Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Artikel Utama

"Kutukan Lumpur Lapindo"

6 Maret 2010   12:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:35 1953 0
[caption id="attachment_87684" align="alignright" width="300" caption="Lumpur Lapindo/Admin (Kompas/Iwan Setiyawan)"][/caption]

Senin, 29 Mei 2006, sekitar pukul 22.00 WIB, di sekitar 150 meter dari lokasi pengeboran minyak bumi Sumur Banjar Panji-1, desa Renokenongo, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur,  tiba-tiba muncul semburan lumpur panas dari perut bumi dengan ketinggian sekitar 50 meter.  Semburan lumpur panas terus menyembur dari perut bumi dengan kapasitas mencapai 25.000 meter kubik perhari  itu selanjutnya dengan tanpa belas kasihan sedikitpun kemudian menerjang terus menenggelamkan  dan memusnahkan untuk selamanya apa saja yang dilaluinya.

Dari lokasi pengeboran minyak bumi yang dioperasikan oleh P.T. Lapindo Brantas Inc, milik keluarga Aburizal Bakrie inilah awal malapetaka bagi penduduk sekitar sampai radius beberapa kilometer jauhnya, dan kemudian menjadi bencana nasional karena merusak dan memusnahkan beberapa infrastruktur vital dan merugikan negara sampai triliun rupiah.

Sama seperti Lumpur Lapindo yang menenggelamkan segala sesuatu yang dilaluinya untuk selamanya tanpa belas kasihan, demikian juga ribuan penduduk korban lumpur tersebut. Alih-alih mendapat bantuan cepat dan memadai dari pihak Lapindo, maupun perhatian serius dari pemerintah, mereka pun diperlakukan dengan tanpa belas kasihan.

Di awal-awalnya saja "Lumpur Lapindo" itu telah "sukses" memusnahkan untuk selamanya  ratusan desa dan pemukiman penduduk, puluhan ribu rumah,  puluhan sekolah, rel kereta api di Desa Siring-Jatirejo, jalan tol Porong, jembatan overpass Siring, pipa gas Pertamina, pipa PDAM (yang sempat menyebabkan penduduk Sidoarjo kesulitan air bersih), puluhan pabrik (menyebabkan ribuan orang buruh tiba-tiba kehilangan pekerjaannya), beberapa korban jiwa manusia, dan masih banyak lagi.

Yang paling sengsara adalah  ribuan rakyat kebanyakan yang tiba-tiba kehilangan tempat tinggal dan mata pencahariannya, karena tanah garapannya ikut musnah ditenggelamkan lumpur panas tersebut. Ribuan dari mereka tiba-tiba menjadi pengungsi dengan masa depan yang tidak jelas sampai dengan hari ini.

Perihal masalah ganti rugi yang seharusnya diterima dari pihak Lapindo Brantas masih saja terkatung-katung.  Sementara negara tidak mampu berbuat banyak berhadapan dengan korporasi raksasa milik Keluarga Bakrie ini.

Pemerintahan di masa Presiden SBY dan Wapres Jusuf Kalla pun tidak berdaya. Bahkan terkesan mengabaikan nasib para korban Lumpur Lapindo tersebut. Terkesan  lebih berpihak kepada pihak Bakrie demi kepentingan politiknya.

Dua kali ultimatum dari SBY yang  pernah diucapkan kepada pihak Lapindo dengan nada marah, untuk segera menuntaskan masalah ganti rugi tersebut hanya dianggap angin lalu oleh pihak Bakrie. Terbukti kemudian bahwa ultimatum tersebut memang hanyalah gertak sambal saja. Ketika ultimatum tersebut tak dipenuhi, tidak ada sanksi apapun yang diterima.

Maka tidak heran juga,kalau sekarang ketika SBY kembali melontarkan ancamannya kepada kubu Bakrie dengan ancaman pengusutan kasus pengemplangan pajak oleh beberapa perusahaan keluarga Bakrie (diduga ada kaitannya dengan kasus Bank Century di mana Golkar bersikap melawan kubu SBY), ditanggapi santai saja oleh Aburizal Bakrie.

Aburizal Bakrie dengan beraninya malah balik menantang dengan mengatakan, "Golkar tidak takut dengan ancaman-ancaman seperti itu. Diancam tembak mati pun, tidak takut!" Dia berani mengatakan demikian karena tahu sampai di mana keberanian SBY dalam melaksanakan ancamannya tersebut.

Aburizal Bakrie memang mungkin benar tidak takut dengan SBY, tetapi apakah dia juga tidak takut dengan korban Lumpur Lapindo-nya? Faktanya, selama menjadi Menteri Kesejahteraan rakyat yang justru menyengsarakan rakyat warga korban Lumpur Lapindo itu, dia tak pernah berani mengunjungi lokasi dan pengungsi korban Lumpur Lapindo.

Bukan hanya terkesan mengabaikan nasib para korban Lumpur Lapindo dengan sikapnya yang tidak berani menekan dan menindak pihak Lapindo, tetapi juga justru dengan berbagai cara pemerintahan SBY mengatur supaya sebagian besar kerugian yang diakibatkan Lumpur Panas Lapindo itu ditanggung negara dengan beban APBN. Seperti proyek penggantian jalan tol Porong yang mencapai triliunan rupiah. Sedangkanpihak Lapindo diminimalisir tanggung jawab kerugiannya.

Semuanya itu tak lepas dari kompensasi politik yang didapatnya.

Dalam komentarnya di buku "Konspirasi di Balik Lumpur Lapindo" (2007, Ali Azhar Akbar), Irsyad Thamrin, Direktur LBH Yogyakarta, pada intinya mengatakan bahwa kejahatan kemanusiaan atau pelanggaran HAM tidak hanya lahir dari konflik politik semata, namun juga lahir dari motif ekonomi politik atas eksplotasi  sumber daya alam.

Sedangkan Benny Susetyo, Pr., mengatakan bahwa pada kasus Lumpur Lapindo ini harus diakui bahwa negara telah disandera oleh kapital karena tidak mampu melindungi rakyatnya.

"Saling bantu dan saling pengertian" antara pemerintah SBY-JK dengan pihak Bakrie ini membuat rakyat korban lumpur tersebut terus mengalami penderitaan dan ketidakpastian masa depannya sampai hari ini. Mereka hanya mampu berdemo, berteriak protes sampai menemui SBY (yang sempat membuat SBY menetes air matanya. Padahal yang dibutuhkan korban lumpur itu tentu bukan air mata SBY), juga menangis  sampai kering air matanya di depan rumah keluarga Aburizak Bakrie.

Hanya itu yang dapat mereka lakukan. Selanjutnya mereka tak berdaya berhadapan dengan kekuatan yang sedemikian besar dan kuat. Perpaduan antara power kekuasaan dan power kapital.

Kata orang, ketika orang / rakyat kecil dan lemah terus mendapat perlakuan yang tidak adil tanpa mampu melawan, sampai pada titik tertentu, mungkin Tuhan lah yang akan membalasnya.

Barangkali perkataan ini ada benarnya juga dalam kasus hubungan antara SBY dengan Aburizal Bakrie saat ini. Tuhan telah menjatuhkan "kutukan-Nya."

"Kutukan Lumpur Lapindo" tersebut membuat retaknya hubungan kedua sobat akrab tersebut.  Sebelumnya, "Kutukan Lumpur Lapindo" telah jatuh kepada JK, yakni ketika dia kalah telak dalam pilpres 2009 yang baru lalu, dengan perolehan suara minimalis, sangat jauh dari yang dipekirakan.

Di awalnya hubungan SBY-Bakrie sangat baik. Bahkan dikabarkan  bahwa dengan perantara JK,  Bakrie-lah penyokong utama dana kampanye SBY, dan juga Partai Demokrat yang di awal berdirinya tak punya cukup duit untuk kampanye.  Berkat jasa besar Bakrie di bidang pedanaan itu SBY berhasil sukses keluar sebagai pemenang dalam pilpres 2004.

Karena hutang budi politik inilah yang membuat SBY-JK "menolong" Bakrie dalam kasus ganti rugi akibat Lumpur Lapindo. Dan karena jasa besar itulah yang membuat SBY secara psikologis tidak berani dengan Aburizal Bakrie.

Semua berlangsung dengan baik.  Namun dalam prosesnya kemudian terjadi beberapa hal, di mana keinginan sang pemilik modal ternyata tidak (sepenuhnya) bisa dipenuhi sang pemilik kekuasaan.

Hubungan antara "boss" mungkin bisa terus saja baik-baik, tetapi ketika ada anak buah salah satu boss yang bertindak merugikan boss yang lain, tentu boss yang merasa dirugikan tersebut tak terima. Menjadi masalah besar ketika ternyata anak buah boss dimaksud itu adalah anak buah kesayangan boss terbaik, yang menjadi andalannya. Maka ketika boss yang merasa dirugikan itu menghendaki agar teman baiknya itu menindak, atau bahkan memecat anak buahnya itu, sang boss kali ini tidak bisa memenuhi permintaan tersebut. Maka mulailah muncul konflik di antara keduanya.

Ilustrasi seperti inilah yang terjadi dalam hubungan SBY dengan Aburizal Bakrie, yang sekarangmenjadi Ketua Umum Golkar.

Anak buah sang boss yang dimaksud bukan lain adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani. Yang dalam wewenangnya telah melakukan beberapa keputusan yang merugikan pihak  Aburizal Bakrie.

Ada sedikitnya lima "dosa" Sri Mulyani kepada pihak Bakrie, yakni:

Pertama, dalam kasus Lumpur Panas Lapindo, Sri Mulyani berpendirian bahwa dalam kasus tersebut bukan merupakan bencana alam. Sehingga beban kerugian tidak bisa dibebankan kepada negara (APBN). Tetapi sepenuhnya adalah tanggung jawab pihak Lapindo Brantas (Bakrie).

Kedua, karena Sri Mulyani pernah memerintahkan kepada Badan Pengawas Pasar Modal untuk mencabut penghentian sementara perdagangan saham  PT Bumi Resources Tbk. Padahal harga sahamnya sedang hancur, sehingga kalau dibuka lagi akan semakin hancur. Sedangkan menurut ketentuan yang berlaku penghentian sementara perdagangan saham itu tidak bisa dilakukan terlalu lama.

Ketiga, Sri Mulyani juga pernah memutuskan untuk  meminta pencekalan terhadap sejumlah petinggi perusahaan batu bara Bakrie terkait dengan kasus pajak.

Keempat, Badan Pengawas Pasar Modal di bawah Sri Mulyani mempermasalahkan dan menolak upaya P.T.  Energi Mega Persada, unit usaha Grup Bakrie yang juga pemilik Lapindo, untuk mengalihkan sahamnya ke pihak lain, sebelum ada kejelasan siapa pihak yang bertanggung  jawab terhadap penanganan masalah lumpur. Sementara Lapindo sendiri kesulitan dana tunai, yang mengakibatkan proyek penghentian semburan lumpur menjadi tersendat-sendat.

Kelima,  Sri Mulyani pernah menolak  kehendak pihak Aburizal  Bakrie membeli 14 persen saham divestasi P.T.  Newmont Nusa Tenggara.  Ketika itu Sri Mulyani menjabat sebagai  Pelaksana Tugas Menko Perekonomian, meminta agar seluruh saham dibestasi Newmont dibeli oleh perusahaan negara.

Meskipunkipun telah dibantah, melihat kelima "dosa" Sri Mulyani tersebut rasanya mustahil  kalau sama sekali tiada dendam Aburizal Bakrie terhadap Sri Mulyani ini. Meskipun semua yang dilakukannya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Pihak Bakrie telah mengkomplian tindakan Sri Mulyani itu kepada SBY. Dalam kasus pencabutan penghentian sementara perdagangan saham Bumi, misalnya, sempat diberitakan bahwa Sri Mulyani diminta SBY untuk menarik kembali larangannnya tersebut, tetapi dengan tegas Sri Mulyani mempertahankannya, atau memilih mundur dari jabatannya itu. SBY lebih memilih berpihak kepada anak buah kesayangannya itu. Di sinilah mulai muncul kerenggangan hubungan keduanya.

Kemudian muncullah kasus Bank Century. Suatu moment yang sangat tepat bagi Bakrie untuk memberi pelajaran kepada Sri Mulyani dan boss-nya, SBY.

Di awali dengan Pansus yang memperlihatkan sikap Golkar yang mulai berseberangan padahal dia adalah mitra koalisi Demokrat/SBY, perlahan namun pasti kerengangan tersebut semakin lebar dan memburuk.

Sikap Golkar - yang tentu saja direstui Ketua Umumnya, membuat gerah SBY. Sehingga dia sempat melontarkan ancaman tidak langsung untukmengusut kasus pajak yang dilakukan tiga perusahaan milik Bakrie itu, apabila Golkar di bawah Aburizal Bakrie itu terus memperlihat sikapnya yang merugikan pemerintah. Namun ancaman itu tidak mempan. Aburizal lebih piawai dan tahu sampai dimana keberanian SBY untuk mewujudkan ancamannya.

Lagipula apakah ini tidak samadengan juga memperlihatkan bahwa ternyata sebelumnya ada semacam tau sama tau antara kedua belah pihak, di mana apa pihak pengeplang pajak, tetapi yang seharusnya menindak pura-pura tidak tahu karena itu konco baiknya, yang juga telah punya jasa besar kepadanya? Setelah hubungannya retak baru mau diungkapkan?

Dari fenomena ini kelihatan bahwa "Kutukan Lumpur Lapindo" memang sedang berlangsung: kedua boss penguasa dan boss pengusaha yang tempo hari bersekutu pun akhirnya  berperang.

Dengan kekuatan Golkar yang dipimpinnya,  lewat Hak Angket dan Pansus Kasus Bank Century, Golkar bertekad bersikap tegas untuk "membongkar" kasus tersebut, dan kemudian menyatakan tindakan penyelamatan Bank Century berikut aliran dananya bermasalah secara hukum. Boediono sebagai Gubernur BI, dan Sri Mulyani sebagai Ketua KSSK pada waktu itu harus bertanggung jawab. Merekomendasikan untuk diproses oleh Kepolisian, Kejaksaan, atau KPK. Sikap Golkar yang tentu saja sangat merugikan kubu SBY ini merupakan sekali tepuk dua lalat didapat. Mensasarkan Sri Mulyani, sekaligus memberi pelajaran kepada SBY.

Sebelum dilakukan pembacaan hasil akhir Pansus, dikabarkan Aburizal Bakrie sempat menemui SBY. Pada waktu itu bisa jadi, Aburizal memberi kesempatan terakhir kepada SBY untuk mengnonaktifkan Sri Mulyani, atau Golkar akan memilih keputusan yang tidak menguntungkan SBY sebagai kepala pemerintahan itu.

SBY tidak mau didikte, kembali memilih tetap berpihak dan mempertahankan Sri Mulyani. Maka, terjadilah hal itu. Pecahlah koalisi. Golkar dengan suara bulat menyatakan pemerintahan SBY dalam kasus Bank Century bermasalah secara hukum. Untuk selanjutnya membuka pintu dilakukan proses selanjutnya, baik secara hukum, maupun secara politik.

Sikap Golkar tersebut yang diikuti oleh PKS, dan PPP, tentu secara politik sangat tidak menguntungkan kubu SBY.

SBY telah mendapat "kutukan" dengan cara dikhianati oleh orang yang dulu dia bantu untuk selamat dari tanggung jawab penuh dalam kasus Lumpur Lapindo.

Mereka itu yang terlibat dalam komplotan yang mengorbankan para korban lumpur itu telah mendapat “Kutukan Lumpur Lapindo.”

Jusuf Kalla “dikutuk” dengan kekalahkan “memalukan” dalam pilpres 2009 lalu. Padahal di atas kertas dengan melihat fenomena di kala itu dia bisa jadi keluar sebagai pemenang mempecundangi SBY. Tetapi fakta berbicara lain, JK bukan saja kalah, tetapi kalah dengan sangat telak. Perolehan suaranya sangat jauh dari yang diperkirakan, hanya 12% lebih!

Aburizal Bakrie “dikutuk” dengan terjun bebasnya saham Bumi Resources-nya dan beberapa kejadian yang membuatnya berkonflik dengan Sri Mulyani dengan “kekalahan” ada padanya (lihat tentang “5 dosa “ Sri Mulyani di atas). Serta diungkapkan kasus pengeplangan pajak oleh tiga perusahaannya sebagai ekses dari perseteruan dia dengan SBY. 

SBY “dikutuk” dengan skandal Bank Century yang membuat pemerintahannya mengalami krisis kepercayaan yang serius.

SBY bersama dengan Aburizal “dikutuk” bersama-sama dengan pecahnya kongsi dan koalisi politik mereka berdua. Berbalik menjad “perang terbuka.” 

Dampaknya rakyat (publik) menjadi semakin tahu, jati diri masing-masing mereka.

JK luput dari "kutukan" lanjutan, dan “diampuni” karena telah memilih mundur dari dunia politik.***

 

 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun