Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Dunia Bunga yang Terancam

14 Juni 2021   03:14 Diperbarui: 17 Juni 2021   00:45 490 15
"Aduh!" seru si gadis.

"Kenapa?" si nenek dibelakangnya bertanya.

"Terlalu ketat, Nek!"

"Ketat apanya? Setelan ini pas buatmu. Anak tuan pengacara itu pasti terpesona melihat kau memakai gaun cantik ini."

"Oh, aku tak sempat membayangkannya." Kata si gadis sambil meringis penuh keringat.

Sore itu, si gadis hendak pergi ke rumah pengacara. Ia diundang pesta, karena anak si pengacara akan pindah ke luar kota. Jadi sebelum anaknya pindah, ia mengundang semua orang untuk datang ke rumahnya, termasuk si gadis.

"Kenapa kau ikut?" tanya si gadis sambil berjalan kesana.

"Kalau aku tak ikut, aku sendirian di kamarmu." sebuah suara terdengar dari dalam tas si gadis.

"Huh, kau selalu mengikutiku kemanapun aku pergi. Saat aku tidur kau ikut tidur disebelahku. Saat aku pergi keluar kau juga meminta ikut. Kau memang tak betah sendirian ya?"

"Haha. Sendirian akan membuatmu bingung mau melakukan apa. Jadi aku mengikutimu biar ada teman berbagi bingung."

"Kalau bingung tak usah dibagi. Kasihan temanmu, tahu."

"Ya deh, maaf. Tapi aku kan tak selalu mengikutimu. Buktinya aku membiarkanmu menjaga toko bunga itu bersama nenek seharian."

"Hah, sudahlah. Ngobrol denganmu membuatku capek!" lalu si gadis membuka tasnya, dan mengintip ke dalam tas itu sambil memperingatkan, "Jangan merusak pestaku." Lalu ia menutup tasnya lagi, dan beberapa saat kemudian sampailah ia di rumah si pengacara.

Di rumah itu, ia disambut oleh tuan pengacara dan dipersilakan masuk. Si gadis berjalan ke dalam rumah. Setelah melewati beberapa kerumunan tamu undangan lain, ia bertemu dengan anak lelaki tuan pengacara.

"Aku senang kau datang." kata pengacara muda itu.

"Aku bawa sesuatu untukmu." kata si gadis. Ia merogoh ke dalam tasnya dan memegang kelopak bunga mawar, lalu merogoh bagian tas lain dan mengambil sebuah kotak kecil. Kotak kecil berwarna merah itu ia berikan kepada lelaki itu.

Kotak itu berisi sebuah arloji kecil. Lelaki itu tampak senang, dan langsung memakainya di tangannya yang kurus.

"Pas sekali. Kebetulan arloji yang lama sudah rusak. Terimakasih."

"Tak apa. Aku pikir seorang pengacara sepertimu pasti punya jadwal yang padat. Jadi kupikir dengan arloji itu, kau tak ketinggalan jadwalmu."

"Yah, benar. Pengacara baru sepertiku memang punya jadwal yang tak sedikit. Sekarang saja, aku sudah direpotkan dengan beberapa klien."

"Bukannya itu bagus?"

"Tentu saja bagus. Tapi disana aku tinggal seorang diri. Aku tak tahu harus berteman dengan siapa disana."

Dari dalam tas si gadis, terdengar suara kemeresek.

"Apa kau tak mau mempertimbangkan ajakanku lagi?"

"Maaf, aku tak bisa. Aku menemani nenek menjaga toko."

"Sayang sekali ya."

Lalu tuan pengacara masuk ke tengah ruangan dan memberi sambutan. Ia berbicara dengan agak formal, seperti saat berbincang dengan para kliennya yang minta pertolongannya. Sesekali ia melontarkan lelucon dan berhasil membuat mereka tertawa. Lalu para tamu dipersilakan menikmati hidangan makanan dan minuman di atas meja. Mereka menikmatinya sambil ngobrol -- ngobrol sampai malam. Dan satu per satu tamu pun pamit, termasuk si gadis.

"Kau ini bagaimana? Diajak lelaki tampan seperti dia malah tak mau?" kata bunga mawar saat perjalanan pulang.

"Dia cukup tampan sih. Tapi aku tak bisa menerima ajakannya, karena tujuan kami tak sama."

"Tapi dia tampaknya teman yang baik. Tega sekali kau tak meneruskan pertemanan itu."

Lalu si gadis membuka tasnya, memegang tangkai bunga mawar itu dan menatapnya.

"Kenapa tidak kau saja yang menemaninya? Bukannya kau sering kesepian saat kutinggal menjaga toko bunga? Kalian berdua butuh teman kan."

"Haha, kau ngomong apa? Tak mungkin aku ikut dengan lelaki itu pindah, karena dia tak bisa kuajak ke dunia bunga!"

"Huh, terserah!" Lalu si gadis menaruh bunga mawar itu di tanah, membiarkannya berjalan di belakangnya.

"Hei, masukkan aku ke dalam tasmu! Jaraknya masih jauh, tahu!"

"Jalan sendiri!" kata si gadis sambil meninggalkannya.

Saat kedua makhluk itu berjalan di tengah kegelapan malam, tiba -- tiba ada yang aneh dengan tempat itu. Bunga -- bunga yang tadinya masih segar, perlahan menjadi kisut dan mati. Wabah itu kembali, memakan para bunga hingga tersungkur di atas tanah.

"Penyihir itu.." kata si gadis.

"sepertinya mulai beraksi." kata si mawar.

Lalu si mawar mengajak si gadis segera pergi ke dunia bunga untuk memeriksa apa yang terjadi. Tapi si gadis menolaknya. Ia harus pulang dulu.

"Tak mungkin aku ke dunia bunga dengan gaun ketat seperti ini. Membuatku tak bisa bergerak dan terus berkeringat."

Setelah berganti baju, keduanya pergi ke dunia bunga. Mereka tiba di atas bukit, tapi bunga -- bunga itu sudah hilang. Dan saat mereka melihat ke bawah, tampak sulur -- sulur hijau tanaman mandrake menghiasi tanah itu dengan rimbun. Sebelum kegelisahan mereka usai, mereka menemukan sehelai daun bunga yang terjatuh di sekitar bukit itu. Si gadis memungutnya.

"Dahlia."

"Banyak dahlia yang mati dimangsa mandrake. Tapi daun yang satu ini tampak masih segar."

Si mawar menyela, "Apakah dia masih hidup?"

"Entahlah. Mungkin saja begitu. Yang jelas, mandrake itu tak bisa dibiarkan terus. Kita harus bertemu dengan penyihir itu."

"Berarti kita harus ke kastil itu."

Mereka memandang jauh ke seberang. Tampak satu bukit yang hijau dan asri, dan di puncaknya ada sebuah kastil berdiri dengan kokoh. Penyihir yang mengendalikan mandrake itu ada di dalam kastil itu. Si gadis dan si mawar harus berjalan kesana untuk menghentikan ulahnya. Namun mereka ingat, mereka hanya berdua, sedangkan penyihir itu dikelilingi ribuan sulur tanaman mandrake jahat. Mereka tak mungkin pergi seorang diri kesana.

"Ini sulit." kata si gadis.

"Yah.. benteng kita kemarin memang bisa menahan serangan mereka. Tapi kalau bertahan terus, penyihir itu akan menguasi dunia bunga ini." kata si mawar.

"Benar. Jadi kupikir sekarang waktunya kita mengejutkan mereka."

"Apa yang akan kau lakukan?"

Si gadis tampak berpikir, dan sebelum ia menjawab pertanyaan si mawar, tiba -- tiba malam itu turunlah hujan.

"Disini sering hujan?"

"Ya. Akhir -- akhir ini ramalan cuaca bilang begitu."

Lalu si gadis mengajak si mawar pulang, karena ia tak mau basah kuyup karena kehujanan, dan menemukan sebuah rencana kecil untuk ia lakukan.

Tamat

Cerita sebelumnya:
Muslihat Bunga Anggrek

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun