Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Pilpres, Mencari Manusia Setengah Dewa

6 April 2019   17:51 Diperbarui: 6 April 2019   17:55 161 3
Lee Ritenour adalah gitaris yang asik. Permainan gitarnya mengajak orang lain untuk ikut berdendang.

Di Indonesia, ia sempat berkolaborasi dengan grup musik Karimata. Salah satu gubahan yang mereka mainkan adalah Rainy Days and You. Keelokan hujan yang merinai menghadirkan kerinduan tentang pribadi yang sering bermain di bawah hujan.

Ketika kesempatan itu berlalu, rinai hujan menyimponi-melagukan kerinduan. Hujan mengingatkan pada kegembiraan bermain hujan. Tatkala hujan datang lagi, rinainya membuat rasa rindu membuncah. Tanpa kehadiran dan permainan di bawah hujan, rinai yang menyimponi berubah menjadi rasa rindu: ..the rainy without you makes me blue.

Ketika Lee ditanya tentang koleksi gitarnya yang keren-keren, ia menjawab: "The problems are not about the guitars". Orang bisa saja memiliki koleksi gitar yang banyak dan super keren. Tetapi itu hanya satu hal. Hal lainnya adalah bagaimana gitar-gitar itu dimainkan. Gitar, pemainan dan komunikasi permainan adalah satu kesatuan.

Pun di dunia sepakbola. Berkumpulnya para pemain kelas wahid dan pemain top tidak lantas membuat sebuah klub menjadi luar biasa. Masih perlu kerja keras. Mengorganisasi permainan. Mengomunikasikan permainan.
Franz Beckenbauer, Rinus Michels, Pep Guardiola atau Alex Ferguson adalah sejarah tentang kepiawaian mengorganisasi kelebihan dan kekurangan pemain untuk menghadirkan simponi rinai hujan yang membuat rindu tentang sepakbola yang selalu bergerak dinamis. Mengatasi keterbatasan secara bersama untuk mencapai tinggi derajat kualitas permainan.

Jokowi adalah sosok dengan kehebatan para manajer sepakbola di atas. Di tengah kompromitas partai politik yang haus kekuasaan, Jokowi menghadirkan kediriannya yang memukau. Sri Mulyani, Susi Pudjiastuti, Ignatius Jonan, Basuki adalah sebagian deretan kualitas pilihan Jokowi. Insting yang luar biasa. Meski Puan Maharani dapat ditengarai sebagai cara Jokowi melakukan pendekatan win-win solution dengan Megawati. Tetapi apa mau dikata. Itulah realitas politik yang syarat dengan bagi-bagi roti kekuasaan alih-alih bekerja sepenuhnya untuk rakyat.

Meski tidak mengemuka, kubu O1 pasti sudah sibuk dengan bagi-bagi kursi menteri. Kubu 02 juga begitu. Sekian untuk partai Mbah Anu. Sekian untuk partai Lik Anu. Sekian masih dipertimbangkan. Dan seterusnya.

Dalam tata kabinet presidensial, presiden adalah tokoh sentral. Dibantu skuad menteri untuk banyak bidang yang perlu diperhatikan. Untuk menuju RI-1 ada deretan proses yang panjang. Soeharto harus menyingkirkan Soekarno. Habibie harus tampil ketika situasi berubah cepat. Gus Dur dan Megawati melanjutkan proses demokrasi ala Indonesia yang rumit. Dan SBY secara gemilang "mblirit" dari kabinet Megawati untuk kemenangan dua periode yang dibumbui banyak keluhan yang dramatis dan tanpa sapa pun jabat tangan untuk sekian tahun kemudian di antara keduanya.

Presiden seperti manusia setengah dewa. Manusia "linuwih" yang dipuja-puji. Kalau ia bukan setengah dewa setidaknya ada barisan yang siap mendewa-dewakan. Dianggap sebagai dewa dengan otoritas kepresidenan yang besar. Jabatan dan konsekuensi yang juga besar.

Dengan sisa hari yang tinggal sekitar sepuluh hari, ada dua kandidat yang tampil. Jokowi yang terus berjalan naik mulai dari walikota, dan Prabowo yang sudah kesekian kali maju sebagai kandidat presiden.

Barisan di antara kedua kandidat itu yang berderet memanjang di belakangnya akan ikut menentukan bila terpilih. Presiden adalah jabatan penuh kompromi. Harus menarik gerbong panjang dan besar yang syarat kepentingan. Kepentingan para partai politik pengusung. Kepentingan politikus. Politikus yang boleh menyandang predikat bersih sampai KPK menyiduk mereka.

Politisi di Indonesia itu enak. Untuk dianggap bersih cukup tidak berurusan dengan komisi anti rasuah. Sejauh tidak masuk dalam list KPK maka masih boleh melenggang bebas dan menari garang sebagai orang bersih. Lainnya adalah diadili oleh sistem media sosial yang berlaku saat ini. Seperti Ferdinand Hutahaean yang harus berdiri gagah hanya dengan hanya kancut berwarna merah. Akunnya dibajak, klaimnya.

Atau seperti Andi Arif yang kedapatan meletakkan alat kontrasepsi di meja hotel saat ditangkap polisi ketika mengonsumsi sabu. Dulu kepolisian diharapkan akan menjadi sapu pembersih koruptor negeri ini. Tetapi itu masih hanya sebuah impian.

Densus 88 sejauh ini masih menjadi kabar baik tentang kinerja polisi.

| Prambanan | 6 April 2019 | 17.17 |


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun