Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Delon Bisa Nikah Lagi, Gereja Katolik Mengizinkan Perceraian?

14 November 2019   21:19 Diperbarui: 24 Juni 2021   12:28 6580 7


Beberapa hari terakhir, umat Katolik dihebohkan oleh pernikahan kedua Delon Thamrin dengan Aida Candra pada 8 November 2019. Kehebohan muncul dikarenakan Delon seorang publik figur (artis) yang beragama Katolik.

Menurut ajaran Gereja Katolik, perkawinan tidak bisa diceraikan oleh alasan apa pun, kecuali oleh Allah melalui kematian salah satu pihak. Sementara itu, Delon diketahui publik sudah pernah menikah secara Katolik dengan istri pertamanya, Jeslin Wang selama 8 tahun.

Menurut pengakuan Delon kepada media, ia telah menikah di Gereja Katolik dengan istri kedua, karena telah mendapatkan dispensasi atas pernikahan yang pertama.

Hal inilah yang menghebohkan sebagian umat Katolik yang belum paham tentang lika-liku hukum perkawinan Katolik yang tertuang di dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK). Bagi yang tidak paham, beropini seolah-olah saat ini Gereja Katolik sudah BISA MENCERAIKAN pasangan yang sudah menikah. Apakah benar demikian?

Apa Kata Kitab Suci tetang Perkawinan? 

Menurut Yesus seperti tertuang di dalam Injil Matius  19:3-6: Sejak sediakala, Perkawinan adalah rencana dan kehendak Allah. Yesus menegaskan kembali apa yang tertuang dalam Kitab Perjanjian Lama (Kej 2:18): “Tuhan Allah berfirman, tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia.”  

Menurut Kitab Kej. 1:26-27 : "Manusia diciptakan menurut citraNya; diciptakanlah mereka laki-laki dan perempuan. Karena itu, laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. 

Baca juga : Belajar dari Perceraian Bill Gates

Selain itu, Kitab Kejadian dan Ulangan juga mencatat (Kej 20:17 & Ul 5:21) = 10 perintah Allah: jangan mengambil isteri sesamamu. Selain itu ada beberapa perikop dalam Kitab Suci yang berbicara tentang perkawinan misalnya: sifat perkawinan yang tak terceraikan (Luk 16:18; Mar 10:1-12; Mat 5:32 dan Mat 19:3-12); ajaran agar suami isteri harus saling setia dan menghormati (1 Kor 7:39; Ef 5:21-33; Perkawinan sebagai bayangan persatuan Kristus dengan Gereja (Ef 5:22-33. Mat 9:15; Mar 2:19-20; Luk 5:34-35; Yoh 3;29; 2Kor 11:2; Why 19:7-8; 21:2,9; Kel 21:3; Kel 21:3; 21:10; Ul 7:3; 22:22; Im 22:12; Bil 12:1; 30:6), dsb.

Apa Ajaran Gereja Katolik tentang Perkawinan yang Mengalir dari Kitab Suci?

Katekismus Gereja Katolik (KGK) no. 1601-1666

Perkawinan adalah Perjanjian antara seorang pria dan wanita yang mana keduanya saling membentuk persekutuan hidup dan cinta yang intim. Perkawinan didirikan dan diberkarti secara istimewa dan diatur oleh hukum khusus oleh Allah Pencipta. 

Dari kodratnya untuk kesejahteraan suami-isteri, dan terarah kepada kelahiran dan pendidikan anak. Perkawinan adalah sakramen. 

Sakramen Perkawinan menjadi TANDA persatuan/ persekutuan antara Kristus dengan Gereja. Memberi rahmat kepada suami-isteri; untuk saling mencintai (1) dengan cinta yang Kristus berikan kepada GerejaNya (2) sehingga cinta mereka menjadi sempurna, (3) dikuatkan ketakceraiannya, dan (4) menguduskan mereka ke hidup kekal. 

Perkawinan berpijak pada KESEPAKATAN bebas dan sadar dari kedua pihak, yaitu kehendak untuk saling memberi diri mereka selamanya (seumur hidup) agar hidup menurut perjanjian cinta yang setia dan berbuah. Kodrat dan sifat hakiki perkawinan:Unitas, takterceraikan, terbuka kepada kelahiran anak. 

Poligami dan penyelewengan melawan nilai perkawinan Kristiani.Menolak kelahiran berarti menolak perkawinan sebagai wadah Allah Pencipta yang menciptakan manusia. 

Orang yang poligami, yang cerai dan menikah lagi, dilarang menerima Komuni kudus dan tetap wajib mendidik anak-anak dengan ajaran dan nilai Kristiani. Keluarga (rumah) harus menjadi Ecclesia Domestica, dimana anak didik dengan iman Katolik, sebagai rumah penuh rahmat dan doa bersama, sekolah kemanusiaan dan sekolah kristiani.

Baca juga : Mengenal Gates Foundation yang Tetap Bertahan Meski Bill Gates Hadapi Perceraian

Hukum Perkawinan Katolik (KHK) 

Perkawinan  berdasarkan Kanon 1055: “Dengan Perjanjian perkawinan pria dan wanita membentuk kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodratinya  perjanjian itu terarah pada kesejahteraan suami-istri serta kelahiran anak; oleh Kristus Tuhan perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat Sakramen”. 

Perkawinan katolik dipahami sebagai Covenant (yakni perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita yang bersepakat mau menikah,  sebagaimana perjanjian yang dilakukan antara Allah dengan Umat Israel, dan perjanjian antara Yesus dengan GerejaNya)  dan  persatuan cinta dan pribadi yang meliputi  Kebersamaan hidup suami-istri dalam semua aspeknya, senasib sepenanggungan seumur hidup.

Ikatan perkawinan katolik  yang dipahami sebagai perjanjian dan persekutuan cinta dan pribadi ditandai oleh: 1) cinta yang gratis; 2) kesetiaan; 3) relasi timbal balik; 4) kemurahan hati; 5) Permanen/tetap; 6) kesatuan seluruh hidup yang menyangkut kesatuan hati, budi, kehendak, dan kesatuan visi dan misi.

Ada beberapa sifat perkawinan Katolik yang tertuang di dalam KHK. 

Pertama,bersifat unitas:perkawinan Katolik haruslah antara satu orang pria dan seorang perempuan.  Menolak poligami dan poliandri. Kitab Suci mengatakan: mereka tidak lagi dua tetapi satu, supaya suami-istri bisa mencurahkan cinta secara total (tidak hanya soal waktu, finansial dan kasih). 

Kedua, bersifat Indisolubilitas: perkawinan Katolik tidak bisa diceraikan. Suami istri dipanggil untuk mencintai pasangan seumur hidup. Konsekuensinya adalah kesetiaan seumur hidup sampai maut memisahkan keduanya.

selain itu, KHK juga mengatur tentang tujuan Perkawinan Katolik yang terdiri dari dua hal. 

Pertama, Kesejahteraan (Apa yang baik bagi) suami-istri: pasangan suami-istri saling menyejahterakan dan membahagiakan. Hal ini menuntut kemauan dan kemampuan untuk menyangkal diri, mengosongkan diri, satu sama lain menganggap bahwa kebahagiaan pasangan adalah kebahagiaannya juga. 

Kedua, Kelahiran dan pendidikan anak. Hubungan intim suami-istri harus terarah pada kelahiran manusia baru. Dengan demikian, pendidikan anak merupakan bagian integral dari pemahaman tentang perkawinan katolik. Akan tetapi, kemandulan, ketidaksuburan pasangan  tidak membatalkan perkawinan. Bukan alasan untuk menceraikan istri dan mencari pasangan lain.

Baca juga : Dampak Perceraian terhadap Psikologi Perkembangan Anak

Oleh karena itu, yang menjadi landasan bagi Perkawinan Katolik adalah cinta yang dipahami bukan sebagai perasaan, tetapi sebagai komitment atau tekad hati dan budi untuk mengusahakan kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan orang yang dicintai. 

Cinta yang gratis, tanpa syarat, dan total. Cinta yang memcapai titik puncaknya dalam tindakan bebas memberikan hidup bagi orang yang dicintai(Yoh. 15:13). Sebagai model adalah cinta Allah kepada manusia, cinta Yesus kepada GerejaNya (Ef. 5:22-34). 

Menurut Gereja Katolik, perkawinan bukan hanya urusan manusia, tetapi urusan Allah. Sehingga perkawinan di antara dua orang yang dibaptis diangkat ke martabat sakramen oleh Kristus. Artinya pasangan suami-istri menjadi sakramen Yesus Kristus satu bagi yang lainnya, keduanya menjadi sarana dan tanda keselamatan dari Allah bagi satu sama lain.

Melalui perkawinan, suami dan Istri saling menemukan dan berjumpa  dengan wajah Yesus yang menderita berlumur darah dan Yesus yang mulia, yang berbelas kasih, yang mengampuni, yang memberi kesempatan pada orang yang salah untuk memperbaiki diri. Buluh yang terkulai tidak dipatahkannya dan sumbu yang berkedip-kedip tidak dipadamkannya. 

Karena perkawinan bersifat sakramental maka perkawinan kristiani harus dilakukan secara: 1) BEBAS: tidak ada paksaan atau intimidasi dari pihak manapun untuk melangsungkan perkawinan; 2) SADAR: mengetahui dan memahami arti perkawinan dalam pandangan Gereja Katolik, dan tahu betul apa yang menjadi konsekuensi dari perkawinan katolik; 3) DIMAUI:  artinya orang yang menikah sungguh-sungguh menghendaki perkawinan tersebut.

Pertanyaannya: mengapa Delon BISA BERCERAI dan BISA MENIKAH lagi?

Gereja Katolik tidak mengenal PERCERAIAN, tetapi ANULASI. Apa perbedaannya? 

Yang dilihat atau menjadi alasan untuk mengajukan permohonan PERCERAIAN adalah hal-hal yang terjadi setelah perkawinan  misalnya: setelah menikah sekian tahun, seorang suami merasa tidak cocok lagi dengan istri, suami atau istri selingkuh, suami atau istri mandul, KDRT, dll. 

Otoritas Gereja Katolik dalam hal ini tribunal Gereja, tidak akan memperhitungkan alasan yang muncul sesudah perkawinan sah di Gereja. 

Gereja Katolik hanya mengenal ANULASI yang berasal dari kata: a dan nul (dinolkan/ditiadakan/tidak ada) yang berarti perkawinan di-nol-kan atau dinyatakan sejak semula tidak ada oleh karena ada cacat yang terjadi dalam proses menuju hari perkawinan. 

Untuk lebih mudahnya bisa dianalogikan dengan istilah yang sama yang digunakan dalam dunia sepak bola. 

Dalam sebuah pertandingan sepak bola seringkali terjadi gol yang sudah dinyatakan oleh hakim utama sah, tetapi kemudian dinyatakan kembali tidak sah atau dianulir kembali.

Penyebabnya, karena setelah ditelusuri bersama dengan hakim garis, ditemukan bahwa ada cacat yang dilakukan oleh pencetak gol dalam proses memasukan bola ke gawang lawan, misalnya: menggunakan tangan, dll. 

Mata semua penonton, baik di stadioan maupun pemirsa di depan layar kaca menyaksikan bahwa ada gol yang dimasukkan ke gawang lawan dan hakim juga telah memberi tanda bahwa gol itu sah.  Namun, belakangan dianulir atau dianggap tidak pernah ada gol yang terjadi sehingga poinnya tidak dihitung.

Demikianpun pengertian anulasi yang terjadi dalam perkawinan Katolik. Mata seluruh umat menyaksikan bahwa ada perkawinan yang berlangsung di Gereja antara misalnya: Romeo dan Juliet  beberapa tahun silam. 

Ada pastor yang meneguhkan perkawinan mereka dan menyatakan bahwa perkawinan tersebut sah menurut tata cara Gereja Katolik. Namun di belakangan hari terjadi masalah. Romeo atau Juliet atau kedua-duanya mengajukan kepada Pastor Parokinya bahwa ada cacat dalam proses melangsungkan perkawinan mereka. Mereka ingin mengajukan Anulasi perkawinan. 

Ada banyak alasan yang diatur di dalam Kitab Hukum Kanonik yang menyebabkan perkawinan antara Romeo dan Juliet tersebut batal demi hukum atau dianulir. 

Prosesnya melalui pengadilan Gereja atau Tribunal Keuskupan dan bisa memakan waktu yang cukup lama karena semua alibi yang diajukan akan diuji, dikritisi dan disidangkan sampai ditemukan fakta dan bukti bahwa ada cacat yang terjadi/dilakukan oleh salah satu pihak atau kedua-duanya yang menyebabkan tidak sahnya perkawinan yang telah dilangsungkan tersebut. 

Jika telah dibuktikan bahwa ada cacat yang dibuat dalam proses menuju perkawinan, maka diterbitkanlah surat keputusan dari Vatikan ataupun Keuskupan yang menyatakan bahwa perkawinan antara Romeo dan Juliet sesungguhnya tidak ada sejak semula oleh karena ada cacat dalam proses menuju hari perkawinan.

Akhir kata, demikianlah yang terjadi dengan pernikahan Delon Thamrin dengan Jeslin Wang. 

Jika Delon ternyata bisa menikah lagi secara Katolik dengan Aida Chandra, berarti perkawinan Katolik antara Delon Thamrin dan Jeslin Wang telah dianulir setelah melalui proses panjang persidangan dan pembuktian di Tribunal Gereja. 

Alasannya, hanya pihak Tribunal dengan Delon dan Jeslin Wang yang tahu. Biasanya tidak serta-merta diberitahukan kepada seluruh umat Katolik atau kepada publik.

Sumber Bacaan:

Kitab Hukum Kanonik Revisi 2016

Katekismus Gereja Katolik

Dokumen Konsili Vatikan II

Alkitab Katolik Online

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun