Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Jokowi-Ahok : Apa itu Bersih, Transparan dan Profesional

20 Februari 2014   19:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:38 959 9
Duo Gubernur dan Wakilnya Jokowi Ahok ini gemar benar menggelembungkan APBD DKI dengan menggenjot pajak, mulai dari 50 triliun mau jadi 75 triliun, lalu 100 triliun, kini sudah bicara 135 triliun. Maklum, perekonomian Jakarta yang pesat dan daya beli yang makin kuat mendukung. Berlainan dengan masa Sutiyoso dan masa awal Foke yang sulit dan miskin sehingga harus meminjam, menerbitkan obligasi dan lain-lain, Pemprov periode ini punya dana berlimpah untuk dibelanjakan.

Belum lagi bicara CSR yang katanya berlimpah. Ya, berlimpah, karena Ahok akui sendiri tidak memungkiri pemberian CSR itu quid pro quo yaitu Pengusaha minta diperlancar usahanya dengan mempermudah izin usaha dan pendirian bangunan. Mengizinkan pengembang untuk memperkosa pantura Jakarta dan menyumbat muara sungai dan Banjir Kanal Barat dengan pulau-pulau buatan tentunya menghasilkan CSR yang super moncer!

Herannya, dengan CSR sebesar itu tetap saja rakyat DKI yang sudah memenuhi target pajak Jokowi Ahok masih hidup dalam nestapa. Setelah tahun 2013 siklus banjir 5 tahunan terulang dalam setahun, kini di bulan Januari 2014 dan dua minggu pertama Februari 2014 terjadi banjir beruntun 6x. Setelah 1,5 tahun ribut bahwa obat banjir adalah Waduk Pluit, baru disadari masalahnya ada di hulu. Ternyata Jokowi Ahok tak pernah berkoordinasi dengan walikota tetangga soal aliran sungai. Normalisasi Waduk Pluit ternyata hanya 20%, dan itupun akhir November 2013 sudah terhenti. Normalisasi sungai katanya terus dilakukan, tapi sungai yang mana...? Mengapa hasilnya tidak ada...?

Herannya, apabila DPRD telat mengesahkan APBD 1-2 bulan, Jokowi-Ahok selalu memblow-up ke media massa. Sementara mereka punya waktu setahun untuk bekerja untuk merealisasikan APBD itu tapi sedikit sekali yang dilakukan, sampai pertengahan Desember 2013 realisasi hanya 60%an, sehingga dikebut supaya bisa 80% dengan shopping-shopping yang hasilnya mulai terlihat saat ini. Kalau dikritik, alasannya selalu klise yaitu 'kami baru setahun, satu setengah tahun', 'ya tidak bisa cepat-cepat'...!

Yang lebih lucu lagi adalah soal pembelian busway dan bus wisata yang menghasilkan barang rongsokan dari China. Istri GTS saja lebih pinter belanjanya, DVD dan rice cooker buatan China di rumah sudah 5 tahun belum rusak-rusak juga, kok bus seharga Rp 3,7 miliar sudah mogok dalam sebulan...?

Perlu dipertanyakan bagaimana sih prosedur administrasi, proses realisasi pembelian barang dan proyek di balai kota...? Logikanya kalau pembelian barang, penunjukan vendor dan penekenan kontrak senilai puluhan sampai ratusan miliar, apakah cukup si Kadis yang tahu? Gubernur dan Wakil Gubernur tak pernah dilapori, ditanyai, ikut neken kontrak, ikut neken persetujuan pembayaran...? Kita bicara bukan 1-2 rim HVS, tapi bus seharga Rp 3,7 miliar per unit, yang pemesanannya ke si China, Zhongtong, Ankai, Weichai dst sampai ribuan unit yang nilainya triliunan Rupiah...?

Kok bisa ada atasan yang ajaib seperti Ahok, yang cukup ngomong 'saya suruh beli bis berkualitas, belinya yang jelek. Saya suruh beli Mercedez Benz, belinya China'. Ahok sedang menyuruh istrinya belanja sayur hari ini atau sebagai Wagub mensupervisi Kadis anak buahnya..? Instruksinya apakah dituangkan di atas kertas atau hanya ngomong saja tanpa hitam di atas putih...? Setelah instruksi diberikan apa dilakukan review, kontrol...? Saat kontrak dibikin apakah dilapori, apakah tidak perlu ikut neken...? Kok diam saja tak ada masalah, bahkan sampai saat bus China itu sudah datang dan diresmikan. Baru setelah knalpot bus itu meledakkan asap hitam, tiba-tiba menyalahkan Kadis...? Apanya yang 'Bersih, Transparan dan Profesional' di sini...?

Sampai hari ini Ahok masih berperilaku seperti tamu di balai kota, berkomentar seperti pengamat dan politikus, bukan bagian dari pemerintahan. Komunikasi dan marah-marah kepada anak buahnya bukan di ruang rapat internal, tapi diumbar ke media massa. Tentunya beliau ini pernah belajar manajamen kan, jadi mengerti : POAC (Planning, Organizing, Actuating, Controlling). Nah, pembelian barang dan realisasi proyek itu sudah diplan kan di APBD, sudah diorganisir ke masing2 Kadis untuk dijalankan, si Kadis sudah jalankan. Masalahnya, P-O-A di atas sudah berisi instruksi Ahok hitam di atas putih belum, sudah diparaf dan diperiksa Ahok belum sebagai bukti C alias CONTROL...?

Apabila si Ahok ini anak buah pengusaha seperti JK, CT, HT atau ARB, dengan cara kerja dagelan seperti ini pasti sudah lama diPHK. Tapi atasannya Mendagri juga sudah malas komentari dia atau alamat dimaki-maki seperti Marzuki Alie oleh penggemarnya yang sudah tidak punya pikiran logis lagi.

Tahun 2014 ini APBD DKI ditargetkan Rp 70 triliun. Dari mana lagi kalau bukan memeras pajak rakyat DKI. Dengan NJOP yang dinaikkan, PBB pasti naik banyak. Subsidi silang yang dibuat Foke untuk masyarakat lemah dengan NJOP rendah kini terhapus oleh kenaikan NJOP sampai 200% yang dibuat Ahok. Pajak reklame naik, memanfaatkan tahun Pemilu dimana caleg dan capres perlu pasang billboard. Pajak hiburan dan restoran naik. Pajak progresif untuk kendaraan digenjot. Jalanpun mau dipajakin dengan ERP apabila berhasil. Tak henti-hentinya ditambahkan seperti seperti tengkulak menghitung rente.

Tapi bagaimana kalau hasil pajak itu dibelanjakan dengan cara sembrono begini, beli barang rongsokan lalu bilang ngga tahu dan salahkan bawahan. Realisasi proyek pada mangkrak menghasilkan SILPA yang besar untuk gedein APBD tahun berikutnya. 76 waduk dan situ seluas 700 ha yang sudah ada di Jakarta bukannya dinormalisasi dan dibenahi dulu, malah sibuk mau bikin waduk di wilayah orang lain. Bikin ide beli ruko lalu dijadikan baskom, ide yang barusan dilontarkan lalu dianulir lagi.

Bagaimana pertanggung-jawabannya terhadap rakyat pembayar pajak ? Mana yang disebut : Bersih, Transparan dan Profesional...?

GTS69

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun