Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan Pilihan

Indonesia, dari Orde ke Orde

13 Juli 2019   02:05 Diperbarui: 13 Juli 2019   09:50 1014 1
Pada tiga tahun pertama kepemimpinannya, Soeharto langsung menggebrak dengan 'program kerjanya' yang dinamakan Pelita / Repelita. Pelita adalah pembangunan lima tahun, sedangkan repelita adalah rencana pembangunan lima tahun.

Repelita pertama, Soeharto menekankan sektor pertanian. Artinya dalam pemenuhan kebutuhan pokok (dasar), serta sebagai penunjang pembangunan infrastruktur, pemerintahan yang diberi tajuk Orde Baru itu mengandalkan pendapatan dari hasil pertanian.

 Pemerintahan Orde Baru pun gencar memperbaiki sektor pertanian. Waktu itu disebut pula, bahwa sebagai negara agraris harus bisa memenuhi kebutuhan pangan, berswasembada pangan sendiri. Syukur-syukur ada lebihnya. Bisa buat yang lain.

Mungkin satu hal yang patut disayangkan adalah, entah kenapa, pemerintah ORDE BARU waktu itu menyebut negeri ini dengan sebutan negeri agraria, sedangkan luas garis pantai kita adalah 81.000 Kilometer, yang artinya 70% dari total wilayah Indonesia secara keseluruhan.
Sampai disini, sudah dipastikan bahwa pencanangan Pelita / Repelita pertama salah sasaran.

Boleh saja memperkokoh sektor pertanian, tapi jangan abaikan kekayaan laut yang harusnya kalau bisa dikelola lebih baik akan mendatangkan hasil yang lebih baik bagi kehidupan perekonomian rakyat Indonesia.

Yang lebih aneh lagi adalah Repelita Kedua. Dengan dalih bertujuan mengembangkan potensi Pulau-Pulau lain selain pulau Jawa dan Bali, bukannya memeratakan pembangunan, tapi malah memindahkan sebagaian penduduk Jawa dan Bali melalui program Transmigrasi ke Pulau-Pulau yang dinilai tingkat kepadatan penduduknya masih jarang seperti Sumatra, Kalimantan, serta Papua (Waktu itu Irian Jaya), tanpa dukungan pembangunan Infrastruktur yang memadai.

Penduduk yang di ikutkan program transmigrasi tersebut diberi bekal beberapa hektar tanah, alat pertanian, serta rumah, untuk selajutnya warga Transmigran tersebut menggantungkan hidupnya dari hasil perkebunan atau pertanian.
Mungkin ada bagusnya. Karena dengan begitu mengurangi kepadatan pulau Jawa.

Masalahnya pemerataan pembangunan tak juga dilakukan. Karena pembangunan infrastruktur bertumpu di Jawa, terutama Jakarta.
Tak pelak, tetap saja, kelak, keturunan Warga Transmigran ini mesti mengadu nasib ke pulau Jawa juga agar nasibnya lebih baik dari orang tua.
Sekilas program transmigrasi ini 'sukses', tapi ke depannya gagal.

Dilanjutken Repelita ketiga yang menitik beratkan pada sektor industri dengan tujuan bisa menyerap tenaga kerja. Ke depannya, pemerintah Orde Baru berharap bisa ekspor hasil produksi anak bangsa. Tak jelas industri apa yang menjadi fokus Repelita paska tiga periode pemerintahan Soeharto ini. Tapi yang amazing, pada tahun 1980 an Indonesia berhasil menjadi negara swasembada beras, dan bahkan ekspor ke mana negara.

Padahal sektor pertanian sudah dibangun sejak Repelita pertama. Perlu waktu belasan tahun bagi pemerintah Orde Baru untuk membuktikan keberhasilan dari telah apa yang telah dicanangkan.

But the show must Go on. Repelita keempat dimulai. Kali ini sasarannya adalah memfokuskan pada penyerapan tenaga kerja  baru di sektor industri. Tak dijelaskan, konsentrasi industri macam apa.
Tapi antara Repelita tiga dan empat ini terkesan punya tujuan yang mbulet dan tidak jelas serta berkaitan satu sama lain, kayak benang kusut.

Mangkin ndak jelas!

Repelita Lima pun dimulai setelah Repelita empat kelar dilaksanakan, dengan hasil, entah apa...

Konsentrasi pada Transportasi, komunikasi, dan pendidikan.
Saya dibuat gagal paham, failed to under stand, missed to understand dengan slogan-slogan itu.
Perbaikan sistem transportasi yang kayak apa yang dibenahi? Transportasi umum? Perkereta-apian misalnya. Ya gitu-gitu saja. Tidak ada pembenahan. Alih-alih kereta ekonomi nyaman dengan air conditioner, kecelakaan kereta api Bintaro malah jadi tonggak sejarah betapa buruknya transportasi umum waktu itu.

Sektor komunikasi mungkin waktu itu bisa jadi, mendapat sedikit 'sentuhan' dengan munculnya beberapa televisi Swasta.
Begitupun ternyata ada udang dibalik bakwan yang basi.

Lha wong izin stasiun televisi itu dikatongi Bambang Trihatmojo, salah satu pangeran cendana. Hahahah...

Bener kan, segala rencana dan aturan dibuat untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu?

Setahun kemudian, tepatnya tanggal 13 September 1990, Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden No. 40 tentang pengumpulan pajak kepemilikan televisi antara Yayasan TVRI dan PT Mekatama Raya, perusahaan swasta milik Sudwikatmono dan Sigit Hardjojudanto.
Dua perusahaan itu yang dahulu kala mengumpulkan dan mengelola pajak televisi. (Sumber : Wikipedia)

Ini yang tidak lucu! Bener-bener tidak lucu. Kita diuber-uber pajak karena memiliki alat komunikasi. Tapi saya bersyukur, karena waktu itu keluarga kami tidak memiliki televisi. Boro-boro beli tipi, listrik saja belum menjamah kampung kami!

Kalau mau nonton ya dirumah tetangga.
Satu tahun setelahnya, tepatnya pada tanggal 23 Januari 1991 TPI mengudara. Pengelolanya adalah PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia.  Dengan dalih menjadi siaran televisi pendidikan pertama di negeri yang bukan warisan kumpeni ini.

Dan sektor pendidikan, apa yang dibenahi? Kurikulum sekolah? Atau apa?

Pembebasan biaya sekolah negeri misalnya?
Tak ada itu! Tak ada..(Maaf, ini pemerintahan Orde Baru)

Jadi apa yang baru pada Orde Baru? Slogan yang selalu baru.
Pada akhirnya rezim Soeharto pun runtuh pada 21 Mei 1998 dengan segala kontroversi tentang Pak Harto, the Smiling General.
Bagaimanapun, kata Gusdur, " Pak Harto itu jasanya besar buat negeri ini, walaupun dosanya juga banyak." Hushhh!

Piye Le Kabarmu? Enak jamanku toh? Embuh lah, mbah!!! 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun