Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

BBM (Bau Badan dan Mulut)

22 Maret 2012   09:02 Diperbarui: 4 April 2017   17:53 1970 3

Ada satu perkara di mana kita tak mungkin mengharapkan seseorang untuk melakukan mawas diri atau introspeksi yaitu menyangkut bau badan (body odour) dan bau mulut (bad breath). Pasalnya, fakta menunjukkan bahwa seseorang tak mungkin mendeteksi bau badan dan bau mulutnya sendiri. Hanyalah orang lain yang kebetulan berada di dekatnya yang mencium ‘bau semerbak’ ini, namun repotnya etika sopan santun pergaulan ‘melarang’ seseorang untuk menyampaikan kepada yang bersangkutan bahwa badannya bau atau mulutnya bau. Kalau dipikir-pikir sungguh tak masuk di akal, kita yang berada di dekatnya hampir pingsan dan mau muntah, sementara si empunya bau badan tenang-tenang saja tak mendeteksi bau itu.

Dari kajian medis ternyata hidung sebagai pengindra bau mampu untuk beradaptasi memilah-milah mana bau yang perlu dilacak dan mana yang diabaikan. Dalam hal bau badan dan bau mulut milik diri sendiri, mekanisme tubuh membuat seseorang ‘kebal penciuman’. Mekanisme serupa terjadi mereka yang pekerjaannya sebagai tukang sampah dan setiap hari bergelut dengan tumpukan sampah. Mereka akan santai-santai saja berada di dekat gundukan sampah, padahal kita yang baru berada di situ tiga menit sudah megap-megap menahan napas saking baunya.

Analogi yang sama terjadi pada pekerja di pabrik pengolahan karet yang berderet di pinggir sungai Musi, Palembang. Bau karet mentah (yang dinamakan balm di sini) sangat busuk dan dapat menyebar sampai berkilometer jauhnya. Namun toh para pekerja pabrik karet ini sudah tak merasakan lagi bau yang memuakkan itu. Saya juga teringat pada seorang kenalan yang mempunyai pabrik penyamakan kulit untuk bahan dasar pembuatan sepatu, tas dan lainnya. Mereka yang berkunjung ke gudang kulit olahan (leather) ini, selalu merasa heran, bagaimana mungkin pekerja gudang ini sanggup bertahan menghirup udara yang busuk ini setiap harinya.

Atas dasar inilah permasalahan bau badan alias body odour menjadi sangat dilematis. Mau membau diri sendiri tak mungkin, minta pendapat orang lain pasti akan mendapat jawaban ‘asal bapak senang’ (‘Nggak, bapak tidak punya bau badan’). Bau badan ini sebagian besar disumbang oleh keringat yang dikeluarkan khususnya di wilayah ketiak dan selangkangan. Sesungguhnya air peluh itu sendiri tak berbau. Namun kandungan protein dan lemak yang terdapat pada keringat ini merupakan ‘makanan empuk’ bagi bakteri yang berkembang-biak di permukaan kulit. Hasil pencernaan bakteri berupa asam lemak aromatis inilah yang menghasilkan bau yang tak sedap. Bau badan juga dipicu oleh beberapa penyakit yang mengakibatkan berkeringat secara berlebihan (excessive sweating) seperti penyakit thyroid dan gejala kanker. Keringat berlebihan juga terjadi pada orang yang sedang minum obat anti-depresi, sehingga pada gilirannya juga menimbulkan bau badan.

Jenis makanan yang dikonsumsi seseorang juga mempengaruhi bau badannya. Makanan yang banyak mengandung bawang putih (garlic), aneka rempah-rempah (spice) dan daging merah (red meat) yang banyak dibubuhkan pada ’kare’ (curry) juga mempunyai andil besar menimbulkan bau badan. Bau badan tak ada korelasinya dengan ras seseorang, sehingga sangat bias dan rasis kalau kita mengatakan orang Asia Timur memiliki ’body odour’. Bau badan ini lebih dipengaruhi oleh kebiasaan mandi, pemakaian deodoran dan anti-perspirant, dan pakaian yang dikenakan. Di negara yang memiliki musim dingin (winter) orang sering tidak mandi sampai berhari-hari, demikian juga pakaian khususnya pakaian dalam harus diganti setiap hari dan busana sehari-hari sebaiknya dipilih dari serat alami seperti katun (dari kapas), wol atau sutera, sehingga kulit dapat ’bernapas’ dengan bebas dan peluh cepat menguap.

Bagaimana pula dengan bau mulut yang sering juga dinamakan dengan ’halitosis’? Bermacam upaya dipakai orang untuk mengecek apakah dirinya mempunyai ’mulut bau’. Mulai dengan cara dengan menghembuskan angin dari mulut ke dalam tangan yang ditangkupkan lalu menciumnya (hand-cupping method), menjilat pergelangan tangan lalu menciumnya (wrist method), atau menyaput permukaan lidah dengan cotton bud kemudian menciumnya (tongue swab method). Semua metode di atas tidak seratus persen dapat diandalkan untuk mendeteksi adanya bau mulut. Jadi kiat terbaik adalah menanyakan kepada orang terdekat kita (anggota keluarga) untuk berkata dengan jujur apakah kita mempunyai bau mulut.

Halitosis juga terjadi karena banyak faktor, antara lain sisa makanan yang membusuk pada celah-celah gigi (jarang menyikat gigi), peradangan pada gusi, pada tenggorok (pharyngitis dan tonsillitis), infeksi pada saluran pernafasan dan pada sinus (sinusitis), jenis makanan yang mengeluarkan bau yang tajam seperti bawang bombai (onion), bawang putih (garlic), keju, ikan, kopi. Setelah jenis makanan ini dicerna dalam usus, maka ia akan diserap dalam aliran darah masuk ke paru-paru. Bau yang busuk ini akan keluar dari mulut pada waktu orang tersebut bernapas. Mulut kering (xerostomia) yang ditandai dengan berkurangnya produksi air liur yang berfungsi membilas zat yang berbau busuk juga menjadi salah satu penyebab ’halitosis’ ini. Mulut kering ini antara lain dijumpai pada penderita Sjogren’s syndrome dan juga pada waktu bangun pagi atau pada saat berpuasa.

Lantas bagaimana pengalaman saya sebagai dokter gigi yang setiap hari menghadapi ’abab’ (uap dari mulut) para pasien? Saya pikir mungkin hidung saya juga mengalami aklimatisasi alias kebal terhadap bau mulut. Soalnya, sepanjang masa profesi sebagai dokter gigi, hanya satu kali saya mengalami diterpa bau mulut yang ’luar binasa’ busuknya. Tapi ’prestasi’ ini belum seberapa, kalau saya bandingkan dengan kolega dokter yang melakukan otopsi terhadap mayat yang sudah membusuk. Bau busuk ini akan melekat berjam-jam lamanya di hidung bahkan setelah kita mencuci tangan dan mandi berulang kali.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun