Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Belajar Ikhlas

14 Januari 2021   18:11 Diperbarui: 14 Januari 2021   18:25 197 2
Aku baru saja mengikuti ta'lim di kampus. Pengisi materi kali ini adalah Ustaz Firman. Selama mengikuti ta'lim tadi, aku selalu menundukkan kepala. Bukan apa-apa, tapi hanya berusaha meminimalisir pandanganku pada Ustaz itu.

Ada perasaan yang kusimpan selama ini. Aku sendiri tidak yakin apa namanya, kagum atau cinta. Karena itulah, aku berusaha untuk tidak melihat langsung padanya. Aku takut, jangan-jangan niatku mengikuti ta'lim adalah karena ingin melihatnya. Namun, aku benar-benar tidak tahu siapa pemateri di majlis hari  ini. Pihak penanggungjawab memang tidak menginformasikan nama pengisi ta'lim, dengan alasan meminimalisir niat pengunjung.

Sambil menunggu angkutan kota, aku membuka Al-Qur'an kecilku. Aku tidak memperhatikan sekitar. Hanya sesekali saja melirik untuk memastikan angkot yang kutunggu sudah sampai atau belum.

"Assalaamu'alaikum," sebuah suara mengagetkanku.

Aku spontan mendongak. Hatiku berdegup kencang saat bertatapmuka dengan pemilik suara tersebut, Ustaz Firman. Aku langsung menunduk.

"Wa'alaikumussalaam, afwan," jawabku sembari mengatupkan kedua tangan.

"Ukhti yang bernama Nusyaibah, kan? Adiknya Tsumayya?"

Untuk kedua kalinya aku kaget dan mendongak. Beberapa detik, aku menunduk lagi.

"Afwan sekali lagi. Dari mana Ustaz tahu?" tanyanya masih terkaget-kaget.

"Pokoknya saya tahu. Ngapain di sini?"

"Nunggu angkot, Taz."

"Sudah hampir jam enam loh," imbuhnya sembari melihat jam yang melingkar di tangan kirinya.

"Hah? Masa sih?" aku melihat ke kanan dan ke kiri. Benar juga ternyata sudah petang dan hampir gelap. Aku tidak memperhatikan sekeliling karena keasikan membaca Al-Qur'an.

"Duh, gimana nih. Pasti Umi khawatir," kataku sambil memasukkan Al-Qur'an ke dalam ransel.

"Mari saya anter!" katanya menawarkan tumpangan.

"Hah? Nggak...nggak...," kataku mengelak.

"Loh kenapa? Nanti kamu kemagriban di sini," tukasnya.

"Bukan begitu. Nanti aku dimarahin Umi sama Abi," jelasku.

"In sya Allah kali ini tidak," potongnya.

"Wah, Ustaz nggak tahu sih mereka bagaimana."

Kulihat dia menuju motor dan menyalakannya.

"Ayo! Sepuluh menit lagi Magrib."

"Tapi...?"

Aku masih sangsi. Bukan masalah umi sebenarnya. Itu alasanku saja. Aku tidak mau berdekatan dengan dia karena aku tidak yakin dengan perasaanku. Aku tidak mau rasa itu semakin besar dan mendominasi. Aku tidak mau ...

"Nusyaibah! Ayo!"

Aduh, bagaimana ini. Waktu terus merangkak senja dan hari sudah gelap. Aku tidak punya pilihan lain.

Ya Allah, semoga aku bisa menjaga hati ini. Aamiin.

Aku menuju motornya dan dengan ragu mulai duduk di jok belakangnya. Segera setelah aku duduk dengan benar, dia melajukan motornya.

"Bismillaahi majreeha wamursahaa," ucapnya. Aku pun membaca do'a yang sama.

Dalam perjalanan, aku lebih banyak menutup mata dan membaca istighfar sebanyak yang kubisa. Aku tidak mau semua indraku merespon negatif terhadap situasi ini. Dadaku bergejolak. Ada pertentangan batin yang luar biasa.

Setan di mataku mengajakku untuk membuka mata, menikmati, dan memandangi tubuhnya. Setan di hidungku mengajakku untuk mencium sebanyak mungkin aroma wangi tubuhnya. Setan dalam sel-sel syrafku mengajakku untuk merespon sinyal haram dari mata dan hidungku.

"Yaa Muqollibal quluub tsbbit qalbii alaa diinik." Aku terus merapal do'a itu terus-menerus. Lelaki di hadapanku ini memang orang baik. Akhlaknya baik. Tutur katanya baik. Semuanya baik. Tetapi dia bukan mahromku. Aku tidak boleh terbawa hanyut dengan suasana hatiku sendiri.

Istighfar Nusyaibah! Aku mengingatkan diriku sendiri.
******


Setelah sekitar tiga puluh menit, kami sampai di rumahku. Karena sudah masuk waktu Magrib, aku menawarkan Ustaz Firman untuk salat di rumah.

"Bagaimana kalau Ustaz salat Magrib dulu di sini. Khawatir waktunya habis," kataku sambil menunduk.

"Boleh. Saya juga ingin bertemu dengan Abi," ucapnya.

Aku kaget dan bertanya-tanya. Mau apa ketemu dengan Abi. Ternyata mereka saling kenal. Apakah...tidak...tidak...tidak, aku menggelengkan kepala dengan posisi masih menunduk.

"Kamu kenapa?" tanya Ustaz Firman.

"Laa ba'sa, Taz." (Tidak masalah) Aku mempersilahkan Ustaz Firman masuk rumah.

"Assalaamu'alaikum"

"Wa'alaikumussalaam." Suara Abi terdengar di balik pintu.

Aku bersiap diri kalau ternyata nanti Abi dan Umi menasihatiku karena pulang dengan lelaki bukan mahrom. Aku punya alasan untuk itu.

"Loh, Nak Firman. Silahkan masuk," ucap Abi. "ama Nusyaibah. Ayo masuk, salat Magrib dulu. Sudah dari tadi loh,"

"Iya Bi," jawabku sambil masuk.

Aku segera mengambil air wudhu dan menuju mushalla keluarga. Kami terbiasa salat jama'ah. Selesai kukenakan mukena,...

"Mau makmum?" suara Ustaz Firman di belakangku.

Aku hanya mengangguk kaget.

Kami salat Magrib berjama'ah. Aku berusaha untuk khusu tapi ini sungguh berat. Terlebih saat dia melafalkan Al Fatihah dan An Naaziaat. Suaranya yang lembut dan merdu membuatku sangat sulit berkonsentrasi. Aku lebih banyak beristighfar.

Akhirnya kami selesai salat. Ini salat terberat yang pernah aku jalankan. Astagfirullaahal 'Adziim. Aku beristigfar sebanyak-banyaknya.

Aku segera ke kamar dan melanjutkan tilawah. Setelah menyelesaikan lima lembar tilawah aku melanjutkan dengan muraja'ah juz 29.  Ya, aku baru bisa menghafal dua juz sejauh ini. Tidak mengapa, yang penting setiap pekan target dua atau tiga halamanku tercapai. Sedikit tapi istiqomah.

Selesai semua. Aku keluar kamarku dan menuju dapur berniat untuk makan malam. Aku kaget bukan kepalang karena di ruang makan Ustaz Firman dan seluruh keluarga tengah berkumpul di meja makan.

"Sudah selesai muraja'ahnya, Nusyaibah?" tanya abi.

Aku hanya mengangguk masih bingung karena Ustaz Firman belum pulang dan kelihatannya dia akan ikut makan malam dengan kami sekeluarga.

"Kok, bengong begitu?" tanya Umi. "Sini duduk, kita makan Bersama," lanjut Umi.

Aku membawa kakiku ke kursi di antara  Umi dan Kak Tsumayya.

"Nusyaibah! Abi ingin mengatakan satu hal. Mungkin kamu kaget karena Abi kenal dengan Nak Firman dan sekarang malah akan makan Bersama kita."

Aku mengangguk dan tak berkomentar apapun. Aku masih kaget dan tidak bisa menganalisa ada hubungan apa mereka.

"Jadi, Nak Firman ini adalah calon suami kakakmu, Tsumayya. Bulan depan kita akan adakan walimah kecil-kecilan saja, karena kita tidak punya banyak waktu. Firman dan Kakakmu akan segera terbang ke Mesir. Nak Firman mendapatkan bea siswa S2."

Aku mendengarkan kalimat Abi tapi tidak bisa memahami seluruhnya. Otakku terlampau kaget dan shock dengan berita yang sangat mengagetkan ini.

Kami makan malam Bersama. Aku tidak merasakan apa rasa menu makan malam kali ini. Yang aku rasa, ada sayatan kecil yang mengiris-ngiris hatiku. Aku tahu ini salah. Tapi siapa yang tahu kalau ustaz yang kukagumi ternyata adalah calon suami kakakku, alias calon kakak iparku.


Aku tahu, aku butuh waktu untuk menetralkan hatiku dan mengembalikannya lagi ke tempat semula. Aku tidak ingin membuat semuanya semakin rumit dengan rasa cinta yang salah ini. Semoga Allah mengembalikan posisi hatiku lagi. Aku harus mengikhlaskan semuanya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun