Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kurma

Puasa di Kampung yang Kali Ini Beda

29 April 2020   19:39 Diperbarui: 29 April 2020   19:50 377 0

Pintu utama mesjid ditutup. Gagangnya yang bulat dibungkus kertas bekas. Cahaya lampu yang agak remang menyeruak dari dalam, menembus dinding yang belum dipasangi daun jendela. Saya melongok kedalam. Beberapa jemaah tengah berselonjoran dilantai.

Lalu saya terus kearah belakang, melewati sekumpulan warga kampung yang berdiri bercengkerama di samping mesjid. Apalagi kalau bukan membahas yang bikin geger itu: corona. Sejak pandemi itu mewabah, untuk masuk ke mesjid kita memang mesti lewat pintu belakang.

Didalam mesjid, jemaah juga sedang membahas topik yang sama. Saya mendengarnya saat shalat isya sendiri disudut ruangan. Diselingi perbincangan kapan waktu jatuhnya satu ramadhan.  Petang tadi memang pemerintah sedang mengamati bulan, untuk menentukan hari pertama puasa.

Saya empat malam disana. Dikampung. Menyaksikan corona mengubah wajah ritual ramadhan tahun ini. Taraweh berjamaah memang masih dilaksanakan. Cuma nampaknya jemaah saling menjaga jarak. Tidak kayak biasanya, yang berimpitan sampai jari kelingking kaki saling bersentuhan.

Dikampung tak ada lagi buka puasa bersama. Waddi, anak muda dikampung yang hampir tiap malam main domino dan menginap dirumah kami, kini juga jarang muncul. "Kularang", kata mamaknya dalam bahasa Tae'. Kasur dikamarnya pun mengempis. Katanya itu sejak Waddi sudah tidur dirumahnya lagi.

Setidaknya itu hikmah corona. Di kota-kota, kata-kata macam "posisi", "ada perkopian kah?" atau "ngopi e" akhirnya tampak hukumnya "makruh" dikirim lewat wasap. Bukan saja karena sedang puasa. Kumpul-kumpulnya yang dilarang.

Akhirnya kita lebih banyak kumpul bersama keluarga. Saya membayangkan kalangan muda perkotaan, yang selama ini banyak menghabiskan untuk bekerja, kini menghabiskan banyak waktu bersama si kecil, berbuka puasa sama istri dirumah. Kapan saya bisa begitu yah.

Tapi ini menyisakan PR besar bagi pemerintah pusat di Jakarta sana. Akan dari kita yang kehilangan pekerjaan. Ada perusahaan-perusahaan melakukan PHK. Pedagang-pedagang kecil kehilangan omzet. Ada yang mungkin kini tanpa mata pencaharian. Banyak yang rentan.

Di tv saya lihat sembako dibagi-bagi dijalan raya. Barang satu dua hari tentu itu sedikit meringankan. Tapi itu bukan tugas presiden. Biarlah bupati yang melakukan. Tugas presiden lebih besar. Memikirkan soal bangsa pada level yang lebih makro. Bagaimana kita dan ekonomi lepas secara mulus dari jerat corona ini.

Ramadhan ini seharusnya ruang untuk mengharmonikan perbedaan. Politisi-politisi, atau para birokrat, yang selama ini bekerja untuk kepentingan partai atau kelompoknya, harus bahu-membahu merumuskan konsensus yang lebih urgen.

Misalnya Omnibus Law yang disorot banyak orang itu, yang konon bertujuan mempercepat pertumbuhan ekonomi itu, semestinya dipinggirkan dahulu. Jangan sampai, beleid itu malah meminggirkan kepentingan masyarakat luas.

Jangan sampai kebijakan yang diputus di Jakarta sana, malah semakin melebarkan perbedaan antara yang memilih dan yang dipilih. Berbeda saat masuk puasa dan waktu lebaran, seperti beberapa tahun silam itu terasa aneh. Apalagi soal tadi itu. Absurd.  

Ustaz-ustaz bilang, saat puasa itu doa-doa mudah diterima. Saya juga berdoa agar spanduk depan mesjid di kampung dapat dicabut. Bukan apa-apa. Ini contoh kalimat tidak efektif. "..untuk selain masyarakat desa sini, untuk sementara..."  Kelebihan kata "untuk".

Kalimat saja harus efektif, apalagi negara. Tapi hanya bonus kalau spanduk itu dicabut. Sebab grandprize-nya tentu adalah corona ini telah berlalu. Shaf jemaah kembali rapat. Pintu-pintu mesjid juga terbuka lebar. Dan kita semua menjadi pemenang pahala ramadhan.  

Dan "posisi", atau "ada perkopian kah" kembali bisa diucapkan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun