Mohon tunggu...
KOMENTAR
Hukum Pilihan

PDI Perjuangan Mulai "Menikmati" UU KPK Baru?

15 Januari 2020   14:33 Diperbarui: 15 Januari 2020   17:30 474 36

arus protes dari mahasiswa, masyarakat penggiat anti korupsi terus terjadi di hampir pelosok negeri, ketika ada rencana bahwa Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) Nomor 30 tahun 2002 akan segera direvisi.

Protes itu terjadi karena revisi UU KPK tersebut berpotensi melemahkan lembaga antirasuah ini dalam gerakannya untuk memberantas tindakan korupsi yang kian marak di tanah air.

Ya, para pendemo yang didominasi mahasiswa ini menduga beberapa poin yang akan di revisi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi, seperti yang selalu digaungkan pemerintah selama ini.

Diantaranya adalah dibatasinya aksi pembajakan. Dalam hal ini harus terlebih dahulu memohon izin pada Dewan Pengawas. Lalu, KPK yang asalnya lembaga independen, bakal menyatu menjadi satu rumpun dengan eksekutif. Dalam hal ini, status pegawai KPK adalah Aparatur Sipil Negara (ASN).

Rupanya, segala protes dan aksi demo mahasiswa dan penggiat anti korupsi tersebut tidak membuat DPR bergeming dengan keputusannya. Akhirnya, tepat pada tanggal 17 September 2019, DPR berdasarkan kesepakatan dengan pemerintah, UU KPK baru hasil revisi pun di sahkan.

Sempat ada harapan, ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) melunak dan berencana akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan UU KPK versi revisi.

Namun, partai politik terutama PDI Perjuangan ngotot, tidak setuju atau dengan tegas menolak jika Presiden Jokowi menerbitkan Perppu.

Salah seorang Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Hendrawan Supratikno, menegaskan, Fraksi PDIP berpandangan bagi mereka yang memprotes UU KPK baru sebaiknya menempuh mekanisme Judicial review (uji mayeri UU ke MK) dan legeslative review (upaya mengubah UU melalui DPR RI).

"Sedikit memakan waktu tetapi prosesnya lebih sehat, ada di jalur hukum, bukan dengan hasil tarik menarik kepentingan politik," ujar Hendrawan di Jakarta, Senin (8/10/2019), seperti dilansir CNN Indonesia.

Penolakan PDI Perjuangan terhadap penerbitan Perppu dan menjadi salah satu inisiator terhadap di revisinya UUK KPK Nomor 30 tahun 2002 menjadi UU KPK Nomor 19 tahun 2019, boleh jadi dirasakan manfaatnya saat ini.

Dalam hal ini berkenaan dengan kasus suap Komisioner KPU, Wahyu Setiawan yang terkait dengan penetapan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI yang kebetulan menyeret kader dari partai yang berlambang banteng gemuk moncong putih, Harun Masiku.

"KPK harus memperlihatkan bawa mereka semakin kuat dari pada KPK yang lalu. Tapi, semakin hari kita lihat malah makin lemah," kata Direktur Lingkar Madani, Ray saat konferensi pers di Kantor Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Manggarai, Jakarta Selatan, Sabtu (11/1).

Dalam pandangan Ray, kelemahan itu tampak ketika petugas KPK tidak bisa menggeledah ruang kerja Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto.

Padahal, diduga, Sekjen PDI Perjuangan ini ikut terseret dalam pusaran kasus suap tersebut. Bahkan, masih dikatakan Ray, sampai sekarang tidak ada terpasang garis polisi di sana. Barang bukti pun dikhawatirkan bisa raib.

Masih lanjut Ray, tim penyidik KPK juga tak bisa mengamankan Hasto yang tengah berada di Kompleks Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta Selatan, pada Rabu.

Anehnya, justeru setibanya di sana, malah tim KPK diperiksa dan diminta menjalani tes urine oleh polisi yang sedang bertugas di lokasi.

Rasa heran Ray makin kuat, paska mengetahui pimpinan KPK tidak marah sama sekali ketika para penyidiknya diperlakukan seperti itu. Padahal, Ketua KPK Firli Bahuri juga dari kepolisian.

Tindakan yang dilakukan KPK berbanding terbalik dengan apa yang terjadi pada penangkapan Wahyu Setiawan atau Bupati Sidoarjo dalam kasus yang berbeda.

Hal hampir senada juga disampaikan mantan Ketua KPK, Abraham Samad. Pria kelahiran Malasar ini menilai kegagalan penggeledahan KPK di kantor DPP PDI Perjuangan adalah wujud dari pelemahan terhadap pemberantasan korupsi di bawah UU KPK yang baru.

Pernyataan Abraham Samad ini disampaikan dalam acara Kabar Petang yang diunggah pada kanal Youtubr TVOnesNews, Senin (13/1/2020).

"Peristiwa ini kita ambil hikmahnya, bahwa sebenarnya adanya polemik ini dikarenakan hasil dari revisi undang-undang KPK sebelumnya," terang Abraham.

Padahal, masih diungkapkan Abraham, dalam UU KPK sebelumnya tidak ada mekanisme aturan tentang harus adanya izin melakukan penggeledahan.

"Oleh karena itu, menurut saya, seharusnya kita sudah bisa menyimpulkan. Bahwa undang-undang KPK sekarang ini, yang diperlakukan ini sudah nyata-nyata melemahkan."

"Bukan melemahkan KPK nya, tapi melemahkan pemberantasan korupsinya," terang Abraham.

Jika menarik kesimpulan dari dua orang pakar tadi di atas, maka tidak salah jika kita berpikiran bahwa saat KPK saat ini sedang berada dalam titik lemah. Mereka hanya cukup ganas terhadap pihak-pihak yang tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan partai politik.

Sementara, jika dihadapkan dengan kepentingan politik, taring KPK mendadak ompong dan terlalu banyak drama. Dengan kata lain, penulis jadi menduga, kengototan PDI Perjuangan untuk menjadi inisiator revisi UU KPK dan penolakan tegasnya yerhadap penerbitan Perppu UU KPK, bisa dinikmati saat ini.

Ya, KPK seolah tak mampu berbuat apa-apa ketika menghadapi kasus yang melibatkan kader dari PDI Perjuangan tersebut. Meski begitu, penulis masih sangat berharap, bahwa dugaan ini salah besar.

Dalam hal ini, UU KPK versi revisi tetap bisa menjalankan tugas dan fungsinya dengan profesional dalam pemberantasan korupsi tanpa pilih bulu. Karena, UU KPK versi revisi ini bukan untuk dinikmati oleh partai politik, termasuk PDI Perjuangan.

Wassallam

Referensi : 1, 2, 3, 4, 5, 6

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun