Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

[KCV] Dialektika Kita

14 Februari 2012   00:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:41 176 0

Lily

Hai fenolftalein-ku ...

Kamu tahu kenapa aku suka dengan sebutan itu? Itu karena, kamu selalu mewarnai hari-hariku. Warna yang memberi tanda bahwa aku sedang merasakan indahnya jatuh cinta. Setiap derai air hujan yang menetes hari ini, aku selipkan secercah rasa rindu untukmu. Aku selalu merasakan rindu yang begitu hebat, seolah hatiku membeku dibuatnya. Namun begitu aku bertemu denganmu, hati ini tidak lagi membeku. Kamu tahu? kamu bagai heparin untukku.

Kebahagiaanku semakin sempurna ketika kamu hadir mengisi ruang yang tak lagi hampa. Kini, anganku kian nyata ketika Tuhan menghadirkanmu untukku. Aku rasa, kita bagaikan titrasi kompleksometri, walaupun reaksinya cukup kompleks tapi pada akhirnya memberikan warna yang begitu indah seperti indahnya sebuah kasih sayang. Warna yang begitu jernih dan lembut. Ya, itu dapat menggambarkan rasa sayangku padamu. Rindu ini telah banyak mengendap. Tolong, jangan biarkan lebih lama mengendap. Aku takut waktu akan menggerogoti dan membuatnya lenyap. Temuilah aku ...

Semoga jarak antara kita dapat lebih kecil dari sebuah atom. Hukum kekekalan massa menjelaskan bahwa materi tidak dapat dimusnahkan, hanya dapat berubah bentuk. Aku harap cintaku padamu seperti materi yang perlahan berubah bentuk menjadi kasih sayang. Anggun dan nyaman.

Aku tidak pernah meminta seseorang yang sempurna, tapi aku meminta seseorang tidak sempurna. Sehingga aku bisa membuatmu sempurna di mata yang lain.

Fenolftalein-ku … kita bagaikan larutan kimia yang saling melengkapi walaupun rasa milikmu masih nampak samar bagiku. Tak apa … perlahan saja, karena tidak setiap percampuran kimia menimbulkan reaksi secara langsung. Aku tidak ingin terburu-buru, Einstein pun membutuhkan seribu kali percobaan sampai menemukan rumus E=MC2.Begitu pun dengan aku, aku akan menunggu sampai larutan kita saling menimbulkan reaksi.

Kuharap surat ini dapat sampai seperti sampainya tetesan hujan pada tanah. Betapa aku selalu merindu seperti dedaunan yang menari lincah tertiup angin sepoi bahkan bidadari ikut bernyanyi tentang kerinduan, diiringi kerlip bintang yang tiada henti melantunkan syair cinta.

Mawar

Aah, sekali lagi .. Entah surat ke berapa yang sedang ku tulis kali ini. Tapi aku merasa harus menulis untukmu, untuk kita, dan Lily. Memendam rasa itu membuatku demikian kalut. Aku tidak pernah ingin memiliki atau berharap rasa itu datang. Namun aku pun menyayangi Lily, melampaui rasa sayang kakak kepada adiknya. Tidakkah kamu tahu? Aku pun tertatih menyimpan rasa yang tak kunjung terjawab.

Kamu tahu … tidak perlu titrasi untuk menguji kuantitatif dari rasa yang tumbuh kian menjalar. Dengan sendirinya rasa itu terurai tanpa perlu larutan titran untuk menimbulkan reaksi perubahan pada tabung kimia, rasa itu berubah warna tanpa perlu berbagai larutan untuk mengubahnya. Ya, karena hakikatnya cinta seperti reaksi kimia yang senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Dinamis.

Lily, begitu memujamu setiap saat. Seolah hanya kamu yang hidup di dunia ini, tidak … dunianya. Aku sadar, betapa rasa itu terlampau berkarat dan mengerak dalam hatinya. Surya, Lily mencintaimu ! Dan parahnya aku pun menggugat jawaban atas rasaku terhadapmu. Sahabat macam apa aku … tapi hati ini terlalu egois untuk sekedar mengalah bahkan merelakan kamu untuk dimiliki Lily. Sungguh, aku akan memberikan apapun pada Lily untuk memilikimu sepenuhnya !

Aah, maafkan aku Lily … Kamu begitu lembut untukku sakiti. Kamu benar, mawar memang berduri … saking memesonanya terkadang orang lupa bahwa mawar memiliki duri tajam pada tangkainya. Seperti itulah keadaanku kini. Mawar berduri.

Aku dan Lily adalah bunga yang membutuhkan sinar matahari untuk tetap bertahan hidup. Dan sinar itu hanya ada padamu, Surya ! Kami akan tumbuh prematur tanpa sinar milikmu. Sejujurnya aku tidak ingin berbagai sinar dengan Lily, begitu pun Lily. Aku rasa dia pun tidak ingin berbagi denganku. Kami memang terbiasa berbagi dalam segala hal -apapun itu- terkecuali sinar milikmu ! Itulah alasan mengapa aku enggan tumbuh di dekatnya. Ingin segera berpindah ladang.

Salahkah aku jika rasa ini meminta jawab?! Bisakah kamu jelaskan, sedikit saja … Hingga aku mengerti dan berhenti menggugat rasamu yang kian menjalar dalam ketidakpastian …

Surya

Dua itu kehancuran, bukan menggenapkan. Tidak ubahnya alam semesta yang memiliki dua Tuhan. Meskipun bangsa Yunani memuja banyak dewa, pada mitologinya ada saja bagian histori yang cacat –bahkan hancur-. Bukan aku menghina Tuhan mereka, namun apa jadinya semesta ini jika sesama dewa saja saling menghancurkan dan … menjatuhkan.

Yaa, itu memang kehendak Tuhan. Tidak ada yang bisa menghentikan gempa dengan skala 9,0 richter jika Tuhan telah berkehendak. Begitupun dengan setiap rasa yang terurai dan mengalir dalam kehidupan manusia. Tuhan yang mendatangkan rasa itu ! Haruskah aku menggugat Tuhan untuk membuat rasa itu lenyap?!

Kedua bunga itu, terlalu cantik untukku petik atau sekedar aku pandang di jarak sejauh ini. Aroma mereka menguap ke udara sampai terpatri dalam saluran pernafasanku. Terperangkap dan enggan beranjak dalam setiap tarikan nafas. Adakah ini sebuah kesalahan?

Lily dan Mawar menggugat rasa yang sama. Aku tahu, bahasa tubuh mereka yang berbicara. Aku mampu menerka tanpa harus mendesak agar mereka mengakui. Keduanya memang menawan. Lily dengan kelembutan bak sutera emas kerajaan. Dan Mawar dengan ketegaran bak karang pantai. Mereka dua sahabat yang selalu melengkapi. Sungguh, aku menyayangi mereka … Akulah yang telah membuat keduanya terombang-ambing dalam arus ketidakpastian. Ketidakjelasan. Dan ketidakjujuran.

Memilih antara dua adalah dilema. Namun apabila satu telah beranjak pergi, bebanku akan semakin ringan untuk melangkah. Kasih sayang bukan dipilih, namun memilih ! Tentu saja, harus ada kadar kasih sayang untuk mereka. Agar keduanya tidak terlampau berangan. Aku harus memilih. Menentukan rasaku yang kian keruh.

Aah .. akulah jalan keluar dari labirin rasa yang telah menjerat mereka dalam maze tanpa papan finish. Ku tarik nafas dalam-dalam meresapi setiap detik aliran udara yang masuk melalui rongga hidungku, Aku telah memilih …

**

Lily dan Surya

“Kamu tahu? Aku lega akhirnya surat-surat itu bisa sampai pada si empu-nya” ujar Lily membuka pembicara diantara keduanya.

“Hmm ..” Surya hanya memandang lurus ke langit biru.

Lily meraih tangannya, menggenggamnya erat hingga tubuh mereka saling berhadapan.

“Rasa ini harus terjawab” ucapnya, lebih terdengar seperti bisikan. Namun pendengaran Surya masih berfungsi dengan baik. Dia mendengarnya, namun enggan berucap. Ada yang membuatnya tertahan.

Ada sepasang mata yang menangkap bayangan mereka. Mata itu tidak pernah beralih, sedetik pun. Namun lambat laun mulai di genangi air, hingga dia tak mampu lagi membendung dan membiarkannya mengalir seperti aliran sungai dari hulu ke hilir. Inilah perpisahan, batinnya.

Mawar dan Surya

Keduanya menikmati senja di langit barat. Masih enggan memberikan celotehan. Keduanya terlalu sibuk dengan pikiran mereka yang kian berkecamuk, saling mengejar. Sampai akhirnya, salah satu siluet mereka mengalah untuk memulai.

“Ini salah …” ucap Mawar lirih. Suara lantangnya ciut ketika berhadapan dengan rasa ketidakpastian.

Lama terdiam, akhirnya Surya menjawab “Tidak ada yang salah. Aku telah memilih”

“Tapi bukan ini pilihannya. Kamu keliru” Mawar masih mengelak.

“Berhentilah dalam ketidakjujuran-mu ! Berhentilah hidup berpura-pura”

“Tidak ada yang lebih baik selain seperti ini. Orang di dekatku akan merasa baik-baik saja”

“Dan membiarkan hatimu yang sakit?! Pilihan macam apa itu …”

Sosok disampingnya mendekap erat. Membiarkan tubuh tegapnya melindungi tubuh mungil miliknya seolah tidak mengizinkan waktu untuk membuatnya berlalu tanpa makna. Dia tidak mengubah posisinya, membiarkan sejenak kesadarannya tenggelam dalam kehangatan.

“Terimakasih. Aku tidak akan menggugat rasa ini.” ucap Mawar sambil melepaskan tubuhnya dari dekapan semu.

“Hati itu dipilih. Ia akan berlabuh ke tempat dimana ia bermuara” Matanya mulai terasa panas. Namun dia harus melakukan ini. Sosok dihadapannya masih mematung, menatap lekat ke bola matanya.

“Aku saja yang pergi dengan demikian langkahmu akan semakin ringan” Mawar tersenyum getir. Ada bagian hatinya yang terus mengugat, enggan melakukan apa yang diucapkannya.

“Mawar … Aku telah memilih dan jawabannya adalah kamu !” Suaranya lebih terdengar seperti geraman. Ada amarah yang tertahan disana.

“Aku menyayangi Lily dan kamu. Kedua hal itu tidak akan berubah selamanya. Pergilah … dan jangan pernah membuatnya terluka. Dia terlalu lembut ..” Kali ini ada kelegaan yang menjalar dalam hatinya.

Mawar melepaskan genggaman tangan yang sejak tadi membalutnya. Hanya tangan itu yang memberikan kehangatan. Namun dia harus melepasnya. Membiarkan tangan lain untuk memiliki sepenuhnya.

Tidak hanya genggaman tangan, rasa yang telah membuatnya setengah gila ikut dilepaskan. Ini mungkin pilihan bagi pengecut. Namun bahagia diatas luka orang yang disayangi adalah pengkhianatan.

Hidup, cinta dan kasih sayang adalah tentang pilihan. Ketiganya akan berjalan beriringan. Dia merasa lebih bebas sekarang. Waktu akan mengikis rasa yang telah berkarat. Uapnya akan segera hilang …

**

pagihari, 140212 bersama Dewi Sartika ...

sumber gambar : www.google.com

Untuk melihat karya lainnya silahkan merujuk ke akun Cinta Fiksi

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun