Mohon tunggu...
KOMENTAR
Seni Pilihan

Seni Menulis Fiksi Seperti Meracik Masakan

25 Januari 2023   08:02 Diperbarui: 25 Januari 2023   12:52 416 20


Menulis fiksi adalah minat saya. Ide dalam menulis fiksi--buat saya pribadi--bisa didapat di mana saja. Entah itu pada saat sedang di jalan, di pasar/swalayan, atau di mana-mana hatiku senang. Biasanya, ide itu akan muncul setiap saat, bila sudah muncul sebuah ide--langsung saya "keep " dalam pikiran--kemudian saya tulis dalam note.

Setelah ide didapat, selanjutnya akan saya kembangkan dalam bentuk tulisan. Namun, semua itu tidak cukup hanya menuangkan apa yang ada dalam pikiran begitu saja (secara mentah). Tetapi yang sering kali terjadi, pada saat saya sudah menyelesaikan sebuah tulisan--dalam hal ini cerita fiksi--ada kecenderungan untuk langsung mem-publish-nya begitu saja. Akibatnya tulisan yang saya buat menjadi tidak matang.

Hal ini kemudian ada hubungannya dengan respon pembaca. Tidak jarang ada pembaca, yang tidak bisa menangkap apa yang sedang saya ceritakan. Karena pembaca--menurut saya--juga bisa dikelompokkan dalam berbagai kriteria, seperti :

- Pembaca yang mengharapkan detil yang jelas dari cerita yang saya tulis. Misal : "Sepertinya perlu penjelasan dalam satu paragraf lagi, soalnya aku blunder bacanya..." (itu karena saya suka menggantung ending cerita, wkwk).

-Pembaca yang mengharapkan penulis tidak terlalu detil menjelaskan sebuah kisah. Misal : "Nggak perlu menceritakan panjang lebar, kita sebagai pembaca udah tau kok maksudnya..." (salah lagi, wkwkw).

- Pembaca yang menuntut cerita yang ditulis ada kelanjutannya. Misal : "Lanjutannya ada gaaa..." (kalo dibikin lanjutannya, ceritanya jadi tidak seru lagi menurut saya. Kriteria pembaca seperti ini yang selalu menuntut happy ending).

- Pembaca yang oke oke saja dalam merespon tulisan kita, kemudian merespon tulisan itu dengan puji-pujian. Misal : "keren, mulus meluncur kalimat demi kalimat. Membawa pembaca seperti berada di sana dan ending yang "unbelieveable".

Dari semua kriteria pembaca tersebut, yang "berguna" buat saya pribadi, adalah pembaca yang bisa memberikan kritik membangun. Dan bukan hanya dengan memberikan puji-pujian. Walaupun dengan tidak mengurangi rasa hormat, saya tetap berterima kasih kepada pembaca yang mengapresiasi tulisan dengan pujian. Asalkan itu adalah sebuah pujian yang jujur, saya akan sangat senang sekaligus sebagai penyemangat dalam menyajikan sebuah tulisan.

Kegagalan penulis dalam menuangkan sebuah tulisan berkaitan dengan respon pembaca. Seperti bila kita sedang memasak, harus pandai pandai meramu masakan supaya jadi lezat dan dapat diterima/digemari. Begitupun dengan tulisan, harus fresh dan mempunyai komposisi bumbu yang tepat. Jangan kebanyakan micin, supaya tidak membuat pembaca enek.

Tulisan ini saya buat karena ada beberapa tulisan fiksi (saya) yang "gagal" ditangkap oleh pembaca. Hal ini tentu saja menjadi pembelajaran buat saya. Menulis tidak semudah menyesap kopi dalam cangkir, pun tidak sesulit membuat nasi tumpeng. Tapi menulis itu membutuhkan sebuah seni dalam menuangkannya. Menulis juga membutuhkan proses belajar, terutama mengenal tanda baca dan eyd, plot dan pov (fiksi, artikel dll), dan banyak membaca sehingga paham literasi. Setidaknya hal ini merupakan proses bagi penulis yang sedang belajar menulis secara otodidak dan mengedit sendiri tulisannya.

Awal-awal menulis, saya pernah di posisi "semau gue" dengan alasan ingin menjadi diri sendiri. Apakah salah? Nggak juga sih--ada yang pernah bilang begitu. Tidak salah menurut saya tapi di mata editor bisa jadi itu merupakan sebuah kesalahan besar. Tidak jarang naskah diacak-acak, plus komentar yang membuat hati teriris pilu. Sampai terlintas dalam pikiran "apakah tulisanku senista itu?".

Dan memang pada kenyataannya editor ternyata lebih kejam dari ibu tiri. Dan itu adalah proses yang harus dilalui oleh setiap penulis apabila sudah berhubungan dengan editor pererbitan. Jadi menulis itu butuh proses, bukan (hanya) karena ikut kelas kepenulisan ujuk-ujuk langsung tenar "to the max" (bahasa Indonesia nya apa ya ujuk-ujuk?). Penulis sekelas JK Rowling pun pernah ditolak tulisannya oleh penerbit.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun