Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Gaji Pertamaku Tiga Puluh Lima Ribu Rupiah

18 September 2011   16:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:51 197 0
Tahun 1994 adalah tahun yang sangat membingungkan bagiku. Bagaimana tidak. Pada tahun tersebut adalah tahun terakhir mengenakan seragam putih ungu kebanggaanku. Setelah mengikuti Evalusi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS), aku dipusingkan dengan langkah hidup berikutnya. Apakah aku mau meneruskan jenjang pendidikan ke perguruan tinggi atau bekerja untuk membantu meringankan beban orang tua. Apabila memilih pilihan yang pertama, muncul pertanyaan, darimana memperoleh biaya untuk belajar di perguruan tinggi. Sedangkan apabila memilih pilihan yang kedua, pertanyaanpun tetap muncul, pekerjaan apa yang cocok buatku dengan selembar ijazah SMA.

Sebelum acara perpisahan sekolah tiba, wisuda kalau sekarang mah. Aku hanya luntang lantung dalam ketidakpastian. Sedangkan teman-temanku yang berniat melanjutkan belajar ke perguruan tinggi, sudah berhamburan ke luar kota. Yogyakarta, Purwokerto, Bandung menjadi tujuan favorit mereka. Sambil menunggu pelaksanaan UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) mereka mengikuti bimbingan belajar. Dulu sering disingkat dengan bimbel. Pertanyaan yang sering keluar pada waktu itu “Maneh bimbel dimana?” (Bahasa Sunda). “Kamu bimbel dimana?” (Bahasa Indonesia). Aku hanya diam tidak bisa berkata apa-apa.

Menjelang akhir pendaftaran UMPTN, ibu memberikan sinyal agar aku ikut serta mendaftarkan diri mengikuti UMPTN. “Masalah biaya jangan terlalu dipikirkan. Yang penting lulus dulu.” Begitu kata ibu tercinta. Ibu memberikan garansi jika lulus UMPTN artinya aku akan menjadi mahasiswa tetapi apabila tidak lulus mungkin aku harus mencari pekerjaan. Artinya ibu hanya memberikan kesempatan untuk belajar di perguruan tinggi negeri saja sedang di perguruan tinggi swasta tidak sama sekali.

Dengan bantuan teman-temanku yang bimbingan belajar di Bandung, aku pun dengan setengah hati mengikuti UMPTN. Di saat yang bersamaan tayangan siaran langsung Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat memecahkan konsentrasiku. Karena aku bukan termasuk orang-orang pintar, akupun harus melupakan mimpi menjadi mahasiswa. Dari Pikiran Rakyat punya tetangga, nomor ujianku disalip oleh nomor-nomor yang resmi menjadi calon mahasiswa.

Hidup harus terus berjalan. Meskipun hanya menjadi seorang penganguran. Kegiatanku hanya makan, tidur, dan sesekali mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci pakaian dan menyapu halaman. Ada rasa malu pada orang tua serta orang-orang di sekitarku. Rasa jenuh mulai melanda. Aku biasanya belajar setiap hari atau mengikuti kegiatan estrakulikuler sekarang harus diam di rumah tanpa ada kegiatan. Pikiranku benar-benar tumpul.

Ibu rupanya dapat membaca pikiran yang ada dalam kepalaku. Tiba-tiba beliau menawarkan sebuah pekerjaan padaku. Kebetulan tidak jauh dari rumah sedang ada proyek. Mandornya sedang membutuhkan orang. Aku ditawari untuk menjadi kuli proyek. Pekerjaanku hanya mengangkut pasir serta batu. Gajinya sehari lima ribu rupiah. Aku tidak langsung menerima. Bimbang hatiku. Ada perasaan gengsi, malu dalam hati. Sebagai mantan orang yang aktif di kegitan estrakulikuler aku mempunyai banyak kenalan. Apa jadinya jika mereka melihatku sebagai kuli proyek. Dengan bijak ibu mengatakan bahwa semua pekerjaan tidak ada yang hina yang penting halal. Kata-kata itu secara pelan-pelan menghilangkan kerisauan hatiku.

Menjadi kuli proyek tidak pernah ada dalam pikiranku. Tetapi aku harus realistis. Di antar senyum tetangga yang entah mencibir, sinis, kaget, atau bangga aku pun mulai bekerja. Warna kulit yang sudah hitam semakin hitam karena semakin akrab dengan sengatan matahari. Tangan halus menjadi kasar. Minder apabila berjabat tangan. Keringat semakin sering keluar. Debu menjadi menu wajibku. Ibu tersenyum bahagia. Anggaplah sebagai pengalaman yang paling berharga katanya.

Tidak terasa, sudah banyak pasir dan batu yang dipindahkan. Tibalah saatnya aku mendapatkan hasil keringat sendiri. Sabtu sore, nama ku dipanggil paling bontot oleh mandor proyek. Dalam bedeng kecil berdinding anyaman bambu, mandor proyek menyerahkan uang sebesar tiga puluh lima ribu rupiah, tanpa amplop. Hasil jerih payah selama seminggu. Walaupun muka kelihatan biasa saja, hati ini girangnya bukan main. Perjalanan dari bedeng menuju rumah terasa ringan. Para tetangga ikut gembira. Ada yang nyeletuk segala. “Bayaran… Bayaran…”

Di rumah, ibu kelihatan bahagia. Setitik air mata turut menghiasi wajahnya dan berusaha disembunyikan dariku. Ibu bahagia bukan karena uang yang dibawa olehku. Bukan pula oleh uang yang diperoleh dari pelunasan teman-teman proyek yang setiap hari ngutang dari warungnya. Ibu bahagia karena aku mau melakukan pekerjaan yang dianggap pekerjaan kelas bawah. Sebab banyak lulusan SMA, hanya karena gengsi tidak mau melakukan pekerjaan sepertiku. Mereka lebih baik mengangur daripada bekerja sepertiku. Itu alasan ibu.

Sesuai dengan arahan ibu, gaji pertamaku yang utuh karena aku makan di rumah sendiri alias tidak bayar, aku berikan sebagian kepada adik-adik serta sebagian untuk saudara dari ibu. Aku menyempatkan membeli kaset yang berisi lagu-lagu terbaik milik Chrisye. Salah satu lagunya “Sabda Alam” sering diiklankan di televisi swasta. Tidak lupa membelikan sebungkus rokok untuk teman terbaikku. Sisanya disimpan di lemari, di bawah lipatan baju. Namun esok harinya uang tersebut lenyap. Pada saat bekerja, ibu membelanjakannya untuk kebutuhan warung. Ibu meminjam untuk sementara. Aku tidak mempermasalahkannya. Berkat ibu, aku merasakan gaji pertama dalam usia 18 tahun.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun