Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Pertanyaan Serius untuk Aturan yang Menggelitik Selama PPKM

13 Agustus 2021   18:28 Diperbarui: 13 Agustus 2021   18:38 328 3
            Kali ini, aku serius sama kamu, PPKM.

            Dalam kehidupan sehari-hari, ada yang disebut dengan aturan. Aturan merupakan cara agar kehidupan manusia teratur. Mulai dari aturan hukum, aturan adat, aturan sekolah, dan lain-lain. 

Kehadiran aturan membuat hidup ini seolah-olah harus nurut, teratur, dan serius. Tidak ada ruang untuk bercanda, karena sudah ada aturan dan hukuman yang menanti. 

Oke lah, tak apa, saya sangat setuju dengan adanya sebuah aturan, di manapun itu berada. Toh, mungkin benar agar hidup kita ini teratur. Mungkin, loh, ya~

            Namun, aturan itu tidak selamanya rasional bagi kaum-kaum kritis. Selalu ada celah yang dapat dikritik dan berdasarkan rasionalitas. Salah satu contohnya: dilarang menggunakan kaus kaki hitam di sekolah. 

Dari semenjak SD sampai SMA, saya terus melihat aturan itu di sekolah. Dan sampai sekarang, saya masih belum mengerti apa rasionalitasnya dilarang menggunakan kaus kaki hitam ketika mengenakan seragam sekolah---kecuali seragam pramuka.

Guru-guru yang pernah saya tanyai, ada yang menjawab bahwa itu tidak sopan, identik dengan anak nakal, dan lain-lain. Mendengar jawabannya pun saya masih belum bisa menemukan benang merah dari aturan itu apa. Aturan lain yang sering ditemui: laki-laki dilarang berambut panjang. 

Lebih dari telinga saja biasanya sudah ada guru BK yang bawa gunting dan siap mengukit mahakarya di kepala kita. Kenapa setiap orang harus mempunyai batasan rambut yang sama yaitu tidak boleh lebih dari telinga atau kerah baju? 

Apa hubungannya dengan kecerdasannya? Apakah orang yang berambut panjang tidak lebih pintar daripada orang yang berambut rapi? Ah, tapi, saya tak mau bahas soal aturan sekolah. 

Sekarang saya sudah merdeka untuk memanjangkan rambut sepanjang apapun karena sudah duduk di bangku kuliah. Oke, skip. Kita bahas seputar aturan PPKM.

            PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) pertama kali diterapkan pemerintah pada tanggal 3 Juli dan sampai sekarang masih saja berlaku. Entah sudah berapa kali extra time. PPKM ini---untuk saat ini---hanya diterapkan di Jawa dan Bali. 

Alasannya, bukan karena kita kukuh mempertahankan Jawasentris. Jawa dan Bali memiliki 48 Kabupaten/ Kota dengan asesmen situasi pandemi level 4 dan 74 Kabupaten/ Kota dengan asesmen situasi pandemi level 3, sehingga membutuhkan treatment khusus. 

Aturan-aturan yang berlaku pun hampir sama pada saat PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) lalu. Ada pertanyaan yang meresahkan hati saya terkait aturan dalam PPKM ini, khususnya terkait aturan makan di tempat makan.

PPKM level 4---tururan dari PPKM darurat---memberikan refleksi kepada pelaku usaha, khususnya di bidang kuliner, untuk dapat membuka layanan dine in atau makan di tempat. Sebelumnya, pada saat PPKM darurat, layanan ini ditiadakan dan hanya diperbolehkan untuk take away. 

Ini memberikan angin segar untuk pelaku usaha di bidang kuliner. Pembukaan layanan dine in ini harus tetap mematuhi protokol kesehatan. Salah satu aturan yang sempat jadi bahan bercandaan di dunia maya adalah aturan soal makan di tempat atau dine in hanya boleh 20 menit. Waktu 20 menit sebenarnya relatif, bisa terlalu lama, pas, atau terlalu cepat. Tergantung konsumen.

Yang jadi pertanyaan adalah: siapa yang menghitung waktu seseorang makan 20 menit? Pemilik warung? Atau kesadaran konsumen? Apa jadinya kalau makanan yang dipesan tidak habis dalam 20 menit. 

Apakah konsumen perlu untuk keluar dari tempat makan selama beberapa detik kemudian masuk kembali untuk me-refresh durasi waktunya? Atau setidaknya berikan extra time. Tidak minta extra time beberapa minggu, kok. Ya mungkin 10-20 menit lagi cocok, untuk melamun dan menghisap sebatang rokok.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun