Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana Pilihan

Fiksi: Berlari Bersama Kucing

14 Agustus 2021   18:09 Diperbarui: 14 Agustus 2021   18:11 432 8
Aku mengedarkan mataku ke jalan gang depan rumah. Kutelusuri rumah dari rumah, juga tiang listrik di mana Nero biasa duduk melamun di sana. Tapi bayangan sosok kucingku tak ada. Ke mana ia? Ia seperti lenyap begitu saja. Aku merindukannya.

Sore ini aku tak bisa menahan rasa rinduku. Nero, kucingku, ke manakah dirimu. Tujuh tahun bersama Nero, bukan waktu yang singkat. Momen-momen bersamanya selalu kukenang.

Kutitipkan pesan ke kucing-kucing di halaman. Bilang ke Nero untuk segera pulang ya. Opal, kucing ala kucing Benggala, mengeong. Sepertinya ia paham kata-kataku dan meresponnya.

Malam ini aku hendak menutup jendela ruang tamu. Kudengar meongan yang kukenal. Lalu sesosok kucing oren muncul dari pintu kucing.

Itu Nero. Aku antara lega dan terkejut. Oh betapa senangnya melihatnya. Ia agak kotor dan kurus, namun ia tetap Nero kucingku.

Kuambil wadah makanan kucing dan kuisi dengan makanan kering kesukaannya. Juga kubuka satu sachet makanan kegemarannya. "Nero, ini salmon mackarel kesukaanmu."

Aku menyodorkan dua makanan kucing itu di depannya. Sementara tanganku menjangkau ke kepalanya. Aku ingin mengelus dan memeluknya. Seperti biasanya.

Tapi ia menghindar. Ia menatapku. Lalu ia berbalik, berjalan menuju pintu kucing. Ia berhenti menengok ke arahku. Seperti berkata, ayo ikut.

Aku tak paham. Tapi aku seperti terhipnotis dan mengikutinya. Aku buka pintu depan. Nero tetap melengang ke halaman dan menuju jalan depan rumah.

Nero, jangan pergi. Aku masih ingin bersamamu.

Aku tercenung dan melihatnya dengan santai melewati pagar. Di jalan ia berhenti menghadapku. Lagi-lagi seolah-olah berkata, ikuti aku.

Entah apa yang terjadi padaku. Aku seperti terhipnotis. Aku mengikuti Nero. Membuka gembok pagar dan berjalan mengikutinya.

Langit begitu penuh bintang. Lampu jalanan juga menyala sehingga jalan kompleks ini tak begitu gelap.

Aku berpikir apa yang akan kukatakan ke pos satpam di ujung. Berjalan malam-malam dengan seekor kucing. Aku hanya mengenakan celana dan baju tidur juga sandal jepit.

Nero suka menengokku. Ia seperti memastikan aku tetap bersamanya.

Oh Nero aku menyayangimu. Aku akan berjalan bersamamu hingga ujung kompleks ini. Lalu kembalilah ke rumah bersamaku.

Nero berhenti. Ia menghadapku lurus. Aku juga ikut berhenti. Lalu sepertinya aku mendengar kata-katanya di benakku.

"Jangan takut. Berlarilah bersamaku malam ini. Hanya malam ini."

Aku masih mencerna kata-katanya. Tapi, Nero keburu melesat. Ia berlari. Aku mengejarnya.

Aku tak peduli. Jalanan kompleks begitu sepi. Tak ada orang berjalan saat malam di situasi pandemi ini. Aku berlari.

Rasanya langkahku ringan. Aku tak kelelahan berlari. Angin malam yang berhembus membuatku tak berkeringat. Aku terus berlari.

Aku tak menemui satpam di posnya. Pos mungil itu nampak kosong.

Nero berbelok di pertigaan. Aku tahu di sana mengarah ke pemukiman warga yang jalannya menurun, menuju sungai. Eh Nero stop ini udah terlalu jauh.

Nero tak melambatkan lajunya. Kami berlari menuju jalan yang menurun. Pelan-pelan Nero, nanti kita bisa jatuh tergelincir atau menggelundung.

Nero tak peduli. Sepertinya Nero nampak lebih besar dan lebih bersih.

Kami terus berlari. Langkahku yang ringan seperti melayang. Oh tidak, aku tersandung, aku harus menyeimbangkan diriku.

Sebuah petir melintas. Aku terkejut. Kucari Nero. Ia tak ada di depan. Ia rupanya ada di sebelahku. Menguatirkanku.

Aku tak apa-apa, Nero.

Lalu aku terkejut. Sangat terkejut. Di mana aku sekarang? Jalan yang menurun mengarah ke pemukiman warga telah berubah. Ini kebun bunga dengan sungai yang mengalir di sisi kiri.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun