasan subsidi BBM harus lebih tepat sasaran sebagai kompensasi atas apa yang telah dilakukan pemerintah untuk pemulihan ekonomi melalui jaring pengaman sosial untuk keluarga prasejahtera, korban PHK, masyarakat berpenghasilan rendah, jaminan kesehatan, bantuan UMKM dan penyelenggaraan pendidikan serta pembangunan infrastruktur berkelanjutan.

harga bbm naik tantangan transformasi energi fosil menuju ebt

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun