Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Belajar Online Mengesankan Pendidikan Inferiority

3 September 2021   08:35 Diperbarui: 3 September 2021   08:34 193 7
Banyak pihak saat mulai mengkuatirkan kualitas pendidikan nasional. Terutama orang tua siswa yang memandang belajar daring justru membuat kualitas pendidikan anak-anak semakin menurun (kualitas rendah) atau disebut Inferiority. Kok bisa demikian, apa yang salah?

Sudah berjalan dua tahun Indonesia dikurung oleh pandemi Covid-19 terhitung Maret 2019. Karena dari waktu ke waktu kasus penularan meningkat tajam, pemerintah memutuskan menghentikan seluruh kegiatan yang bersifat tatap muka guna menghindari penularan wabah penyakit tersebut secara lebih masif.

Tak pelak seluruh aktivitas masyarakat mengalami mati suri. Tak terkecuali sektor pendidikan. Seluruh sekolah yang berada dalam area covid tinggi terpaksa menyelenggarakan proses belajar mengajar secara daring (online), mulai tingkat SMA hingga sekolah PAUD bahkan Perguruan Tinggi.

Namun kini, setelah hampir dua tahun berlalu, pandemi Covid-19 tak kunjung selesai jua. Walaupun dibeberapa daerah tercatat mengalami penurunan kasus. Tapi bukan berarti telah terbebas dari covid.
 
Pemerintah pun kemudian menerapkan PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat) bersifat darurat pada wilayah berkategori level 3 dan 4.

Dalam perjalanannya, ternyata kebijakan PPKM Level 3 dan 4 menimbulkan kegelisahan publik soal pendidikan anak-anak sekolahan. Ditengarai anak-anak semakin tertinggal dalam pelajaran.

Seperti diketahui belajar secara daring sangat berbeda dengan belajar tatap muka (langsung tanpa media). Walaupun terhubung dengan internet (cara modern) tetapi cara ini sangat mempengaruhi hasil belajar.

Dari sejumlah riset yang dilakukan lembaga internasional juga menunjukkan dampak akibat pembelajaran secara daring yang terpaksa dilakukan karena Covid-19 ikut menguatkan kegelisahan tersebut.

Hasil penelitian PBB bidang pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan pada 28 Maret 2021 misalnya yang menemukan sebanyak 124 juta anak-anak seluruh dunia telah kehilangan kemampuan membaca.

Meskipun menurut pengamat pendidikan nasional, kemunduran pendidikan selama pandemi akibat pembelajaran online tidak hanya dialami Indonesia tapi negara-negara seluruh dunia.

Tetapi kita sendiri juga tidak boleh tinggal diam dan menerima begitu saja tanpa ada upaya atau solusi. Kemunduran kualitas pasti ada sebabnya. Ini yang harus ditilik oleh pemangku kebijakan.

Kita harus berani untuk mengakui bahwa pembelajaran online sebenarnya bukan penyebab utama karena itu hanya alat bukan tujuan. Justru negara-negara maju sudah mulai meninggalkan sistem belajar konvensional dan beralih ke sistem online atau blended system.

Mengapa mereka bisa? Kuncinya adalah pada kesiapan. Kita sebenarnya tidak siap dengan belajar online karena pemerintah tidak pernah berpikir untuk menyiapkan model belajar online jauh-jauh sehari sebelum bencana covid ini mendera.

Pemerintah Indonesia sangat sukar mengeluarkan anggaran besar untuk sektor pendidikan. Boro-boro menggelontorkan 20 persen dari total APBN setiap tahun, yang ada dana pendidikan malah dikorupsi.

Padahal undang-undang sudah mengamanatkan alokasi anggaran pendidikan sebanyak 20 persen. Namun faktanya gaji guru honorer saja masih disunat, tunjangan sertifikasi guru hampir saja ditenggelamkan oleh rezim.

Begitu pula untuk kebutuhan infrastruktur dan gedung sekolah. Hampir setiap daerah diluar Jawa-Bali kondisi gedung sekolah sangat memprihatinkan. Bahkan ada yang layak disebut kandang kambing. Bagaimana mau bekerja online?

Belum lagi bicara tentang man power (sumberdaya manusia) yang memiliki kapasitas untuk melaksanakan pembelajaran online. Meski sekarang ini banyak guru berusia muda dan melek teknologi informasi namun mereka masih kurang jam terbang dalam mengajar.

Sementara ada guru yang sudah berpengalaman dan jam terbang tetapi mereka telah lelah dimakan usia, dan tidak cakap dalam menggunakan teknologi.

Jadi ini seperti buah simalakama. Dimakan mati emak, tidak dimakan mati ayah. Artinya pembelajaran online dan risiko covid ibarat memakan buah simalakama.

Memaksa diri dengan sistem pembelajaran online menghasilkan kualitas pendidikan buruk. Sementara jika melakukan PTM maka risiko penularan covid bisa mengancam anak-anak sekolah.

Inilah problematika klasik dunia pendidikan kita. Minim anggaran, SDM tidak relevan dengan kemajuan jaman, infrastruktur buruk, jaringan internet tidak merata dan lelet, sekolah berbiaya mahal, dan sederet catatan pilu lainnya.

Sekarang semua pihak baru berteriak dan terbuka matanya serta menuding kualitas pendidikan semakin hancur. Mengapa baru sadar sekarang? Lalu menyalahkan Covid-19.

Celakanya Covid-19 ditunggangi dan dijadikan sebagai alat pemaksaan agar belajar daring semakin diteruskan dengan alasan kerumunan. Sedangkan keramaian pilkada tidak dilarang.

Ayolah Pemerintah Anda memiliki tanggung jawab soal masa depan generasi Indonesia. Lakukan sesuatu agar pendidikan bisa berlangsung secara normal.

Terkait dengan hal itu, maka sudah tepat bila keputusan pemerintah untuk menyelenggarakan kembali belajar secara luring atau Pembelajaran Tatap Muka (PTM) seperti saat sebelum pandemi menerjang.

Kendati Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi sudah mengizinkan sekolah di zona PPKM Level 1-3 menggelar PTM namun harus memenuhi sejumlah syarat. Disebut-sebut vaksinasi salah satunya, terutama guru dan tenaga kependidikan.

Mungkin inilah solusi terbaik saat ini yang mampu diberikan oleh pemerintah. Semoga dengan melakukan PTM secara terbatas menjadi langkah awal untuk membuka sekolah kembali seperti sedia kala. Indonesia perlu serius mengejar ketertinggalan. (*)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun