Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Nongkrong Bareng bagi Warga Hulu Sungai Utara

2 Maret 2020   12:57 Diperbarui: 2 Maret 2020   15:38 297 9
Kebiasaan nongkrong di tempat umum ternyata tidak terjadi hanya sekarang. Sejak dahulu kebiasaan itu sudah ada. Tak peduli di desa, kampung maupun kota. Bedanya hanya suasananya saja.

Seperti masyarakat pedesaan yang ada di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalsel. Sejak berpuluh, mungkin beratus tahun lalu kebiasaan nongkrong telah menjadi kebiasaan masyarakatnya.

Kebiasaan nongkrong untuk yang sudah tua (berusia sekitar 40 hingga 60 tahun ke atas) biasanya selepas shalat subuh, mereka berkumpul di warung kopi dekat masjid atau mushalla. Pelajaran agama yang mereka terima sejak turun temurun mengajarkan bahwa di dalam masjid maupun musala tak mengizinkan bercapak-cakap masalah dunia. Jadi kesempatan berkumpul setelah shalat berjamaah itulah yang digunakan untuk ngobrol.

Sambil menikmati kopi panas atau teh hangat disertai kue jajan basah dan beraneka gorengan segala obrolan jadi bahan perbincangan. Kadang dari tempat ini ide-ide yang berkembang di masyarakat dimusyawarahkan.

Tentang kapan mulai melakukan awal penanaman padi, kapan mengirim karet. Berapa harga pasaran karet dan lain-lain dapat berlangsung di tempat sederhana ini. Kadang diselingi dengan cerita-cerita lucu dan teman-teman mereka yang telah meninggal.

Tidak hanya bapak-bapak, Ibu-ibu pun memiliki tempat tersendiri. Warung untuk mereka juga berbeda. Biasanya menjual nasi kuning, lapat, buras atau lepat, pundut nasi, dan wadai (kue). Obrolannya juga berbeda. Para ibu lebih sering membicarakan di mana tempat pengajian berikutnya. Siapa penceramahnya, dan kapan yasinan.

Namanya juga ibu-ibu, kalau tak diselingi ngerumpi pasti tak akan asyik. Macam-macam cerita keluarlah dari mulut mereka. Cerita tentang anak siapa sekarang menjadi apa, anak perempuan siapa dapat jodoh suami orang mana. Pekerjaannya apa dan seterusnya.

Tak jarang waktu pun berjalan. Kadang hingga pukul sembilan pagi mereka tak beringsut sama sekali. Semakin siang semakin banyak yang datang. Dan obrolan pun mengembang ke segala macam urusan.
Yang mengherankan, sepertinya tukang warung sudah terbiasa dengan kondisi ini. Jadi meskipun sekian jam duduk di warung itu hanya berbekal segelas teh dan dua biji kue saja mereka. Padahal secara perhitungan ekonomi, tukang warung akan rugi. Warung penuh, namun dagangan hanya sedikit yang laku.
Walaupun begitu, tetap saja tukang warung selalu semangat ikut mengomentari setiap obrolan yang terjadi. Katanya, dengan silaturrahmi maka rejeki akan mengalir. Jadi jangan khawatir tak kebagian rejeki. Sudah ada garisnya dari sana.

Begitulah mereka, dalam kesederhaan menapaki kehidupan. Nyatanya hidup mereka tetap berjalan dengan tenang. Budaya nongkrong di warung tetap berlangsung hingga saat ini.

Mereka tak terpengaruh adanya modernisasi. Bagi kaum tua, warung dan berkumpul setelah shalat subuh tetap mengasyikkan. Walaupun zaman berganti. Sebagian besar mereka tetap betah, tak terpengaruh adanya kafe dan restauran modern.

Nongkrong di warung adalah silaturrahmi. Bagi orang lain, mungkin saja disebut sebagai tindakan sia-sia. Membuang-buang waktu, dan sebagainya. Berbeda daerah beda kebiasaannya. Tugas kita hanya saling menghornati dan menghargai apa yang mereka percaya.

Selebihnya, jika ingin menikamati serunya nongkrong di warung setelah lepas shalat subuh datang saja dan bermalam dan berbaur dengan masyarakat pedesaan di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Kapan-kapan.***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun