Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan

Desember dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia

16 Desember 2019   01:29 Diperbarui: 20 Oktober 2020   20:31 105 3
10 Desember; selain memperingati hari kelahiran dari manusia yang dilahirkan pada tanggal tersebut, 10 Desember juga menandakan peringatan deklarasi hak-hak asasi manusia (HAM). 10 Desember 1948 dinyatakan sebagai Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Tepatnya di Pallais De Caillot, Paris oleh Majelis Umum Persatuan Bangsa Bangsa (PBB), pernyataan yang berupa anjuran untuk semua orang itu, berjumlah sekitar 30 pasal yang berisikan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia untuk semua orang. Dan sampai saat ini deklarasi tersebut selalu diperingati setiap tahun di beberapa negara di dunia, pada tanggal 10 desember setiap tahunnya.

Di tengah-tengah perayaan hari HAM ini, ada banyak sekali tumpukkan masalah pelanggaran HAM berat maupun ringan yang terus menerus terjadi di bumi pertiwi ini. Mulai dari pelanggaran HAM berat yang terjadi sekitar tahun 1965, yang sampai pada detik ini belum berhasil diselesaikan oleh Negara Republik Indonesia yang tercinta.

Lepas dari pelanggaran hak-hak asasi manusia yang terjadi di masa lalu, di provinsi Sulawesi Utara (SULUT) pun, tidak lepas dari pelanggaran hak-hak asasi manusia. Kemarin, kamis 12 Desember 2019, sekitar 500 massa yang tergabung dalam satu forum. Antara organisasi, komunitas, masyarakat sipil dan LSM, yang tergabung dalam Forum Keadilan Agraria untuk Petani dan Nelayan (FKAPN), melakukan aksi damai di dua titik yaitu di depan kantor Gubernur Sulawesi Utara (SULUT) dan di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Utara (DPRD SULUT), forum yang merupakan gabungan unsur masyarakat dan mahasiswa tersebut membawa tuntutan yang berkaitan dengan permasalahan agraria, yang diakibatkan oleh ulah mafia-mafia tanah dengan sertifikat Asli tapi Palsu (sertifikat ASPAL) dan perusahaan-perusahaan yang tidak memperhatikan dampak lingkungan juga, keberlangsungan hidup dari masyarakat sekitar, dan perusahan yang sebenarnya memang mempunyai permasalahan berkaitan dengan ijin pengelolaan bangunan dan ijin pengelolaan lahan.  

Telah terjadi berbagai kejanggalan yang ditemukan oleh masyarakat, yang akhirnya memutuskan untuk melakukan aksi damai pada tanggal 12 Desember kemarin, dan perlu kita ketahui bahwa aksi pada tanggal 12 Desember, adalah lanjutan dari aksi yang FKAPN lakukan sebulan sebelumnya, yang hanya mendapati janji manis yang diberikan di halaman depan gedung kantor Gubernur SULUT. Juga dalam peringatan hari Hak Asasi Manusia.

Kelurahan Tingkulu, Kecamatan Wanea adalah salah satu desa yang masyarakatnya terkena pelanggaran Hak Asasi Manusia berupa, perampasan ruang hidup. Yang dilakukan oleh orang-orang yang biadab dan tidak bertangungjawab. Sekitar 50 unit rumah permanen dan semi permanen terkena penggusuran dan sekitar 50-an kepala keluarga terombang ambing entah mau berteduh di mana. Hal tersebut terjadi karena ada saling klaim atau bisa dikatakan tanah yang diatasnya berdiri rumah-rumah dari masyarakat sekitar yang sudah sejak lama ada dan tiba-tiba ada pihak yang mengklaim bahwa itu adalah tanah milik perseorangan dan dibuktikan dengan sertifikat. Hal tersebut yang merupakan pemicu dari tergusurnya rumah-rumah warga. Sampai saat ini belum ada langkah pasti dari pihak pemerintah untuk pengambilan kebijakan terhadap 50-an kepala keluarga yang terkena penggusuran.  

Hal yang sangat disesali adalah proses penggusuran yang tanpa mempertimbangkan keberlangsungan hidup dari pada masyarakat di lokasi penggusuran tersebut. Warga yang rumahnya tergusur kini tinggal bersama kerabat mereka. Mengambil hak pribadi tanpa mempertimbangkan hak orang banyak, saya pikir itu adalah perlakuan yang sungguh sangat tidak terpuji.

Gangguan psikologis begitu dirasakan oleh orang dewasa maupun anak-anak kecil yang saat penggusuran berlangsung mereka turut menyaksikan rumahnya roboh dihantam alat berat. Mari sama-sama kita, resapi bagaimana jika penggusuran tersebut terjadi pada kita, rumah yang di mana menjadi tempat pulangnya segala lelah, tempat melangkah sebelum pergi bekerja, tempat berlindung dari panas dan hujan, sejak kecil kita dibesarkan dengan kasih dan sayang didalamnya, di antara bangunan-bangunan yang roboh di situ pernah ada ingatan masa lalu yang di paksa untuk tanggal dari kepala.

Hal tersebut memang tidak mungkin mampu diterima oleh siapapun itu sekalipun ada ganti rugi, tetapi berapapun santunan untuk mengganti rumah yang tergusur tidak dapat membayar ingatan yang tumbuh di sana. Apalagi hal tersebut langsung disaksikan oleh anak-anak yang masih belia. Ditambah lagi bahwa bulan ini merupakan bulan yang berharga, bulan untuk berkumpul dengan kerabat dan keluarga. Mengingat di desa Tingkulu mayoritas warganya menganut agama kristen.

Kelurahan Tingkulu, bukan satu-satunya. Hal terburuk dari permasalahan Agraria adalah ketika ada pemerintah yang turut terlibat dalam melancarkan persekongkolan dengan mafia tanah yang merenggut ruang hidup dari  masyarakat banyak. Ingatlah bahwa berdirinya sebuah negara karena ada masyarakat di dalamnya, mari sama-sama kita bergandengan tangan, merapatkan barisan untuk sama-sama melawan mafia-mafia tanah yang menyebabkan konflik sosial dan menyengsarakan orang banyak.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun