Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Kita Tidak Bisa Berkata Apa-Apa Lagi

19 September 2022   16:55 Diperbarui: 21 Februari 2024   21:43 168 3
Adalah akhir dari nalar ketika suami, isteri, dan anaknya menangis karena rumah mereka rata dengan tanah.
Impian mereka sirna. Sang suami dan isterinya mendapati rumahnya sudah dirobohkan setelah pulang dari mencari kerja di kota.

Mereka pasrah melihat rumahnya diratakan dengan tanah gegara tidak melunasi utang jutaan rupiah, lalu dieksekusi oleh rentenir.

Menurut pengakuannya, rumah itu merupakan warisan orang tuanya. Demi untuk melunasi utangnya ke rentenir, dia mencari kerja.

Sejauh yang diketahui, Undang (47) namanya bekerja secara serabutan. Sedangkan isterinya sebagai asisten rumah tangga di kota 'Paris Van Java', Bandung.

Anak mereka dibawa serta ke kota, tempat mengais rezki, cukup untuk makan sehari-hari sekaligus punya target untuk membayar utang pada rentenir.

Mulanya Undang menemui tetangganya merangkap sang rentenir. Ungkapan tentang tetanggaku adalah idolaku tidak seindah yang dibayangkan.

Cicilan demi cicilan, hari demi hari utang belum bisa dibayar oleh Undang. Dia belum punya uang untuk membayar utangnya.

Sementara, sang rentenir mendesak pada Undang agar jangan menunda untuk melunasi utangnya, yang berlipat ganda.

Yang berutang harus membayar sebesar 350.000 ribu rupiah per bulan. Bukan hanya korban perasaan, korban materi atau rumahnya pun jadi taruhannya.

Tidak begitu gila antara yang berutang dan yang memberi utang. Utang yang mencekik. Zaman now, utang yang berbunga alias uang beranak bersaing dengan pinjaman online.

Sontak, tanpa diaba-aba duluan, sang rentenir tidak sabaran untuk merobohkan rumah Undang saat dia tidak berada di tempat.

Atas perintah sang rentenir, beberapa orang membongkar secara paksa rumah Undang. Orang-orang pada melongo karena tidak bisa berbuat apa-apa.

Pada akhirnya, kasus pembongkaran rumah tersebut secara sepihak  berurusan dengan hukum. Pihak kepolisian sudah menerima laporan dari korban. Laporannya sedang ditindaklanjuti.

Terdengar suara dari bisik-bisik tetangga, warga desa, tempat Undang bersama isteri dan anaknya bermukim merasa resah dengan ulah sang rentenir. Dari laporan, banyak warga menjadi korban rentenir, yang terlilit utang.

Begitulah, jika tidak punya uang, sebagian warga meminjam bukan ke penggadaian atau koperasi simpan pinjam, tetapi ke rentenir.

Salah sedikit, jika orang tidak bisa melunasi utangnya, maka cara gertakan, paksaan bahkan kekerasan yang berbicara.

Saya setuju, rentenir perlu ditata dengan baik oleh pemerintah setempat.

Utang sebesar 1,3 juta rupiah ada lebih tinggi dari itu. Di mata rentenir, jumlah uang sebesar itu dianggap kecil. Yang berutang justeru tercekik lehernya karena bergantung ada atau tidak ada uang yang dimiliki.

Kisah pilu tersebut merupakan satu dari sekian banyak peristiwa dalam kaitannya dengan permasalahan yang dihadapi oleh  Undang. Dalam sejarah, akar-akar rentenir sudah ada sejak zaman feodal.

Rentenir sudah ada dalam citra mental sejak zaman kakek dan nenek kita di masa silam. Pikirannya tidak semodern dalam kehidupan modern. Mentalnya menjadi tawanan masa lalu.

Tuan tanah biasanya merangkap sebagai rentenir. Sistem ijon dijalankan dengan cara produksi pemodal, yang bikin terjerat korban rentenir.

Praktek rentenir sudah berurat akar, tetapi tidak seluas dan sedalam pemikiran modern. Para rentenir nanti merasa nikmat jika berhasil menjerat korban.

Rentenir terjebak oleh hasratnya sendiri lewat uang berbunga atau "beranak," dari satu bunga sekian persen ke bunga bertambah ke sekian persen, apalagi sudah jatuh tempo pembayaran utangnya.

Sepintas, rentenir memiliki kemampuan untuk menolong orang yang terdesak dengan uang. Belas kasih yang tergerus dengan bunga utang yang bikin pusing tujuh keliling.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun