Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Bukan Sukarelawan Kesiangan

15 September 2019   21:20 Diperbarui: 15 September 2019   21:24 18 2



**
Hari minggu telah tiba, seperti janjinya Novi kepada putra semata wayangnya Yusuf, mereka akan pergi untuk silaturrahmi ke rumah Nova saudara kembarnya Novi.

Sesampainya di sana, Yusuf langsung berlari dan bermain dengan Affan sepupunya.

Sementara Novi dan Nova terlibat obrolan yang serius di ruang tengah sambil melihat tivi, dan sesekali juga memperhatikan gerak-gerik anak-anak mereka.

"Kak, aku mau Nglamar." Novi melemparkan ungkapan yang sudah terpendam di hati sejak lama.

"Nglamar apaan?" Nova menjawab dengan keheranan.

"Jadi sukarelawan."

"Sukarelawan apaan?"

"Ngajar."

"Hahaha, tampang serius kayak kamu, emang bisa ngajar?"

"Duh, ngremehin adik sendiri, sih. Seharusnya orang niat baik itu, di support. Ini malah di ketawain."

"Iya, deh. Maaf. Sukarelawan di mana?"

"Itu di kelas kursus kejar paket. Kasihan, kan nasib mereka. Kebanyakan gak punya biaya untuk melanjutkan sekolah. Setelah mereka menemukan peluang, baru bisa belajar lagi."

"Iya, benar kamu Novi. Mereka itu memerlukan uluran tangan kita bagi yang mampu. Kalau aku tak mampu untuk saat ini. Bayiku baru berumur 2 bulan. Sibuk setengah mati. Apalagi suamiku, pasti gak bakalan ngasih izin."

"Tampung aja azammu itu, Kak. Ini, nih, Aku. Kak Nova mesti berikan support dong."

"Iya, iya. Aku beri support. Niat baik itu satu ibadah. Apalagi sukarelawan untuk bangsa dan negara. Tapi ... kamu, serius Nov?"

"Iya, Kak. Udah kupikirin dari kemarin." Novi antusias menceritakan keinginanannya untuk menjadi sukarelawan kepada saudara kembarnya Nova.

Novi menceritakan jika pernah datang ke sebuah sekolah kejar paket A,B, dan C sekaligus. Melihat suasananya, dan sempat juga membaur dan ngobrol dengan mereka.

Betapa sangat antusias mereka belajar. Walaupun di luaran sana, masih banyak lagi teman-teman mereka yang belum berani untuk gabung belajar mengikuti kelas kejar paket ini.

Karena mereka masih banyak yang beranggapan, jika program kejar paket seperti ini, hanya sekedar mengejar ijazah semata.

Selain itu, alasan tidak mampu, sibuk dan lain sebagainya juga masih mendominasi mereka untuk menjauhi gerbang sekolah.

Mereka lupa jika belajar itu adalah menuntut ilmu, apapun bentuknya, tetap akan memberikan manfaat bagi kehidupan mereka kelak.

Novi semakin berapi-api mencweutakan angannya, jika suatu saat nanti bermimpi bisa mendirikan sekolah gratis bagi mereka yang tidak mampu.

Tapi yang bisa dilakukan saat ini, baru sebatas menjadi sukarelawan dulu untuk mengajar di sekolah tersebut.

"Lalu bagaimana dengan anakmu?" Tanya Nova serius kepada Novi.

"Kan ada, Kak Nova?"

"Anakku udah dua, Vi, yang kedua masih bayi lagi. Ribet, gak mau ahh."

"Si yusuf kan udah lima tahun. jadi gak ribet dong. Dia udah bisa main sendiri, makan sendiri, dan ke kamar mandi juga sudah bisa sendiri. Tenang, Kak, dia mandiri kok."

"Kamu, ini. Mau menjadi sukarelawan, tapi nyusahin aku. Gimana, sih."

"Ini azamku sejak beberapa tahun yang lalu. Baru sekarang bisa ada peluang untuk menyampaikan hajatku itu."

"Tapi, kan, bukan berarti harus merepotkan aku."

"Iya, sih. Seandainya mas Andre masih ada. Aku bisa titipin ke dia, sementara aku menjadi sukarelawan. Tapi sayangnya, dia sudah pergi dulu memenuhi panggilan Yang Maha Bijaksana."

Novi membuang muka, menghindar dari tatapan Nova. Menyembunyikan tetesan air mata yang mulai membasahi pipi.

Rasa kehilangan itu hadir lagi. Meskipun sudah dua tahun berlalu, kenangan tragis itu masih saja menghantui setiap langkahnya.

Apalagi saat memerlukan pertolongan seperti ini, dia merasa sendirian, hingga akhirnya merasakan orang paling malang sedunia.

Hati berbisik tiada henti, "Mas Andre, seharusnya kau masih disampingku. Tertawa bersama,meneruskan kebahagiaan yang pernah kau janjikan, dan bersama-sama membesarkan anak-anak kita hingga dewasa. Tapi, Tuhan mempunyai cara lain untuk membahagiakan kamu dan juga aku. Aku hanya insan lemah, yang tidak ada hak untuk melawan takdir Tuhan. Mas Andre ... tenanglah di sana. Tunggulah aku dan Yusuf anakmu di surga. Allah pasti akan mempertemukan kita, Mas."

Nova menghampiri dan memeluk Novi yang mulai sesenggukan, mengenang suaminya yang sudah meninggalkannya dua tahun yang lalu dalam sebuah kecelakaan maut.

Dirinya selamat, sementara suaminya menghembuskan napasnya yang terakhir di tempat kejadian.

Waktu kejadian itu,Yusuf anak semata wayangnya yang baru berumur tiga tahun, sedang berlibur di rumah Nova.

Tuhan menyelamatkan Yusuf dengan cara yang sangat bijaksana. Seandainya Yusuf ikut dalam perjalanan itu, siapa yang bisa menjamin keselamatnya?

Novi menyadari, setidaknya masih ada hadiah dari suaminya yang ditinggalkan untuknya. Ya, dialah Yusuf yang lucu dan menggemaskan, sebagai pelipur lara, disaat merasakan kesepian dan kesedihan. Hingga kini menjadi singgle parent adalah pilihan hidupnya.

Kejadian tragis itu, cukup memberikan dampak yang sangat kuat bagi kehidupan Novi beserta anaknya, Yusuf. Saat dia sedang belajar kuat, agar tidak jatuh terpuruk. Di sisi lain seorang bocah kecil yang terus meraung mencari ayahnya, menumpahkan segala kerinduan di dada. Hari-hari yang biasanya dilewati dengan kebersamaan yang indah, kini sudah musnah.

Lalu, apa nak di kata, Yusuf masih terlalu kecil, belum mengerti tentang kematian. Meskipun sering dibawa ke pemakaman ayahnya.

"Baiklah, Nov. Maafkan Aku, ya?"

"Iya, Kak, tidak apa-apa."

"Aku akan jaga Yusufmu biar dia bermain sama si sulungku. Aku akan memberitahukan dulu kepada suamiku. Ok, dear?"

"Sepertinya gak jadi, deh." Novi tersenyum dengan penuh keyakinan.

"Kenapa? Jangan merajuk begitu, ahh. Gak asik."

"Gak, Kak. Aku gak merajuk. Aku harus selalu disampingnya apapun yang terjadi."

"Kalau kupertimbangkan kembali. Biar aku bawa saja dia nanti. Toh, sementara ini jadwalku seminggu cuma sekali, kan."

"Tapi, kan seharian ngajarnya. Kasihan dia nanti, pasti kecapekan."

"Nanti, deh, Kak. Aku pikirkan lagi."

Novi menceritakan kepada Nova tentang jadwal mengajarnya lebih detail di sebuah tempat belajar paket A, B, dan C.

Tetapi para siswa yang mendaftar justru memilih kejar paket C, yang paling banyak diminati. Pihak pengelola merasa kewalahan, hingga membuka kembali lowongan bagi sukarelawan untuk mengajar berbagai mata pelajaran. Kekosongan yang ada untuk tenaga guru adalah mata pelajaran sosiologi, Pkn, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia.

Novi berminat untuk mengajar pelajaran Bahasa Indonesia. Karena bukan tanpa alasan dia memilih pelajaran itu. Bergabungnya di group literasi telah memberikan motivasi tersendiri, untuk lebih mendalami Bahasa Indonesia, terutama tentang kepenulisan.

Karya-karya para author baru di dunia literasi, telah membukakan mata dan hati, bahwa dunia ini cukup luas untuk berkarya. Masih banyak peluang terbentang untuk berkarya.

Mengapa dibiarkan saja diari perjalanannya di sebuah almari? Ataupun dalam sebuah ingatan yang kadang tenggelam, kadang juga timbul, jika memang kisah itu bisa dinikmati dan menjadi hikmah untuk orang lain. Apalagi interaksi dengan klien yang setiap hari datang di kantor kerjanya, cukup memberikan banyak inspirasi menulis.

Setelah berpikir cukup lama, dengan pertimbangan di sana sini. Novi berani mengajukan lamaran untuk menjadi sekarelawan. Ya, seorang guru part time, yang mengajar tanpa pamrih apa-apa. Justru dia merasa terpanggil untuk berbakti pada nusa dan bangsa.

"Nov, ada gajinya gak?"

"Namanya juga sukarelawan, Kak."

"Jadi?"

"Bekerja ataupun pengabdian tanpa pamrih. Ya, bisa juga disebut Lillahi Ta'ala. Karena Allah, Kak."

"Lalu, apa yang kamu dapat dengan mengajar? Sementara selama jam pelajaran berlangsung, kamu meninggalkan anakmu yang masih sangat memerlukan perhatianmu. "

"Perjalanan hidup ini, tidak semua hanya di nilai dari segi uang, kebendaan ataupun materi. Aku juga punya pekerjaan utama dengan gaji yang lumayan cukup untukku dan anakku. Entahlah, yang jelas aku merasa terpanggil untuk mengabdi pada nusa dan bangsa. Aku juga tidak mengabaikan anakku."

"Tapi, kamu yakin, kan, dengan pilihanmu?"

"Insyaallah, sangat yakin, Kak. Selain reguler keseharian yang kulalui, aku ingin hidupku bermanfaat untuk orang lain. Mungkin dengan cara seperti ini, aku bisa melupakan mendiang almarhum mas Andre."

"Iya, sabarlah. Aku doakan kamu mampu melalui ini semua. Jangan terlalu dipikirkan yang sudah tiada. Dia sudah tenang di sana. Aku support kamu, percayalah."

"Terima kasih, Kak."

"Aku akan bantu kamu, aku akan jaga Yusuf ganteng, ya?"

"Bener, nih?"

"Iya, bener. Setiap minggu antarkan Yusuf kemari, ya?"

"Adakalanya nanti minta tolong, tapi adakalanya aku jaga dia. Aku akan bawa dia, agar dia mengerti kerjaan bundanya. Agar dia belajar apa itu sukarelawan."

"Kok begitu Nov. Kamu masih marah ya, dengan ucapanku tadi?"

"Demi Allah, tidak. Tapi belajar terus untuk membiasakan diri agar kuat. Betul kata, Kak Nova. Mas Andre itu sudah menjadi kenangan. Aku harus bangkit dan melupakan. Jika mentari tersenyum dan menyapa bumi setiap hari. Lalu, Aku? Aku bisa apa? Biarlah aku akan belajar dari senyumnya, sapaannya, dan juga hangatnya yang selalu dinanti bumi."

"Kamu bisa Novi. Aku percaya kamu."

"Terima kasih, Kak Nova."

Nova buru-buru berlari ke kamarnya, saat mendengar suara tangis bayi. Sementara Yusuf dan  Affan masuk ke rumah. Yusuf berbicara kepada Novi, menagih janji untuk datang ke pemakaman ayahnya.

"Ehh, udahan mainnya, ya? Sini ...."

Yusuf dan Affan mendekat ke kursi Novi, kemudian dipeluknya dua bocah yang akur dengan penuh rasa gembira. Jarang-jarang saudara sepupuan bermain tanpa diringi irama berantem. Tapi mereka berdua sangat unik, akrab dan akur sekali.

"Bunda, Yusuf rindu Ayah. Kapan kita bisa jumpa Ayah?"

"Iya, sayang. Ini sudah sore. Yuk, kita jalan. Pamitan dulu sama tante Nova, Affan dan baby. Ok?"

"Ok." Jawab Yusuf girang.

Setelah berpamitan dengan Nova dan keluarganya. Novi dan Yusuf melajukan mobilnya menuju pemakaman Andre.

Sudah satu bulan tidak di datangi, rumput di sekitar makam, sudah banyak dan tinggi. Novi berinisiatif untuk membersihkannya.

Sebelum turun dari mobil, Novi mengambil dua pasang sarung tangan yang terbuat dari kain, untuk melindungi kulit tangan.

"Kita bersihkan dulu, sayang ya? Habis itu, baru kita doakan Ayah, agar diampuni Allah, dan masuk surga."

Yusuf mengangguk, dengan tersenyum manis. Tetapi diiringi dengan lelehan bening yang membasahi pipi cabinya.

Novi memeluk Yusuf dan berbisik di telinganya, "Bunda, ada di sini, sayang. Nah, ini sarung tangan buat Yusuf, sini ... bunda bantu pakaikan. Ulurkan tanganmu."

**

Novi menjalani rutinitas dengan sangat antusias. Keikhlasan menerima takdir Tuhan dikemas dalam wujud binar kebahagiaan, mulai terpancar dari wajahnya.

Bingkai memelas yang beberapa waktu yang lalu sering muncul, kini hampir tidak pernah datang lagi. Tinggalah penantian keajaiban Tuhan yang akan datang menemui langkah berikutnya.

Hari Senin sampai Jumat melakukan aktifitas di kantor. Hari Sabtu memberikan waktu sepenuhnya untuk Yusuf, sambil membuka materi untuk persiapan mengajar esok hari. Hal inilah yang dia nanti untuk dinikmati prosesnya.

Ada kelebihan menjadi seorang guru. Kenapa? Mau tidak mau akhirnya akan belajar teori. Mengulang, dan mengingat kembali teori yang pernah dipelajari dulu ketika zaman kuliah. Dia sangat paham resiko menjadi guru, harus menguasai teori sebelum masuk kelas.

Novi merasa mendapatkan kelebihan yang lain, saat memilih pelajaran Bahasa indonesia, secara tidak langsung menjadi belajar teori tentang literasi. Meskipun saat ini baru sebatas pembaca setia di group literasi.

Masih ada harapan kelak di kemudian hari, di sela-sela jadwal kesehariannya yang padat, mungkin bisa belajar berkarya seperti para author yang lain.

**

Kadang-kadang Yusuf diantar ke rumah kembarannya Nova. Tapi kadang dibawanya ke tempat mengajar. Anak yang comel ini, sangat memberikan kekuatan yang dahsyat untuk meneruskan hidupnya.

"Kak, nitip Yusuf Ya. Kalau dia nakal, ditegur saja. Jangan dimanjakan. Nanti kebiasaan."

"Iya, tapi aku gak mau membentak. Dosa nanti aku, membentak anak yatim."

"Kak, Nova?"

"Anggaplah dia seperti anakmu sendiri. Biar enak menjaganya."

"Iya, iya. Bawel banget kamu sekarang ya. Ya sudah sana berangkat."

"Sayang ikut tante Nova ya. Bunda mau mengajar dulu. Entar sore, bunda akan jemput."

"Iya, Bunda." Yusuf mencium tangan Novi, dan beralih mencium tangan Nova, kemudian bocah kecil itu berlari ke dalam rumah, untuk mencari saudara sepupunya Affan yang sedang menonton tivi. Sementara Novi beranjak meninggalkan Nova.

"Kak, aku berangkat dulu, ya?" Novi berpamitan kepada Nova.

"Nov!" Nova memanggil dengan tegas.

"Ya." Novi menjawab dengan selamba.

"Kamu udah berani nglamar menjadi sukarelawan. Aku ikut senang Nov. Tapi ...."

"Tapi, apa?"

"Semoga segera hadir laki-laki baik, yang berani nglamar menjadi sukarelawan untuk mendampingi kamu."

"Kak Nova? Ngomong, apaan. Sih, Kak?"

"Iya, kakak berdoa untukmu."

"Aamiin, didoain ibu salihah. Walau nggak yakin. Mana ada laki-laki yang mau sama janda beranak satu, sementara di luar sana, banyak dara yang cantik dan juga baik."

"Huss, diam. Nanti aku comblangin ama temen suamiku. Mau, ya?"

"Isy, apa-apaan, sih. Makin ngaco ajah. Udah, deh. Aku berangkat dulu."

Nova tersenyum, karena berhasil ngejahilin Novi. Walaupun sebenarnya juga serius niatnya ingin membantu adik kembarnya menemukan jodoh.

Sementara Novi masuk ke mobil, dan melajukannya menuju ke lokasi mengajar.

Dia bersyukur, akhirnya bisa sampai ke tahap ini. Berani melangkah untuk nglamar menjadi sukarelawan, mengambil satu komitmen.

Nova berharap, semoga uluran tangannya walau bukan berupa uang, dan hanya sebuah pengabdian ilmu yang diberikan tanpa pamrih, bisa bermanfaat untuk orang lain. Terima kasih Ya Allah, atas semua nikmat-Mu.

**
Diyah Kalyna
Bandar Seri Begawan, 15 September 2019

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun