Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Demokrasi Indonesia di Ujung Tanduk

26 Juli 2022   10:33 Diperbarui: 26 Juli 2022   10:42 270 4
Akhir-akhir ini tidak sedikit kelompok masyarakat menyoroti agenda Pemerintah Pusat dan DPR RI yang hendak mengesahkan RKUHP dalam beberapa bulan ke depan. Agenda yang sama juga sudah terjadi di tahun 2019, tapi kandas karena penolakan besar-besaran dari masyarakat. Banyaknya pasal kontroversi dan tidak pro rakyat dalam RKUHP tersebut dinilai mengancam kebebasan masyarakat dalam berdemokrasi.

Gelagat pemangku kebijakan tersebut  terkesan bermain mata untuk satu misi yang sama yaitu mempercepat pengesahan RKUHP. Mereka sedang kucing-kucingan, intip-intipan, bermain petak umpat dengan rakyat. Hal itu dibuktikan dengan rencana pembahasan yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat, alias tertutup. Bahkan, jika rakyat tidak melakukan desakan tuntutan untuk menyebarkan Draft RKUHP, maka draft itu tidak bisa dibaca oleh masyarakat luas.

Keterlibatan masyarakat yang seharusnya ada telah dinihilkan dengan begitu saja. Jika pun ada kelompok masyarakat yang dilibatkan, itu adalah kelompok masyarakat yang sudah "dicuci" pikirannya atau karena sesuatu iming-iming sehingga menyetujuinya dengan diam-diam. Tidak berlebihan jika kita mengatakan partisipasi masyarakat dalam proses legislasi dijadikan seperti hantu-hantu bergentayangan.

Patut kita bertanya, di mana lagi makna aplikatif demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat itu? Apakah hukum, dalam hal ini Undang-undang (UU) akan dijadikan alat untuk membunuh demokrasi rakyat yang kemudian melindungi pejabat negara? Bagaimana demokrasi dibunuh dengan menjadikan hukum sebagai alatnya? Dan jenis hukum seperti apa yang sedang dipersiapkan oleh mereka


Tentang Matinya Demokrasi

Mengenai nasib negara demokrasi, seperti negara kita saat ini. Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam buku How Democracies Die (versi terjemahan: Bagaimana Demokrasi Mati) menyoroti negara-negara demokrasi yang demokrasinya sedang terancam, sedang dalam bahaya. Kedua penulis menyoroti negaranya, Amerika Serikat, dan beberapa negara-negara yang menganut sistem demokrasi, tapi perlahan demokrasinya mulai mati, seperti negara Hungaria, Turki, Polandia, Venezuela, Argentina, Mesir, Brazil, dan negara-negara yang menganut sistem demokrasi lainnya serta tidak menutup kemungkinan Indonesia saat ini. Amerika Serikat yang begitu dewasa dalam berdemokrasi ternyata mengalami erosi demokrasi di masa Presiden Donald Trump.

Levitsky dan Ziblatt menjelaskan bahwa kematian demokrasi di era kontemporer tidak lagi seperti di mana seseorang melakukan kudeta atau mengambil alih kekuasaan dengan paksa, tidak lagi dihancurkan oleh pemberlakuan sistem komunis dan fasisme. Akan tetapi kematian demokrasi itu dibunuh oleh penguasa yang lahir dari sistem demokrasi itu sendiri. Ia dengan perlahan meracuni demokrasi hingga mati. Penguasa yang lahir dari demokrasi menggerogoti sistem demokrasi bak kanker dalam tubuh manusia.

Apa yang penguasa lakukan untuk membunuh demokrasi? Yang mereka lakukan adalah perbuatan mengintimidasi pers yang seharusnya bebas merdeka; mengancam dan/atau memenjarakan setiap orang yang mengkritisi pemerintah dengan berbagai delik pidana; melemahkan kelembagaan pelindung demokrasi; melemahkan pengadilan; dan yang paling parah adalah membentuk hukum yang melindungi pejabat negara, kemudian mengancam kebebasan masyarakat. Dalam hal ini mulai menggeser UU yang seharusnya melindungi kepentingan rakyat banyak, menjadi UU yang menindas rakyat, kemudian melindungi harkat dan jabatan mereka.

"Banyak upaya pemerintah membajak demokrasi itu "legal" dalam arti disetujui lembaga legislatif atau diterima lembaga yudikatif," tegas Levitsky dan Ziblatt.


Hukum Sebagai Alat

Berdasarkan dari penjelasan Levitsky dan Ziblatt, bahwa salah satu upaya pemerintah yang berkuasa untuk membajak demokrasi yaitu dengan membentuk hukum yang melindungi kekuasaan, kemudian mengorbankan kebebasan demokrasi masyarakat, lembaga pers, lembaga pelindung demokrasi, dan kelompok masyarakat lainnya. Upaya-upaya itu mulai begitu tampak di negara kita beberapa tahun belakangan ini. Aroma-aroma rezim Orde Baru (Orba) mulai tercium.

Untuk mengidentifikasi jenis hukum seperti apa yang mereka gunakan untuk membunuh demokrasi dan kebebasan sosial di dalam demokrasi, khususnya di negara kita saat ini. Dan sekarang negara kita, secara teori hukum berada di fase mana? Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam buku Hukum Responsif (terjemahan) membagi tiga jenis hukum yang berbasis pada teori hukum sosilogis, yaitu: Hukum Represif, Hukum Otonom, dan Hukum Responsif. Jenis hukum yang terakhir adalah sebuah bentuk wacana para penulis atau sebagai sintesis dari Hukum Represif dan Hukum Otonom.

Yang dimaksud Hukum Represif adalah hukum yang digunakan oleh penguasa untuk menekan yang dikuasi. Hukum yang dibentuk dan digunakan adalah untuk menjaga kepentingan kekuasaan pemerintah, tidak untuk kepentingan yang diperintah (rakyat). Legitimasi rakyat sebagai yang diperintah diingkari. Hukum Represif ini biasanya lahir dari pemerintahan yang represif.

Setelah fase Hukum Represif, lahirlah Hukum Otonom. Hukum Otonom ini adalah hukum yang netral, bebas dari pengaruh politik dan kepentingan penguasa. Hukum ini muncul untuk menjinakkan hukum represif. Sejarah perkembangan hukum ini sering disebut sebagai; rule of law. Karakter khas Hukum Otonom yaitu seperti: Hukum terpisah dari kepentingan politik; prosedur adalah jantung hukum; tertib hukum; dan patuh pada peraturan-peraturan hukum positif.

Selanjutnya masuk ke dalam fase Hukum Responsif, adalah hukum yang muncul dari bawah berupa aspirasi masyarakat untuk merespon kepentingan rakyat di bidang ekenomi dan sosial melalui partisipasi politik. Jika kita dekatkan dengan kondisi yang menjadi awal pembicaraan kita tadi, di fase manakah hukum kita saat ini? Apakah di dalam fase Hukum Responsif? Jawabannya tentu seperti pepatah; jauh panggang dari api.

Apakah di fase hukum yang pertama? Secara murni tentunya tidak, karena saat ini rezim tidak seperti di masa Orba. Apakah di fase hukum yang kedua? Secara murni juga tidak. Sebab intervensi kepentingan politik dan dibentuknya peraturan, mayoritas menekan yang dikuasai, apalagi jika berlakunya pasal-pasal RKUHP yang melindungi pejabat negara. Jika tidak pada yang ketiga-tiganya secara murni, jadi di fase yang mana?


Penutup

Di sini lah letak benang merah apa yang dijelaskan oleh Levitsky dan Ziblatt dengan Nonet dan Selznick. Dua orang dari yang pertama menjelaskan bahwa, terjadinya pembunuhan demokrasi tidak dengan cara-cara tradisional lagi, tapi dengan demokrasi itu sendiri, yaitu salah satunya memanfaatkan hukum untuk melegalisasi upaya-upaya pembunuhan demokrasi rakyat. Para penguasa yang ingin membunuh demokrasi dengan menggabungkan (mixed) dua jenis hukum yang dijelaskan Nonet dan Selznick, sesuai kepentingan penguasa saja. Dengan campuran jenis hukum tersebut, dipisahkan lah unsur represif secara fisik, tapi dimasukkan secara halus kepentingan politik ke dalam Hukum Otonom.

Sedangkan nasib Hukum Responsif yang bercita-cita melindungi hak-hak dan kepentingan rakyat dicampakkan begitu saja. Jika ada rakyat atau kelompok masyarakat melakukan protes, melakukan aksi menyampaikan aspirasi langsung atau pun tidak langsung, penguasa telah menyiapkan UU yang bisa menghambat gerakan itu dengan berbagai pasal-pasal dengan ancaman pidana. Pasal-pasal disusun seelastis mungkin (pasal karet) agar dapat digunakan "senjata".

Jika keadaan ini terus dibiarkan, maka negara Indonesia yang demokrasinya mulai dewasa akan mati digantikan negara "otoritarisnisme konstitusional", sebagaimana berlakunya monarki konstitusional dalam sejarah ketatanegaraan. Peraturan perundang-undangan dibentuk untuk menjaga jabatan dan kepentingan pejabat negara. Demokrasi dan kedaulatan rakyat menjadi hampa.***



KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun