Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Renjana dan Hujan Pertama

6 Oktober 2012   06:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:11 338 7

Awan stratus tengah menghampar langit, lembarannya yang berlapis-lapis membentang mendatar menjadikan langit tak lagi berwarna biru.  Membuat matahari bersembunyi bahkan sorotnya tak mampu memberikan bayangan pada pohon palem yang tengah berkembang.

Sebentar lagi, hujan mungkin akan turun.

Aku lekas berdiri untuk bersiap meninggalkan kedai kopi langganan.  Tapi aku urungkan.  Bukankah menikmati hujan pertama di balkon kedai kopi ini akan sangat menyenangkan?  Maka, kukeluarkan kembali notebook dari dalam tas.  Suasana yang seperti ini akan sangat tepat untuk menulis sebuah cerita.

Di luar sana, langit semakin menggelap.  Barangkali berjuta-juta kubik air tengah digulung-gulung angin lalu siap terjun menyerupa hujan.  Cuaca yang sebelumnya panas berubah dingin.  Angin begerak sedikit lebih cepat.  Sesekali terlihat kilatan cayaha lalu disusul suara gemuruh.  Benar-benar suasana yang cukup lama tak kutemui.

Boleh jadi, musim kemarau yang cukup panjang tahun ini menjumpai masa penghabisannya hari ini.  Ya, semoga demikan.  Rasanya aku rindu sekali percikan hujan pada jendela kaca, genangannya pada jalan-jalan tak beraspal, atau suaranya ketika jatuh mengenai genting yang seperti dentingan piano Yiruma ketika memainkan kiss the rain.

Ah, Kiss the rain, membuatku merindukan Renjana.  Dia adalah pengagum langit.  Penikmat hujan paling gila.

Pernah suatu ketika, saat matahari belum setinggi galah, kami pergi ke sebuah tempat yang lapang, banyak tumbuh ilalang.  Jika dilihat dari tempat ini, langit terasa lebih luas dari tempat lain.  Dia lekas mengambil posisi berbaring.  Matanya lurus memandang langit.  Jika sudah begitu, aku lekas-lekas mengeluarkan peralatan menulisku.  Kertas-kertas dan pena.

Dia akan mulai bercerita, tentang apa saja.  Tentang putri yang tersandera makhluk aneh berujud ubur-ubur.  Kemudian datang seorang pangeran yang mengendarai lumba-lumba untuk menyelamatkannya.  Atau tentang balerina dengan anjing pudelnya.  Atau tentang padang rumput dan sekawanan domba-domba yang bermain bersama.

Saat dia menyelesaikan ceritanya dan aku juga telah selesai menuliskannya, aku mengambil posisi yang sama di sampingnya.

“Renjana, darimana kamu mendapatkan cerita-cerita itu?” tanyaku, memandangnya yang masih memandang langit.

“Dari langit,” katanya singkat.

“Bukan dari Ibumu? Atau buku-buku dongeng, mungkin?” aku tidak puas dengan jawabannya.

“Bukan, aku mendapatkannya dari langit,” tegasnya.  Kali ini sambil memandangku, jawabannya terlihat yakin sekali.

“Aku tak mengerti.  Bagaimana cara langit bercerita padamu?”

“Langit punya banyak kepingan cerita, Arlita.  Yang aku lakukan hanya menyusunnya,” jawabnya, lembut.

“Bagaimana kamu melakukannya?” aku benar-benar ingin tahu.

“Kau lihat itu, Arlita, awan yang menggumpal di sana itu!” ia menunjuk sebuah awan di langit nan biru, awan itu berwarna putih, bergumul-gumul.

“Seperti popcorn dengan ukuran besar.”

“Hahaha dalam otakku, awan itu berbentuk domba-domba yang sedang berjajar,” katanya sambil tertawa.

“Itu bukan domba, tapi popcorn!”

“Hahaha mungkin kamu sedang ingin makan popcorn, jadi semua bentuk awan cumulus di langit sana menyerupa itu,” katanya, masih dengan tertawa.

“Aku tidak sedang ingin popcorn, tapi itu benar-benar seperti popcorn ukuran jumbo!”

“Haha terserahmu sajalah,” dia selalu begitu.  Menyudahi perdebatan yang tak penting padahal aku menyukainya.

Intinya, awan-awan itu serupa kepingan cerita.  Lalu aku menyusunnya dengan menggabungkan awan-awan yang lain.  Tentu saja menambahkan imajinasi yang kuciptakan sendiri agar tercipta cerita yang menarik,” katanya menjawab keingintahuanku.

“Ya, ya, kau memang hebat. Eh, kau bilang apa tadi? Nama awan itu?”

“Cumulus.  Awan padat dengan garis yang jelas, bagian atasnya menyerupai bunga kol.  Kau lihat itu, bagian-bagian yang terkena sinar matahari nampak begitu putih kemilauan,” ia menjelaskan dengan mata berbinar-binar.

“Lihat itu, Arlita, awan yang di sebelah sana, mirip sekali dengan lumba-lumba!” katanya lagi, telunjuknya ia angkat menunjuk sebuah awan yang lain.

“Lumba-lumba?  Ah Renjana, yang benar saja.  Itu Nampak tak jauh beda dari awan yang di sana!”

“Maksudmu popcorn?”

“Ya!”

“Sepertinya, kamu harus belajar lebih banyak untuk mengasah imajinasimu, Arlita.”

Aku bersungut.  Sedang ia tertawa.

“Setiap orang mempunyai khayalannya masing-masing ketika melihat gumpalan-gumpalan awan cumulus,” ia bangkit dan berdiri.  Lanjutnya, “Tapi ada sebagian yang tidak peduli dan tidak memiliki imajinasi akan bentuknya.  Sebagian yang lain, imajinasinya segera bekerja begitu melihatnya,” kini ia mengulurkan tangannya untuk membantuku bangkit.

“Dan yang sering mengimajinasikannya adalah orang-orang yang tak punya kerjaan, haha” kataku, mengejeknya.

“Itu bagian dari pekerjaanku, Arlita.  Jika tak ada imajinasi, bagaimana mungkin di dunia ini akan ada banyak cerita?” sanggahnya cepat.  Sepertinya sedikit kesal.  Maka aku lekas mengapit lengannya, mengajaknya pulang.  Tentu sambil mencuri mengecup pipi kirinya.  Jika sudah begitu, kesalnya akan selesai.

~

Jarum jam menunjuk angka 4, rupanya aku sudah duduk di kedai ini cukup lama.  Hujan sudah usai dan meninggalkan aromanya yang selalu istimewa.  Dua cangkir kopi juga sudah beralih dalam perutku, menyisakan rasa mual.

Tapi, tak satu alenia pun yang mampu kutuliskan.  Hanya ada sebuah judul di bagian atas.  Hujan Pertama.  Sepertinya, aku memang tak mampu membuat sebuah cerita tanpa ada Renjana.

Sebuah pesan singkat kuterima di ponselku saat aku tengah mencoba kembali untuk menulis sebuah kalimat.

Lekas pulang, Arlita, aku mempunyai cerita untukmu tentang hujan pertama.

Maka, aku tak punya alasan lagi untuk berlama-lama di sini.  Renjana menunggu.

image

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun