Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Jejak Digital Itu Kejam

29 April 2019   09:39 Diperbarui: 29 April 2019   10:07 41 1
Itu kalimat yang sering kita dengar, setidaknya dalam 10 tahun terakhir.
Ketika seseorang yang menyampaikan sesuatu, berbeda dengan hal yang ia sampaikan di waktu yang lalu, dan itu terekam dalam arsip digital, maka orang itu akan disumpahserapahi oleh netizen.
Pertanyaannya, bisakah seseorang menjaga konsekuensi kalimat yang pernah dilontarkannya bertahun-tahun yang lalu harus selaras dengan kondisi sekarang.
Bila pertanyaan itu diajukan ke saya, jelas sulit, dan saya pun tak bisa, terlebih bila saya masuk ke dalam dua kriteria ini; saya adalah seorang politikus, dan saya seorang penyampai.
Seorang penyampai adalah orang yang sering dimintai keterangannya. Juru bicara, humas, masuk dalam kategori ini. Mereka, selalu bicara dalam ranah substansi.
Contoh. ada pak X. Dia orang baik. Suka berderma. Suatu kali ia bangun mushalla di RTnya. Lalu Pak RT akan memuji pak X ini atas kedermawanannya. Namun, lima tahun kemudian, ia ditangkap KPK, dia dituduh mendapatkan kekayaan dengan cara lancung. Semua dermanya itu adalah hasil korupsi. Lalu pak RT, menyampaikan statement baru, yang berbeda substansi dengan yang lalu. Lalu netizen, ramai-ramai menyebut, pak RT munafik dengan menunjukkan bukti video statementnya 5 tahun yang lalu.
Jelas, semua orang berpidato dengan substansi yang dikondisikan dengan masa yang ada. Ketika harga barang meroket, ia bisa saja menyerapahi rezim. Ketika rezim memperbaiki itu, tentu tak salah yang akhirnya dilontarkan adalah pujian.
Jadi, bila kita ingin melihat jejak digital, lihat dulu. Apa subtansi saat itu. Ada yang penting untuk dibahas, ada yang cukup di skip saja karena kita sudah paham mengapa itu terjadi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun