Berbeda dengan mereka yang bekerja sebagai buruh harian. Di kampung saya, ada yang namanya buruh harian. Mereka adalah kaum ibu--ibu.
Mereka bergabung dalam kelompok. 1 kelompok ada yang 10 orang, ada yang 15 orang bahkan ada yang 20 orang. Jenis pekerjaan bervariasi, misalnya menanam atau memanen hasil pertanian seperti, padi, jagung, kacang, dan hasil kebun lainnya.
Upah dihitung perhari dan berkisar antara Rp. 25.000,00 hingga Rp. 50.000,00, plus makan siang dan snack. Sedangkan waktu kerja itu seharian penuh, masuk pkl. 08.00 hingga pkl. 17.00 Wita. Biasanya upah langsung diterima setelah selesai bekerja.
Bagi mereka yang izin kerja, tidak rumit--rumit amat, tinggal diinformasikan kepada koordinator dan selesai, tetapi konsekwensi jelas. Biasanya yang izin atau cuti tidak mendapatkan upah.
Saya melihatnya sebagai hal yang sederhana tetapi menarik. Tidak pakai pertimbangan sana--sini. Karena itu, masing--masing anggota kelompok pasti berlomba--lomba untuk masuk kerja. Jarang ada yang izin, kecuali ia memiliki alasan mendasar untuk cuti atau izin bekerja.
Mereka yang memiliki lahan pertanian yang luas di kampung, sering memanfaatkan buruh harian untuk mengolah lahan pertaniannya. Suatu fenomena menarik dan ada nilai kebersamaan serta gotong royong.
Mungkin suatu saat, semangat ini akan hilang karena pekerjaan manusia diganti dengan teknologi, tetapi hingga saat ini, praktek kelompok buruh serabutan dengan upah harian masih tetap ada.
Atambua, 05.06.2021