Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan

Diambang Penyelesaian Polemik Papua

25 Agustus 2019   02:05 Diperbarui: 25 Agustus 2019   07:02 42 0
Sudah cukup banyak narasi yang diangkat dan guratan -- guratan istimewa yang dituangkan dalam berbagai diksi indah untuk kelumit peristiwa yang tengah menyelimuti pertiwi kita. Tidak lain dan tidak bukan, hari ini bocah orok ikut -- ikutan meneriakkan Indonesia Bersatu setelah rentetan peristiwa memalukan terjadi di Bumi Pertiwi.

Berawal dari kasus kericuhan Demonstrasi di Kota Malang antara Mahasiswa Papua dan kelompok yang mengatasnamakan Masyarakat Malang kemudian berlanjut dengan letupan penggeledahan di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya yang diiringi dengan panggilan -- panggilan tidak senonoh. Pasca itu lagi -- lagi meletup di semarang dan Makassar kejadian ini.

Berterimakasilah tuhan menegur bangsa ini. Iya, selama ini rupa adalah objek utama dalam penilaian. Sementara persatuan sendiri hilang tertimbun ego primordial. Bhineka Tunggal Ika yang kerap kali terpampang di setiap teras depan kantor -- kantor pemerintahan dan ruang -- ruang kelas kini diartikan sebatas sebagai dekorasi kosong tanpa esensi mengiringi proses pendidikan yang lupa jalan pulang.

Kita tengah diwanti -- wanti oleh masa bahwa lidah dan ucapan selama ini serta tindak dan prilaku adalah cambuk penghancur rasa yang paling dahsyat. Ketika air mata  penyesalan itu jatuh saat mulut mengumpat memanggil nama hewan  primata (monyet) kepada dia yang dilahirkan sebagai mutiara hitam nan-berharga itu. Sementara kita mulai lupa bahwa tanahnya yang mulia itu cukup besar memberi sumbangsih bagi pembangunan nasional dari Sabang sampai Merauke -- Miangas sampai Pulau Rote.

Indonesia yang kita cintai kini terkena penyakit yang bisa dikatakan kronis. Saat putra - putri pemilik puncak salju abadi mengambil sikap. Indonesia yang kita cintai dalam rentan 74 tahun merdeka terjangkit sebuah penyakit berbahaya yakni rasisme yang pernah diderita oleh Amerika. Terlepas dari mana sumber datangnya penyakit ini.

Kini penyakit Rasis telah melahirkan sebuah amuk yang meluluh lantahkan Gedung Dewan adat dan Gedung Wakil Rakyat. Dengan teriak dalam linang air mata;  Kami "Papua" kini ingin lepas darimu. Cukup Airmata Kami menggenang dan menjadi bara perlawanan pada engkau.

Diskriminasi rupa fisik jangka panjang mengakibatkan komplikasi pada luka di setiap batin kepala -- kepala yang berhias rambut ikal nan menawan itu.
Kini, mengajak bersua dan memadu sajak -- sajak kasih Ibu Pertiwi-pun pintu masih tertutup rapat tak lagi diterima. Lobby- lobby tingkat malaikatpun tidak mampu meluluhkan hati yang tengah luka diterpa darah dan sakit hati yang membusuk karena sekian lama terbungkus Bhineka Tunggal Ika yang tak berutuah.
 
Kendati begitu, Papua dan Generasinya yang Istimewa telah membuktiakn kepada seluruh kepala di negeri ini bahwa. "Indonesia Kita adalah Bhineka Tunggal Ika"yang mutlak dan selalu menjunjung setiap perbedaan. Perbedaan yang tuhan anugerahkan kepada Bangsa yang telah berusia 74 tahun ini untuk menari menentang tabuhan musik era 4.0 milik sang adikuasa. Kepastian apapun itu,  jika tak menjadi saura sebangsa lagi, mungkin Kami bisa menjadi saudara Se-rupa (Milanesia).


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun