Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Ironi Pendidikan Nasional, Tiada Tempat bagi Kreatifitas

10 Desember 2012   01:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:55 168 0

Kita masih menjadi bangsa konsumen sekelas fans mania yang nunut saja kemana superstar pergi. Kapan kita mau jadi super star kalau begitu?

Berikut saya posting saduran dari forum konsultasi gratis seputar dunia kreatif yang ada di blog saya.

Bapak Anu ( yang tidak mau di sebut namanya). Tanya:

Salam, Saya kirim ini bukan mau bertanya, saya hanya berkewajiban untuk mengingatkan anda. Blog anda sudah bagus dan semoga ke depannya semakin baik. Untuk itu kiranya forum konsultasi gratis yang anda kelola ini cukup di wilayah yang anda mumpuni. Kalau tidak salah seputar bisnis kreatif. Menyimak jawaban anda terhadap penannya yang bernama Mia secara sepintas seperti mengagumkan yang membaca, tetapi cara anda menjawab terlihat begitu menyepelekan pentingnya prestasi akademik. Saya juga membaca jawaban anda yang lain di artikel: Tips Jitu marketer hebat , lagi– lagi anda menyepelekan orang yang berpendidikan tinggi, dimata anda gelar hingga S3 termasuk kegiatan yang mubazir. Anda mungkin lupa barometer kemajuan suatu negara itu tergantung dari tingkat pendidikan masyarakatnya. Kalau siswa dan generasi muda terbuai dengan teori kreatif anda, untuk apa lagi ada sekolah dan kurikulum, berarti tidak perlu lagi pendidik / guru? Tidak perlu lagi universitas?wah ngawur anda! Sebagai seorang pendidik yang telah berkecimpung 25 tahun saya anggap ini bahaya laten mas...

Saya: Setelah saya minta maaf dan menjawab email tersebut..eh ternyata dibalas, begini balasannya:

Bapak Anu ( yang tidak mau di sebut namanya): Kalau anda memang gentleman dan komitmen dengan ucapan anda untuk menampilkan semua pertanyaan, coba anda jawab dan anda posting di blog anda

Jawab:

Salam hormat buat bapak Anu, Yang paling pertama saya minta maaf atas jawaban – jawaban saya yang terkait dengan pertanyaan di dua artikel yang bapak sebut di atas. Yang kedua, saya minta maaf atas ketidak nyamanan bapak dan tentunya mengganggu istirahat akhir pekan bapak. Yang ke 3 saya perlu minta maaf karena jawaban saya ini bukan untuk sok – sokan menerima tantangan bapak. Yang terakhir, ini permintaan maaf yang paling penting, karena jawaban yang akan saya berikan dan saya posting kan sesuai permintaan bapak, mungkin membuat bapak semakin tidak nyaman. Maaf, maaf, maaf dan maaf.

1. Kalau saya menjawab pertanyaan anak sekolah, bukan berarti saya keluar dari jalur tema forum konsultasi ini. Bagi saya wilayahnya tetap pada seputaran bisnis kreatif seperti yang bapak bilang. Bisnis itu kan artinya urusan pak. Kalau anak sekolah ya urusannya sekolahan. Walaupun bukan dunia dagang, tapi bisnisnya Mia atau urusannya Mia ya seputar sekolahan. Buktinya dari pengaduannya ada terjadi interaksi dan proses layaknya seperti bisnis. Bapaknya karena merasa membesarkan dia, maka berhak untuk menuntut prestasi yang tinggi. Bisnis yang fair dimana – mana ya harus seimbang antara barang, jasa, usaha, kemampuan, harga, penawaran dan permintaan. Bagi saya yang diminta bapaknya Mia, sudah diberikan oleh anaknya dengan baik, bahkan lebih. Cuma persepsi prestasinya saja yang saya luruskan. Product knowledge nya yang saya re enginering, yang saya rubah tolak ukurnya, mindset nya. Bagi saya urusannya Mia ya seperti bisnis dan karena anak itu kreatif, maka jadilah bisnis yang kreatif J

2. Minta maaf kalau jawaban saya mengagumkan. Itu bukan salah bunda saya mengandung, bukan salah saya juga kenapa dilahirkan dan lebih lebih lagi bukan salah Tuhan yang mentakdirkan saya lahir, besar, pintar, menulis jawaban dan mengagumkan. Mungkin salah yang mendidik, tapi saya tidak mau ah salahkan siapa – siapa. Kita salahkan pemerintah Israel yang nge bom rakyat palestina saja mendingan ya pak.

3. Minta maaf, saya tidak menyepelekan orang yang bergelar tinggi. Apalagi menyepelekan institusi pendidikan, termasuk sitem, kurikulum dan guru – gurunya. Kalau bapak mau tahu apa yang semestinya saya lakukan mengenai pendidikan sekarang? Ehemmm...Kalau saya jadi presiden, saya akan bubarkan institusi pendidikan yang ada, saya minta menteri pendidikan membuat revolusi pendidikan. Sebagai presiden, saya nggak mau repot, saya cukup kasih briefing singkat: Perhatian semua yang hadir, awas jangan sampai ada yang tidur, dengarkeun baik – baik, mulai hari ini bikin transformasi bin reformasi bin revolusi pendidikan nasional, saya mau terima satu format balance score card yang isinya Cuma dua hal, yes dan no tentang kepatutan yang harus di hilangkan, dirubah, diperbaharui dari sistem yang lama untuk acuan sistem yang baru.

Nah, kalau ternyata saya Cuma jadi menteri, maka yang akan saya lakukan pertama sekali adalah:

1.) Hapus semua gelar dan titel, yang lulus sekolah cukup menyandang status: LULUS! Yang tidak lulus ya tidak dapat status alias belum lulus alias sekolah lagi. Bagi saya gelar buat kondisi sekarang sudah tidak relevan. Gelar Cuma bikin orang sombong. Gelar tidak mencerminkan kepandaian dan keahlian sebenarnya. Gelar Cuma menghabiskan uang, menguras tenaga, keringat, airmata, harta benda, sawah, ladang, kerbau, bikin tambah utang di rentenir dan bikin semua orang tua jungkir balik gali lubang tutup lubang agar anaknya bergelar dan belum tentu pintar dan layak menyandang gelar!

2.) Karena gelar sudah dihapus, maka hapuslah juga yang namanya RAPOR, Ijazah, sertifikat dan sejenisnya! Bagi saya sekolah lebih fair kalau tidak ada rapor. Yang perlu ada adalah balance scorecard, yang isinya bukan saja mata pelajaran tapi semua aspek yang terkait dengan pendidikan seorang manusia. Apa itu pendidikan manusia? Yaitu pendidikan yang mendidik bukan hanya otaknya saja, tapi juga mendidik unsur lainnya yang ada di dalam diri manusia. Apakah manusia itu otak yang bernafas? Otak yang berjalan? Manusia ada 3 unsur penting yang harus diajar: Akal, Hati dan jasmani.

Tidak perlu saya kemukakan teori belat belit soal ini. Dari perinsip asar humanisme saja, kurikulum sekarang memang harus di rubah total. Bapak, saya, ibu, ayah, dan seluruh masyarakat ini harus dirubah dan merubah persepsi tetang pendidikan. Manusia unggul itu adalah manusia yang unggul hatinya, jasmaninya dan akalnya..bukan unggul akal, akal dan akalnya saja.

Belum lagi kalau kita bicara wilayah kreatifitas. Mana bisa kreatifitas diukur dengan angka 10, 8, 5 dsb? Padahal kreatifitas itu bagian dari akal. Padahal kemajuan pesat peradaban sekarang ini karena ulah si kreatifitas. Bapak mau sebut apa orang seperti steve jobs, Bill Gates, steven spielberg, Mark Zukenberg, Larry Kings, Dani Ahmad, Agnes Monica, Tukul, Psy Gangnam Style? Dunia tidak menyebut mereka orang pintar, apalagi pintar karena gelar. Dunia menggelari mereka manusia – manusia kreatif. Lalu sebagai pendidik tentunya bapak sangat memahami bahwa tidak semua siswa pintar dalam pelajaran ala kurikulum sekarang. Dan ada juga kan yang memang tidak menguasai satupun mata pelajaran. Tapi apakah eksistensinya sebagai pelajar harus disisihkan? Apakah potensinya yang lain harus dibenamkan dan tidak ada jalur pengembangan potensi mereka diluar kurikulum sekarang?

3.) Bubarkan yang namanya OSIS, Senat, Menwa, Ospek dan sebagainya. Jelas – jelas itu peninggalan penjajah Belanda, kok masiiiih saja di anut – anut, di puja – puja, dilestarikan. Mendingan kita lestarikan orang utan saja. Osis, senat dsb nya itu justru menyuburkan senioritas, kesewenang wenangan, embrio belagu ala pejabat, ormas anarkis dan sok militer dan jelas amat sangat tidak demokratis! Yang menjadi korban sudah banyak. Yang sakit dan cacat sudah banyak. Coba survey dah yang pernah menjadi ketua OSIS atau senat mahasiswa? Sudah besarnya, arogan sekali, merasa paling leading padahal bleeding. Mau pemerintah bikin prestasi pun, pasti dikritik habis. Apalagi pemerintah bikin salah. Kan lucu jadinya, pemerintah yang bikin, pemerintah juga yang susah.

Maaf ya pak, saya Cuma menjawab jujur dari apa yang saya pahami dan amati. Bukan mau sok beda, sok kreatif dan melawan arus. Bagi saya protes bapak terhadap jawaban saya di forum konsultasi ini cukup menjadi bukti dan cerminan betapa ironinya dunia pendidikan saat ini dan tiada tempat bagi berkembangnya kreatifitas. Alih – alih kita mau menjadi bangsa kreatif yang mengusung industri kreatif maju setara dengan negara lain, untuk urusan fundamental saja kita masih terbelengu dan enggan melepaskan keterbelenguan. Buka saja mata kita lebar – lebar betapa dunia sedang berlomba berkreasi dan menikmati hasil kreasinya, sementara kita cukup puas menjadi bangsa konsumen sekelas fans mania yang nunut saja kemana superstar pergi. Kapan kita mau jadi superstar kalau begitu?

Untuk para pembaca, jawaban akhirnya saya posting menjadi artikel setelah dari kemarin sore menimbang baik buruknya. Saya rasa jika dilandasi dengan pemikiran yang positif, pembaca akan dapat menilai sendiri mana sisi positif yang bisa kita gali dari diskusi ini. Mohon maaf jika ada bagian yang kurang menyenangkan. Saya hanya berusaha jujur dengan diri sendiri, walaupun terasa pahit, semoga pahit pil kina. Walupun pahit, bisa menyembuhkan malaria (apa coba heuheu). Demikian dari saya, sekali lagi minta maaf, semoga bermanfaat untuk kita semua

Doddy Hidayat

Konsultan Kreatif

Artikel terkait:

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun