Mohon tunggu...
KOMENTAR
Balap

MENGURAI BENANG KUSUT RELASI DAN KEKUASAAN PILPRES 2019 DI INDONESIA

12 Desember 2019   20:05 Diperbarui: 23 Januari 2020   03:03 130 0

Studi Kritis Massa Aksi Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi di Indonesia


SEBUAH PENGANTAR

Dalam kesempatan ini, saya hendak menyampaikan desain pemikiran kritis terhadap problem sosial politik di Indonesia pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah menciptakan anomali politik kedaerahan, hingga dalam analisa pro dan kontra secara nasional dan internasional. Pada dimensi tertentu seperti dalam kajian Ketahanan Nasional, dampak signifikansi perubahan sosial politik tersebut memberikan pengaruh yang mengkhawatirkan baik pada pihak yang setuju terhadap putusan, maupun pihak yang menolak hingga harapan dan ketakutan bagi strata sosial yang independen (tidak berpihak ke kubu manapun) yang memberikan konstribusi pada dinamika stabilitas keamanan, integritas kerakyatan maupun relasi dan kekuasaan yang harmonis dari tiga tipologi masyarakat pemilih yaitu mendukung, menolak dan independen.

Perlunya kita memahami ke belakang sebelum Putusan MK tersebut menjadi diskursus, yaitu semenjak peralihan  "rezim militer" SBY ke-2 ke rezim Jokowi ke -1 (Tahun 2014), kehadiran Jokowi sebagai Presiden RI terpilih mendapatkan tantangan dan dukungan yang cukup tajam. Hal ini bisa dimengerti karena Rezim SBY telah dua periode sebagai representasi wakil Kepemimpinan Nasional dari profesional militer yang kemungkinan besar membuat masyarakat menolak dan menginginkan dari non militer. Sehingga kehadiran Calon Presiden Prabowo Subianto sulit untuk mendapatkan dukungan. Terlebih Rezim SBY yang diawal mencalonkan sebagai Ilmuwan yang bergelar Doktor Pertanian tetapi justru Rezim SBY melanjutkan Rezim sebelumnya yaitu Rezim.Gus Dur dan Rezim Mega terkait penegakan hukum, kasus korupsi dan jaringan aksi terorisme.

Dalam pada itu, Rezim Jokowi ke-1 telah menunjukkan beberapa kemajuan dalam pemberantasan korupsi dan terorisme dengan angka perolehan optimal dibanding beberapa rezim sebelumnya; akan tetapi sederetan kasus besar dan sangat merugikan rakyat belum mendapatkan optimalisasi yang urgensial di zaman Rezim Jokowi ke-1 ini yang merupakan warisan "dosa dosa korupsi" sejak Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi yaitu dimasa Rezim Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Mega hingga SBY. Beberapa rincian meliputi pengelolaan sumber daya alam, BLBI, HAM, E-KTP, Hambalang, Mafia Pajak, Dana Pendidikan dan lain lain termasuk Illegal Logging dan Narkoba.

Ketika Prabowo Subianto sebagai rival Jokowi pada Pilpres 2014 beberapa opini yang dikembangkan lebih berfokus pada aroma isue isue "perebutan kembali" nuansa Rezim Orde Baru ke Rezim Reformasi. Hal ini ditandai beberapa kritik menguat terkait emansipasi Komunis Gaya Baru (KGB)  dan intervensi Konglomerat maupun dan Pemerintah Cina pada siklus kebijakan stimulasi politik perekonomian dan lintas kerjasama di era rezim Jokowi.

Meskipun dalam konteks yang lain diperkuat dengan beberapa kegiatan masyarakat yang sebenarnya sejak Rezim  SBY sudah memperjuangkan KKR (Komite Koalisi dan Rekonsilasi) KGM (Komite Gerakan Marhaen) tetapi dimasa Rezim Jokowi ini lebih pada pola perjuangan audio visual, buku buku kritis dan optimalisasi pada pemberantasan koruptor serta peningkatan kewaspadaan pada sumber dan pelaku terorisme hingga pembubaran Hizbut Tahrir, desakan pembubaran FPI, migrasinya HRS ke Arab Saudi sebagai Tokoh Nasional bagi gerakan 212 serta tuduhan tuduhan sepihak pada Keluarga Jokowi yang beragama Islam dengan fitnah non Islam serta tuduhan bahwa Rezim Jokowi adalah bagian dari Cina serta Jokowi terlibat sebagai anak kandung seorang ibu aktifis Gerwani melalui beberapa tulusan hoax yang sampai saat ini tidak terbukti secara hukum.

Lalu mengapa mozaik sosial politik pra tahun 2019 yaitu dari 2014 hingga 2018 masih berkutat pada KGB/Neo-PKI, Cinanisasi, bahaya laten Orde Lama; sedangkan dalam epistema yang berkembang di masa rakyat adalah persoalan terorisme dan ancaman kedaulatan identitas negara, Korupsi hingga bangkitnya opini militerisme, pernik kasus HAM hingga korupsi dan bahaya laten Orde Baru.

Deskripsi tersebut telah menghiasai coretan media massa baik online maupun offline, radio, televisi, cetak, dan beberapa buku serta manuskript lainnya yang luas dan multi perspektif.

Saya mengajak untuk lebih mempersempit studi kita di masa pra 2019 pada hal hal.yamg patut dipertanyakan mengapa masalah itu menjadi Benang Kusut, sesuatu yang belum terang benderang ibaratkan cahaya, belum tergambar jelas bila itu cahaya dan belum berbentuk materi materi persoalan bila itu sebuah masalah kebendaan. Perlunya kita memiliki sikap optimis demi kepentingan lokal, nasional dan kemanusiaan global bagi ihtiar mencatat arah baru perjuangan politik yang kritis pasca keterpurukan sosial politik dan ekonomi nasional;  menjadikan NKRI lebih memiliki tujuan yang mensejahterakan umat manusia, mendukung solidaritas keadilan sosial, terciptanya politik demokrasi de-liberatif yang kokoh dan memperkuat iklim politik Negara Indonesia yang solid, tidak retak dari lintas ancaman transnasional yang bisa menggelincirkan pada kecenderungan yang memperkuat fideralisme, sekulerisme hingga  sosialisme komunis (atau komunisme itu sendiri).

Maka agenda besar mengurai benang kusut ini adalah keinginan bersama setiap manusia dan bangsa dalam motif negara apapun untuk mewujudkan potret kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjunjung dan menghargai kemanusiaan yang adil dan beradab. Sehingga esensi dari adil dan beradab inilah manusia Indonesia menjadi manusia yang Berketuhanan Yang Maha Esa.

Beberapa indikator manusia yang mempercayai Tuhan Yang Maha Esa adalah bersikap adil, beradab dan menyukai musyawarah dan menentang segala jalan kekerasan atau budaya konflik (bukan kompetisi) terlebih sesama rakyat Indonesia. Hatta, untuk memudahkan jalan pemikiran kita saat ini agar konseptualisasi ideal tersebut tidak membingungkan, kita perlu studi kritis dengan mengantarkan sebuah pergumulan diskursus pemikiran yang menggunakan pendekatan metodologis gaya sosiolog era post kolonialis yang dipelopori oleh Edward W Said yang memelototi Oreintalisme Barat telah memperkuat hegemoni kekuasaan nya sebagai dampak wacana dan epistemologi yang dikonstruksikan secara modernis, yaitu menggunakan cara berfikir dan menelaah secara hitam putih, pola studi biner yang berdampak pada imperialisme bahasa, pemikiran hingga bangsa. Sedangkan di Indonesia yang notabene mayoritas Islam juga telah mendominasi dan mempengaruhi beberapa studi kritis dari kalangan intelektual Timur Tengah dan Asia Tenggara. Indonesia usai dijajah Belanda, Inggris dan terakhir Jepang yang mana secara heresiografi pemikiran dan sosio-kultural dan struktural memiliki mentalitas negatif terhadap inovasi dan yang serba kebarat-baratan. Ini menjadi epidemi intelektual bahkan patologi sosial yang memperkuat kecurigaan, ketakutan dan bahkan penolakan.

Model studi kritis Edward W Said telah dijalani Presiden RI Soekarno sebagai Rezim Pertama berkuasa di Indonesia. Beberapa pemikiran Bung Karno (nama panggilannya) merupakan perlawanan terhadap kolonialisme baik ideologi politik, kedaulatan ekonomi dan indepedensi kepribadian dalam khazanah budaya nusantara. Soekarno memiliki Trisakti yang diwariskan untuk bahan dasar revolusi politik guna menjalankan sikap sosial politik kebangsaan Republik Indonesia.

Disini kemudian tidak melupakan beberapa pertanyaan dan pengakuan terhadap karya karya merakyat pada kepentingan revolusi pemikiran untuk sebuah kepentingan Oksidentalisme peradaban Timur terhadap Barat.

Sehingga beberapa Tokoh Kritis seperti Hasan Al-Banna, Taqiyudin An Nabhani, Abu A'la Al Maududi, Toha Husein hingga Jamaludin Al Afghani, Ayatulloh Khomaini dan Muhammad Abdul Wahab serta Maulana Ilyas Al Kandahlawi telah memberikan dampak interaktif kritis bagi studi keagamaan umat Islam dekade mutakhir yang kemudian melahirkan beberapa gerakan Islam baru dan berkembang pesat di Indonesia seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Syiah, Salafy hingga Jamaah Tabligh. Adapun Al Qaeda dan ISIS muncul belakangan. Sedangkan beberapa tokoh mutakhir seperti Ahmad Dahlan, HOS Cokroaminoto, Ki Hajar Dewantara,  Ivan Illich, Paulo Friere, Fritjof Capra, Tan Malaka, Soekarno, Michael H Hart, Ahmad Wahib, Soe Hoek Gie, Nurcholish Madjid, Romo Mangun, Fattima Mernisi, Emha Ainun Nadjib, Mohammed Archoun, Johan Hendrik Meuleman, Jerry D Grey, Dawam Rahardjo, Muslim Abdurrahman, Abdul Munir Mulkan, Abdurrahman Wahid, Anis Matta, hingga Ja'far Umar Thalib, Salim At Tamimi dan Ismail Yusanto serta pengikut Maulana Ilyas Kandahlawi kesemuanya memerlukan penjelasan terhada Nalar Ideologi dan Nalar Kepentingan pada stratum relasi relasi yang dijabarkan pada catatan catatan riset pustaka yang meluas.

Pergumulan lintas kekuatan gerakan Islam yang relatif baru ini secara klasifikasi memiliki tipologi gerakan yang berbeda beda, ada yang fokus pada pendidikan, politik, tasawuf serta ekonomi. Prilaku ini sejalan dengan gerakan gerakan Soekarno yang lebih berfaham marhaenisme, sebagai ajaran perjuangan politik untuk membela kaum lemah, kaum buruh, petani dan kaum terjajah. Sebuah ajaran yang berdimensi pembebasan.

Dimanakah kemudian Rezim Jokowi yang berkuasa sejak 2014 dan memenangkan Pemilu 2019 mengalami studi kritis sebagai mainstream dugaan bahaya menguatnya kepemimpinan berbasis neokolonialisme? Mungkin pertanyaan ini sebagai strategi analitik bahwa pergerakan massa aksi yang menolak hasil Putusan MK bukan sekedar menyepakati tentang opini Hasil Pemilu Curang, tetapi adanya kristalisasi opini, akumulasi sepihak terhadap isue isue sebelumnya yang memang dilakukan setelah sepuluh tahun "rezim militer" SBY berkuasa telah merawat dan menumbuhkan etos simpati pembelaan perjuangan untuk suatu prediksi akan keinginan mempertahankan militerisme kepemimpinan nasional dan revitalisasi laten orde baru serta kekhawatiran tumbangnya laten rezim orde lama setelah 32 tahun lebih menerima pengekangan oleh rezim orba namun sesungguhnya polemik beberapa kasus dan daya konflik sert sumber sumbernya adanya kemiripan seperti skenario rezim orde baru di rezim Jokowi yaitu terorisme, korupsi dan AS via a vis Cina. 

Namun demikian, dalam studi sejarah politik ke-Indonesiaan, infiltrasi pemikiran Neo-Marxian juga mempengaruhi pemikiran Soekarno dan massa rakyat terhadap sikap menentang dari hegemoni struktural dan kolonial yang menjadi kajian kritis di era postmodernis. 

Upaya membedah benang kusut yang menjadi gumpalan pintalan permasalahan yang berdampak pada etalase ketegangan ketegangan hubungan rakyat dan pemerintah serta hubungan rakyat dengan rakyat menjadi catatan fundamental dan bahan pengayaan wacana sosiologi politik ke-Indonesiaan telah menempatkan posisi kajian ini menjadi reposisi metodologis, dekonstruksi persepsi publik dan dinamisasi pola penguatan pertahanan dan keamanan nasional guna menjaga inklusitas, perdamaian, kesejahteraan dan keharmonisan global yang menjadi fitroh dan harapan bagi pengetahuan dan cita cita universal sebuah negara maju dan berperadaban, negara yang berkeadilan, negara yang tidak menindas tetapi memerdekan dan negara yang menjunjung tinggi pranata budaya kemanusiaan yang adil dan beradab.

Instrumentasi metodologis yang bagaimana untuk dijadikan alat teoritis guna mengupas, problem penolakan hasil Pemilu 2019 pasca Putusan MK yang mengakibatkan kekerasan fisik, apologi terhadap pilihan berjuang sampai titik darah penghabisan dan potensi berkelanjutan bagi keretakan kerakyatan dan perpecahan intergasi kedaulatan NKRI secara nasional dan internasional. 

Setiap pergolakan sosial politik pada masa konservatif, masa Karl Marx hingga Neo-Marxian atau masa atlantis, masa agama, masa modern hingga post modern yang ditandai adanya gerakan gerakan intelektual sosiologis melalui intelektual postmodernis seperti Michel Foucault dan poststrukturalis Jacques Derride atau dalam ensiklopedi keagamaan ada  Rosulullah Muhammad SAW, Isa AS, Musa AS hingga Mahatma Gandhi dan Kaum Cendikiawan di Budi Utomo, KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, HOS Cokroaminoto pendiri Sarekat Dagang Islam hingga lahirnya PKI, PNI dan Masyumi yang kesemuanya untuk menjaga kedaulatan dan kemerdekaan bangsanya dari kekuasaan epistemologi Barat hingga kekuasaan fisiknya dalam bentuk penjajahan raya berabad abad dan telah menenggelamkan perdaban Indonesia yang pernah memiliki Kerajaan Singhosari dan Majapahit sebelum datangnya kekuasaan sosial politik keagamaan kemudian yakni Hindu, Budha, Islam dan Konghuchu.

Sebagai kesadaran untuk meletakkan sosiometri kritis, tentu instrumentasi yang tepat adalah mengurai identifikasi relasi-relasi dan kekuasaan-kekuasaan yang ditimbulkannya. 

Sesungguhnya setiap relasi akan memunculkan kekuasaan dan setiap Kekuasaan tentu didahului oleh bangunan relasi sebelumnya. 

Di manakah relasi dan kekuasaan itu, siapa dan apa lalu kapan dan bagaimana berjalannya hingga menghasilkan kekuatan yang tak lepas ada kelemahan, menetaskan peluang untuk menghancurkan kedaulatan NKRI meskipun ada juga tantangan.

Maka dari itu, suasana kelemahan itulah sering muncul kamuflase dalam rangka kerja propaganda dan dalam deretan tantangan diciptakan perlawanan dalam bentuk perang urat syaraf,  perkelahian massa aksi hingga pembunuhan karakter dan jiwa.

Kita memerlukan beberapa teori kritis untuk menjelaskan mengapa sebuah pengetahuan benang kusut muncul, lalu perlunya mengetahui setiap relasi dan setiap kekuasaan sebagai fakta dialektika sedangkan kita tidak mengkaji bebas nilai. 

Anthony Gidden pun mengingatkan bahwa sosiologi itu berpihak pada kesadaran ekologis, dalam interpretasi sederhananya adalah dimensi ekologi sosial politik bagi kebaikan kedaulatan NKRI.

Maka kita tidak boleh melupakan globalisme peradaban yang terus naik volumenya, hampir menipis dan menghilangkan batasan batasan normatif dan pranata budaya domestik. Peran dan kepentingan global telah menggantikan pendekatan lokal dan nasional untuk sebuah ketahanan teritorial. Sehingga identifikasi terhadap subyektifikasi relasi dan obyektifikasi kekuasaan atau sebaliknya tidak bisa mengabaikan beberapa studi genealogi kritis.

PEMBAHASAN : TEORI RELASI DAN KEKUASAAN MICHEL FOUCAULT

Dalam diskursus kita kali ini,ada beberapa teori sosial yang terkait dengan politik pada masyarakat anomali, yaitu Teori Relasi dan Kekuasaan yang digagas oleh Michel Foucault. 

Menurut Foucault, ia menjelaskan bahwa setiap Relasi yang ada akan berakhir pada Kekuasaan termasuk setiap Kekuasaan yang tampak sesungguhnya terdiri dari bagian bagian Relasi yang ada.

Foucault dalam kritik sosialnya  pada Filsouf, Psikiatri dan Sosiolog yang hidup di zaman Postmodernis maupun Postrukturalis, ia mahasiswa Jacques Derride di Universitas Ecole Normale Supreure, Perancis 1946 hingga 1949. Setiap teori kritis yang dihasilkan juga melanjutkan atas pengaruh Kaum Neo-Marxian seperti Marx Hokshimmer dll.

Tujuan utama dari hasil teori sosial mengenai Relasi dan Kekuasaan adalah menjelaskan bahwa kduanya sebagai subyek atau obyek tidak bisa terpisahkan. Sedang Karl Marx memisahkan antara Majikan sebagai produser dan Buruh sebagai pelaksana; kaum postmodernis melihat kaitan apapun termasuk Agama dan Pemeluknya merupakan Relasi dan membentuk Kekuasaan sedangkan Kekuasaan agamis ada karena berbagai relasi yang dibentuk.

Maka korelasi kritis terkait benang kusut pergerakan sosial politik massa aksi dengan hasil putusan MK yang ditolak bukan berdiri sendiri, melainkan ada epistemologi politik pada relasi-relasi  ideologis dan dari relasi itulah muncul relasi-relasi kepentingan yang lebih komplementer.

Guna menjangkau jelajah pemikiran kita, perlunya secara sederhana mengupas sosiologi politik dari kedua relasi tersebut yang berkaitan dengan massa aksi dan putusan Mahkamah Konstitusi.

Fakta adanya Massa Aksi yang memiliki jejaring sosial politik, ekonomi dan tradisi budaya tertentu demikian pula Putusan MK sebagai representasi dari logosentrisme kekuasaan telah membangun hubungan interaktif kritis sebagai kesepakatan yang ditolak dengan multi dimensi pengabaiannya.

Tentu penolakan itu sebagai bagian dari pernyataan pilihan rakyat yang tentunya secara genealogis telah terformat antara masa lalu sebagai teks informatif dengan konteks penolakan sebagai bentuk penafsiran pragmatis. Selanjutnya sebaliknya, hal hal yang diputuskan dan dianggap sebuah "kecurangan" atas hasil hasil Pemilu dalam Putusan MK adalah tetap berkaitan dengan relasi relasi sebuah kekuasaan MK yang dibentuk dalam struktur yang terorganisir sebagai lembaga publik resmi dibawah Pemerintah Republik Indonesia yang juga berada dalam kendali Rezim Jokowi. Dalam peristiwa Pilpres 2019 ini eksistensi UU Politik tidak mengharuskan pemberhentian bagi Presiden yang menjadi Capres. Tentu mengalami disparitas indepedensi kedaulatan masing masing pasangan calon.

MENGGENGGAM RELASI POLITIK

Sebagai langkah intelektual untuk mengurai secara filosofis terhadap sosial politik masyarakat yang menolak hasil hasil Putusan MK pada Pilpres 2019 memerlukan ontologi fakta, epistemologi opini dan sosiologi praksis yang memberikan sebab akibat pada ruang publik sehingga menjadi ideologi dan budaya, pengjetahuan dan tradisi, "agama politik" dan "sunnah politik" diperlukan penguraian relasi relasi ideologi dan kepentingan.

DALAM PERSPEKTIF IDEOLOGI

Pergerakan massa aksi yang menolak hasil Putusan MK memiliki beberapa karakteristik statis klasik dan mutakhir.

Relasi statis klasik meliputi prediksi prediksi yang sudah dibangun sejak Rezim Jokowi periode awal tahun 2014 yaitu kekhawatiran terhadap bangkitnya komunis gaya baru. Contoh beberapa daerah yang menolak munculnya pemutaran Film yang ditafsirkan adanya analisa politik bahwa beberapa Film Jagal, Senyap, Konflik Agraria dan lainnya telah dianggap "mendukung" perjuangan laten PKI, serta adanya penafsiran seakan akan TNI dan Pemuda Pancasila sebagai komunitas laten  yang disalahkan. Perspektif ini menurut saya "harus dibedakan" antara PKI Madiun 1948 dengan PKI Jakarta 1965. Tentu prediksi elit rezimOrde Baru dan Orde Lama yang memiliki relasi ideologi untuk saling mempertahankan justifikasi serta pledoi hukum dan fakta dilapangan yang memiliki determinan sejarah dengan mengalami differencial perspectif.

Sedangkan ketakutan pada relasi mutakhir adalah kedekatan konglomerasi Taipan dan Republik Rakyat Cina yang menjalin hubungan bilateral dengan Republik Indonesia secara resmi pada bidang pendidikan , kebudayaan dan ekonomi industri. Contoh Proyek Pembangunan Meikarta dan Pantai Kepulauan Seribu, Nikel di Morowali dan  Halmahera yang mana dianggap sebagai proyek "cinanisasi" sekaligus Perumahan Jonggol yang konon lebih didominasi non pribumi.

Dalam masa klasik, ideologi yang dibela berhubungan erat dengan relasi traumatik sejarah. Tentu tahun 1948 amat berbeda dengan tahun 1965. Peristiwa pendirian Negara Soviet Madiun serta pernik pernik peperangan PKI dengan penghuni dan warga sekitar Pondok Pesantren Salafiyah Sabilal Mutaqin, Takeran, Magetan dan peperangan agraria dengan Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor, Ponorogo keduanya di Jawa Timur, Indonesia sangat diferensial dengan kasus PKI dan "penilaian sejarah" yang multi interpretasi dan hermenutika kritis pada tahun 1965 yang ditandai dengan kata kunci "sumber reduksi sejarah" yang berkonotasi mengalami wawasan pelemahan bahkan pseudo-analitik. Pemandangan tersebut juga singgah di lingkungan Pesantren Salafiyah Al Fatah, Temboro, Magetan.

PERSPEKTIF KEPENTINGAN 

Dalam kajian postmodernis, Michel Foucault memberikan gambaran sederhana bahwa kepentingan yang disembunyikan melalui etika religiusitas, tradisi dan etni-spiritual serta etni-ecological kesemuanya menurut Foucault tetap bermuara pada terbentuknya klan klan penyubur berdirinya sebuah kekuasaan.

Sedangkan kekuasaan apapun, baik di kancah politik, hegemoni produksi ekonomi, penata stabilitas keamanan dan pertahanan apapun tidak bisa mengecilkan bahkan membuang jauh dari ontologi, epistemologi dan aksiologi relasi kemasyarakatan yang plural.Kajian inilah bila kembali pada Teori Foucault perlunya membangun etika berfikir arkeologis terhadap pengetahuan apapun. Sesungguhnya bangunan kepentingan yang ada bisa dipertemukan dengan berbagai potensi dan peluang.

Realitas massa aksi menginginkan sebuah perubahan rezim, tahun 2014 hingga 2019 dianggap ada hal hal yang berbahaya bagi kearifan lokal seperti traumatik KGB yang bangkit dan Cinanisasi Tanah Air Republik Indonesia.

KEKUASAAN DAN MK

Manakala massa aksi diterminologikan sebagai kekuasaan, tentu obyektifikasinya dilahirkan dari subyektifikasi relasi yang juga memiliki kurun waktu jangka lama, menengah dan pendek. Disini penguraian atas pengaruh gerakan gerkaan ekstrem kanan dan ekstrem kiri dalam konteks berseberangan terhadap ideologi NKRI yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI serta penolakan atas segala putusan MK telah diperkuat adanya beberapa relasi gerakan ekstrem kiri yang didominasi sosialis-demokrat dan komunis gaya baru serta ekstrem kanan melalui gerakan keagamaan seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Salafy Takfiri (ST); sedangkan yang kritis tetapi tidak mempersoalkan ideologi negara yaitu FPI dan Ikhwanul Muslimin (IM), konon madzab IM dikembangkan melalui PKS (Partai Keadilan Sejahtera)

Pada potret lainnya, perkembangan mutakhir yang mana Jama'ah Tabligh (JT) secara populis global dunia sangat dikenal sebagai gerakan keagamaan yang anti politik praktis ternyata mirip kejadian di Pakistan Tahun 1995 yaitu JT ikut kudeta Pemerintahan.

Sedangkan peristiwa relasi dan kekuasaan yang terjadi pada Pilpres 2019 di Indonesia, JT ikut Politik Pilpres pada Rabu 31 Februari 2018 dengan mendukung Prabowo Subianto di Ponpes Al Fatah Temboro Magetan Jawa Timur melalui Gus Ubed sedangkan Gus Fatah berseberangan.

Akan tetapi, keberadaan Jama'ah Tabligh sedunia sampai tulisan ini disusun, pecah jadi dua yaitu Jama'ah Tabligh Maulana Sa'ad (JT MS), yang mengakui gerakannya berdasarkan keamiran Maulana Sa'ad di India serta  mendukung Prabowo di Indonesia.

Sedangkan Jamaah Tabligh Syuro Alami (JT SA) berdasarkan Musyawarah Perwakilan Dunia dan ber-Amir pada Imam Mahdi AS yang akan dibaiat oleh Alloh SWT di depan Ka'bah pada hari akhur menjelang Kiamat dan datangnya Dajjal Laknatulloh serta turunnya Nabi Isa AS. Keduanya mengakui bahwa Maulana Ilyas Kandahlawi adalah Pendirinya.

Adapun Jama'ah Tabligh SA dan Salafy Ilmi berlepas dari hiruk pikuknya politik kekuasaan dan relasi politik. Karena memiliki keyakinan bahwa hanya Imam Mahdi AS yang akan mengakhiri semua konflik horisontal dan vertikal di seluruh dunia.

Secara analisa futuristik bagi trans-ideologi global, berikut pada studi sosial politik Islam dan globalisme mutakhir, Jama'ah Tabligh menempati peringkat sangat penting bagi masa depan revitalisasi kebangkitan Islam Posmodernis dan Posstrukturalis hingga Poskolonialis.

Syahdan, MK yang dimaknai sebagai Kekuasaan tentu terlahir dari relasi relasi status quo dan hegemoni kekuasaan yang tidak berimbang dengan tetap memimpinnya Presiden RI Jokowi sedangkan Prabowo Subianto hanya sebagai warga biasa.

Tentu Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengelola dan penyelesai putusan semua sengketa berkaitan dengan legislatif dan pemilihan kepala daerah dan Presiden memiliki otoritas hukum dan menjadi penentu kebijakan tertinggi.

Eforia penolakan yang dilakukan oleh massa aksi sangat dipengaruhi oleh relasi relasi sebelumnya. Tentu memerlukan upaya sungguh sungguh-sungguh bagaimana mampu menghadirkan sebuah ontologi putusan yang berkeadilan dan menghasilkan putusan yang secara kemanusiaan lebih tinggi dan berpihak pada netralitas.

EPILOG

Sesungguhnya relasi dan kekuasaan yang dibangun oleh Massa Aksi dan Putusan Mahkamah Konstitusi sangat ditentukan oleh kesadaran untuk menyatakan bahwa pentas politik adalah representasi dari Kawan dan Lawan. Teori ini sebagaimana diutarakan oleh Sosiolog Modern yaitu Carl Schmitt yang tertuang dalam bukunya derr Bigriff Des Politischen yang merupakan pendukung Teori Politik Aristoteles mengenai Politik Kebajikan. 

Menutup penguraian benang kusut Relasi dan Kekuasaan pada Massa Aksi yang terdiri dari massa Relawan Prabowo Sandi, Parpol pengusung, parpol pendukung dan Ormas, LSM, yang kesemuanya terlibat dalam pemenangan Prabowo Sandi adalah sebuah benang benang sosial politik yang masih memerlukan studi kritis dengan tetap menempatkan hasil Putusan MK sebagai kesetaraan.

Perspektif demikian diperlukan sebagai metodologi kritis yang didesain guna menemukan sebuah solusi terbaik bagi upaya menjaga solidaritas sesama warga bangsa agar bumi NKRI tidak berkecamuk konflik berkepanjangan seperti di Timur Tengah dan negara negara Komunis atas hegemoni politik sekuler ekstrem di Barat dan kemungkinan atas proyek kontinuitas dari Zionisme Internasional yang bisa menghinggap ke konglomerasi Arab, Cina dan Amerika sendiri.

SOLUSI 

Berbagai konflik yang berkepanjangan dibeberapa negara yang berfaham demokrasi seperti Timur Tengah, tidak seperti di Indonesia yang memiliki "demokrasi terpimpin" yaitu Demokrasi Pancasila.

Dalam tafsiran Pancasila secara mencerahkan mengandung beberapa pesan pesan universal yang menjadi kepribadian bangsa Indonesia dan sesuai dengan doktrin peradaban yang dihadirkan melalui falsafah Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pancasila sebagai common paltform ke-Indonesiaan memiliki dogma budaya dan tradisi yang secara sosiologis memberikan pengaturan pada tata pergaulan bangsa Indonesia yang bermental gotong royong atau kerjasama, ko-operasi yang mana pengertian pragamatis daripada ideologi Demokrasi Pancasila adalah sebuah perjuangan politik yang terpimpin oleh pranata, nilai norma dan budaya yang berkhas ke-Indonesiaan.

Dalam studi saya, Demokrasi Pancasila ini merupakan bagian dari solusi mengatasi konflik horisontal dan vertikal terhadap entitas dan disparitas relasi maupun kekuasaan massa aksi serta pelaksanaan hasil Putusan MK tersebut menjadi legitimasi kedaulatan NKRI dalam membangun stabilitas keamanan dan ketertiban serta keselamatan warga bangsa dari terorisme politik, kekerasan primordial dan intervensi-infiltrasi kekuatan neo-imperialisme dan neo-kolonialisme melalui pelaksanaan 5 sila dalam spirit pergerakan Demokrasi Pancasila. 

Meyakinkan pada kajian sosiologi politik kritis, bahwasannya Sila ke 4 dari Demokrasi Pancasila merupakan makna dari pelaksanaan Teori Politik Persahabatan yang mengecam keras terhadap Carl Schmitt yang mempolitisasi kawan dan lawan dalam dinamika kelompok kelompok politik relasi dan politik kekuasaan.

Buku The Politic of Freindship karya Jacques Derride yang juga penganut Neo-Marxian telah mematahkan Carl Schmitt yang berpendapat bahwa dalam kuasa Kawan itu ada persahabatan dengan Lawan dan dalam Kuasa Lawan itu juga ada persahabatan kawan. 

Artinya antara Kawan dan Lawan itu ada relasi ideologi dan relasi kepentingan yang masih bisa dikomunikasikan dalam struktur dan pengaturan tujuan yang teratur dan saling diperlukan. Sedangkan kekuasaan keduanya juga tidak semua berbenturan oleh hal hal yang pragmatis dan meninggalkan hal-hal yang ideologis.

Menurut saya, Teori Politik Persahabatan adalah Demokrasi Pancasila sebagai terapannya. Sehingga polemik yang berkepanjangan ini bisa diurai dan diminimalisir denngan mengedapankan sikap kepemimpinan yang moderat, menyetarakan kebersamaan dan mengurangi egoisme ideologi dan kepentingan pada setiap pergulatan dan perjuangan di lapangan.

Hal yang paling mendasar untuk dikaji ialah, mengapa sikap moderat, mengambil keputusan ditengah bahkan telah dimiliki dalam pameo Falsafah Jawa yaitu "ngono yo ngono ning ajo ngono" ternyata sebuah kesepakatan politik yang memiliki akar sosiologis sangat berkemanusiaan, memiliki sumber tradisi, pengetahuan religiusitas dan sesuai dengan iklim ketimuran yang menjadi kepribadian bangsa Indonesia.

Islam yang telah dianut oleh mayoritas warga NKRI pun diberikan dogma secara normatif oleh Allah SWT dalam Al Qur'an dalam Teori Surat Fushilat 34 yang mana untuk melakukan civitas perjuangan terhadap keperbedaan pilihan adalah tidak selamanya bermusuhan dan saling menjatuhkan hingga saling membunuh tetapi justru berteman akrab seakan akan sebagai sahabat yang setia. 

Hal tersebut jelas dalam Al Qur'an yang melarang saling mengolok olok, sebab siapa tahu yang di olok olok itu lebih baik daripada yang mengolok olok, begitu juga untuk menjauhi prasangka sebagai sedusta dusta ucapan. Sehingga ajaran Demokrasi Pancasila sangat sesuai dengan falsafah kehidupan yang diajarkan dalam Al Qur'an.

Beberapa ajaran suci juga adanya kesamaan persepsi dan penuturan normatifnya, sehingga Demokrasi Pancasila merupakan instrumen dan lokomotor berjalannya kehidupan masyarakat yang memiliki civil society secara egalitarian guna membangun Masyarakat Kota Yang Utama (Al Madinah Al Fadhilah) sebagaiman diekspos Sosiolog Muslim Al Farabi. Tentu komitmen ini harus bertumpu pada Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Mangrva yang sangat sesuai dengan pasal pasal dalam Sosiologi Politik yang dibangun oleh Rasul Muhammad SAW di Madinah dengan Piagam Madinah.

Piagam Madinah sebagai platform Tata Kehidupan Inklusif tanpa membedakan stratifikasi sosial budaya dan ekonomi dengan kesetaraan yang berbasis teistik. Sebuah pergaulan masyarakat yang Berketuhanan Yang Maha Esa dengan menjung tinggi nilai nilai keadilan, kemanusiaan dan keadaban. Tidak saling membunuh, mengfitnah dan merugikan tetapi dalam unitas kehidupan yang plural dengan menghargai satu sama lain dalam semangat kehanifan dan kebeningan hati serta kebersamaan yang tulus ikhlas. 

Piagam Madinah berlaku untuk berkasih sayang pada sesama pemegang nilai nilai moral universal dan bersikeras pada yang membangkangnya. Seperti termaktub dalam Taurat dan Injil serta Al Qur'an. Sehingga sosok Rasul Muhammad SAW adalah pelaksana demokrasi politik etis, politik egaliter, politik kosmopolitan politik inklusif dan politik Pancasila dalam aktualisasi kekinian.

Terang benderang, Demokrasi Pancasila adalah bagian dari Piagam Madinah dan bukan Demokrasi Sekuleris, Liberalis, Fasis hingga Komunis.

HARAPAN DAN REKOMENDASI

Semoga Indonesia di masa mendatang akhirnya memiliki produk hukum yang mengembalikan UUD 1945 yang asli bukan amandemen, adapun kekurangan dan kelemahannya bisa disempurnakan melalui reproduksi UU, PP, Kepres Kepmen dan lain lain; agar NKRI tidak bergolak dan menimbulkan fermentasi politik aktual untuk mencoba terus merombak UUD 1945 bahkan bisa mengubah lambang bendera, semboyan hingga ideologi negara yang bisa memperkuat konflik internal Negara.

Mengapa demikian, sebab persimpangan ideologi ideologi ekstrem kiri dan kanan pun menunggu terjadi dehumanisasi politik dan menurunnya (degradasi sistemik) terhadap integritas serta kredibilitas sosial politik kebangsaan.

Fakta relasi dan kekuasaan di pasca Putusan MK pada Pilpres 2019 juga menyadarkan beberapa Quo Vadis bagi kita semua menyangkut : masih pentingkah Partai Agama melihat dampak kemunculan bisa melemahkan eksistensi ideologi kebangsaan? 

Pertanyaan lainnya adalah berbahayakah jumlah Calon Presiden hanya dua terhadap kemungkinan konflik berkepanjangan? 

Terakhir adalah ada hal penting yang perlu diatur dalam UU Politik adalah memperpanjang masa kampanye tiga tahun sebelum pemilihan dan menambah masa kekuasaan menjadi 8 tahun dengan pengurangan jumlah parpol serta dihapusnya pemilihan langsung yang beresiko konflik horisontal dan vertikal yang meluas hingga pemilihan bersifat tertutup meluas. Yaitu tetap melalui DPR dan MPR RI dengan menambah utusan Ormas dan OKP serta LSM yang memiliki kepengurusan secara nasional terdaftar di Badan Hukum dan terakhir adalah mengembalikan Presiden RI sebagai mandataris MPR RI, sebab klausalitas pada politik pada sila ke-4 menghendaki Permusyawaratan / Perwakilan bukan langsung.

Menyadari bahwa sebenarnya apa yang telah digagas oleh para Founding Fathers dari berdirinya Indonesia ini telah memiliki jangkauan yang up to date bagi representasi pergolakan dan pertentangan zaman mutakhir.

MOTIVASI MENULIS

Sesungguhnya judul Relasi dan Kekuasaan menjadi penajam judul penguraian terhadap benang kusut sosiologi politik Pilpres 2019 ini adalah sebuah rekomendasi berharga dari Dosen Metodologi Penelitian Sosial Prof DR Ir Jabal Tarik Ibrahim. Mengapa demikian, agar cara pembahasan kita tidak melebar dan hilangnya fokus kajian. Maka saya pertajam dari Teori Posmodernis nya Sosiolog Michel Foucault mengenai Teori Relasi dan Kekuasaan.

Dalam pada itu untuk menjadikan tulisan ini tampil pada link : www.kompasiana.com berdasarkan pesan mulia dari DR Wahyudi dan DR Vina Salviana DS sebagai Dosen Teori-Teori Sosial. Guna menerapkan keilmuan yang saya dapat agar bisa dinikmati publik dan memberikan pencerahan bagi futuritas dinamika sosiologi politik ke-Indonesiaan di masa masa mendatang yang makin komplementer.

Maka dari itu, saya bedah dengan Sosiolog Edward W Said terkait Teori Oreintalisme-Oksidentalisme-nya dan Solusinya melalui Teori Persahabatan Politik karya Jacques Derride yang keduanya hidup di zaman Postmodernis, Posstrukturalis dan Postkolonialis.

Sesuatu yang sangat berharga pada pemikiran Prof. DR Ishomuddin, selaku Dosen Agama Islam dan Kemuhammadiyahan,  yang telah mempertajam  beberapa inspirasi terhadap kajian kajian kontemporer mengenai gerakan gerakan Islam global, memperkuat daya berfikir saya untuk menitik beratkan pada rencana Riset Disertasi mendatang adalah menyangkut beberapa dampak pergerakan sosial keagamaan yang sangat dominan mempengaruhi psikologi, antropologi dan sosiologi politik terutama menyangkut Sosial Politik Indonesia di masa mendatang.

والله اعلم بالصواب

Malang, 12 Desember 2019

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun