Mohon tunggu...
KOMENTAR
Entrepreneur

Bisnis Ico' dan Cappa' Lila (Tembakau dan Ujung Lidah)

30 Juni 2022   18:13 Diperbarui: 30 Juni 2022   20:11 1100 2

Malam itu suntuk menghantui saya, ditambah sakit kepala pasca tidur sore hari. Bagiku, ngopi obat mujarab untuk mengusir rasa itu. Saya memutuskan untuk pergi ke warkop dialektika di depan UIN Alauddin Samata, sudah lama saya tidak kesana. Disana bukan cuma ada warkop tapi ada kak wawan yang menjual Ico' (tembakau yang dilinting) disamping warkop. Ico' Nusantara nama tokonya, menjual berbagai jenis tembakau dan berbagai peralatannya. Dia memulai bisnisnya 1,5 tahun lalu, menangkap peluang di tengah gempuran pandemic dan naiknya bea cukai rokok. Bisnis ini semakin naik daun, menjadi budaya baru bagi anak anak muda. Jika dulunya menghisap tembakau linting itu kuno, budaya orang tua dan tidak bergengsi, kini telah berubah drastis. Justru melinting menjadi fenomena gaul, trendy, dan bergengsi, ia bersaing dengan budaya ngevape.

Setelah memesan kopi, saya menyapa kak wawan yang duduk di sudut lemari sembari menulis catatan pembelian. "Halo kak" , Saya melihat bungkusan tembakau dengan berbagai merk, sesekali membuka toples dan menghirup aroma tembakaunya yang beraneka ragam. "Kenapa kayak rasa permen ini tembakauta' kak?". Pria tambun ini lantas menimpali , "susah kita berdiskusi tentang tembakau dengan kau, karena kau tidak merokok". Saya langsung balas "minimal kita diskusi aspek lainnya kak toh". Kak wawan, mengubah posisi duduknya dengan gaya bertahan " Begini, kalau kita diskusi tentang rasa tembakau, ibaratnya kita membaca buku dewi lestari yang berjudul aroma karsa, yang susah kita memahami aroma yang dimaksud".

Saya tersenyum dengan argumennya, ada betulnya tapi juga ada kurang tepatnya karena seolah olah produk itu berdiri sendiri tanpa ada variabel lain. Ternyata betul, Secara perlahan dan tanpa dia sadari saya menghabiskan waktu 3 jam duduk disana menguliti secara perlahan tentang bisnis yang dia tekuni.

Selain dengan harga murah, tembakau ini digemari karena adanya eksperimen yang dilakukan oleh konsumen, hal ini tidak didapatkan pada rokok pabrikan. Konsumen terlibat dalam proses produksi sehingga setiap orang punya racikan sendiri yang mungkin saja orang lain tidak bisa tiru. Dalam aktivitas ico' atau tingwe (singkatan dari bahasa jawa yang berarti melinting sendiri) terdapat 3 komponen ; diibaratkan makan nasi, lauk dan sayur . Inilah komponen yang dicampur dan terdapat disetiap lintingan. Komposisinya pada umumnya 50% tembakau nasi, 30% tembakau sayur dan 20% tembakau lauk. Ada juga campuran satu satu yang berarti 33% Nasi, 33% sayur, 33% lauk.

Campuran ini sangat tergantung selera dan tenggorokan masing masing orang, misalnya tembakau gayo hijau, sebagian orang  menjadikan nasi tapi ada juga menjadikan sayur. Orang yang lembek tenggorokannya biasanya gayo hijau dijadikan sayur. Tembakau Darmawangi rata rata kasi dijadikan sayur tapi yang lembek sekali tenggorokannya dia jadikan lauk. Tembakau lauk termasuk kategori yang keras jika dihisap makanya komposisinya relatife sedikit.

Dari ketiga komponen ini, tembakau lauk berada pada level tertinggi karena Harganya lebih tinggi dari harga dua komponen nasi dan sayur. Penyebutan lauk lantaran tembakau tersebut berfungsi sebagai campuran, penguat rasa. Memiliki kadar nikotin yang tinggi (nicotine kick) dibanding tembakau nasi dan sayur.

Menurut pengakuan Kak wawan "Untuk mengcluster jenis tembakau, mana Nasi, Lauk dan sayur syaratnya harus sering sering coba segala jenis tembakau. Karena mazhab orang orang berbeda beda".

Pada tembakau ada juga yang memakai perasa dan saus. Tembakau yang memakai saus seperti tembakau yang beraroma coklat, strawberry, dan lainnya dan Tembakau yang memakai perasa merupakan tembakau yang memiliki rasa seperti rokok pabrikan surya, sampoerna, clas mild dan lainnya. Tapi masih banyak juga yang memilih tembakau ori tanpa saus dan perasa.

"Toko Ico' Nusantara menolak menjual secara online. Karena Ico' nusantara tidak hanya menjual tembakau tapi interaksi". Begitu pendakuan Kak Wawan. Hal tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara Tembakau dan Interaksi. Menjual secara online antara penjual dan pembeli interaksi akan terbatas, mereka tidak bisa bercerita, berbagi pengalaman, berdiskusi dan yang lebih penting konsumen tidak bisa mencoba produknya..

Pelanggan yang datang diberikan akses tembakau secara gratis untuk mencoba segala macam rasa untuk dapat menentukan pola komponen yang tepat bagi kerongkongannya bahkan memberikan ruang konsumen untuk mengeksplor "tiap hari beda rasa".

Kak wawan hadir untuk membantu menjelaskan dan mendiskusikan jenis jenis komponen tersebut. Interaksi Inilah yang menjadi diferensiasi antara Toko Ico Nusantara dengan toko tembakau lainnya. Dari diskusi tembakau mengarah ke diskusi lainnya, sehingga terjalin keakraban dan membuat pelanggannya menjadi Loyal. Terbukti pada saat saya disana, ada Mahasiswa Universitas Muhammadiyah yang bermukim di Desa Taeng, rela melewati macet untuk membeli tembakau di Ico' nusantara. Jika dipikir, ada banyak penjual tembakau yang dia lewati untuk sampai disana. Dia tidak hanya mencari tembakau tapi interaksi dengan kak wawan serta teman teman penikmat tembakau lainnya.

Daris aspek marketing, Ico' Nusantara menerapkan strategi Relationship Marketing sehingga meningkatkan nilai pelanggan (customer value) yang berujung pada Loyalitas konsumen.

Tembakau dan Interaksi, selain strategi juga merupakan produk budaya yang kembali dilestarikan. Tradisi menghisap ico' pada masyarakat bugis sudah lama terjadi. Misalnya to riolo (orang dulu) apabila ada acara hajatan atau pernikahan, ico menjadi seserahan atau suguhan para kerabat yang datang. Pada saat aktivitas melinting dan menghisap terjadi pada saat itu pulalah proses interaksi dan bercerita sedang berlangsung.

Ico' menjadi metode diplomasi efektif dalam kebudayaan bugis, to riolo terbiasa membawa belle' belle' / cappo' cappo' (kaleng berisi ico') jika hendak menempuh perjalanan jauh, jika mereka bertemu dengan lawan bicara ia tidak sungkan menawarkan ico' nya.

Para perantau bugis dikenal dengan keahlian diplomasi, tutur kata, dan ilmu komunikasinya. Orang bugis memegang 3 falsafah hidup ketika merantau, salah satunya adalah cappa' lila (ujung lidah). Orang bugis ketika hendak berbicara sebaiknya bertutur baik, tidak menyinggung atau menyakiti perasaan orang lain, berkomunikasi yang bijak, dan berusaha mendamaikan orang yang bertengkar. Pegangan ini membuat orang bugis mudah beradaptasi dan cepat membaur dengan orang lain.

Ico' dan cappa' lila (interaksi) bukan hanya bisnis tapi juga kebudayaan orang bugis, walaupun produk tembakau yang dijual di toko ico' nusantara masih didominasi dari tembakau jawa. Tetapi tembakau asal soppeng juga banyak diminati oleh kalangan muda, ico' asal soppeng dikenal dengan karakter gula aren nya yang diolah dalam bambu. Semenjak cukai rokok pabrikan melambung para petani tembakau lokal mendapatkan pangsa pasar baru yakni anak muda. Saya yakin, bisnis ini akan berumur panjang walaupun misalnya harga rokok pabrikan kembali murah, karena eksperimen racikan ini yang tidak dimiliki oleh industri rokok.

Pertanyaan terakhir saya malam itu untuk kak wawan, "Kenapa tidak produksi hasil lintingan dan jual per batang juga kak ?". Dengan karakter suara bugisnya yang menekan lawan bicara dia jawab "Itu menyalahi gerakan melinting, disitulah proses bukan instan. Kalau mau instan beli rokok pabrikan saja. Tidak ada rokok murah yang enak, tapi tembakau murah yang  enak banyak, apalagi yang enak dan mahal".

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun